Kajian Tauhid (Syahadatain)
Hukum Syara' mewajibkan kepada seluruh ummat manusia yang
baliqh dan berakal (Mukallaf) untuk bertauhid, yakni mengetahui dan meyakinkan
kepada adanya Allah SWT, dengan garansi : Sah imannya dan mendapatkan pahala
bagi yang benar Tauhidnya, dan tidak sah imannya serta akan diberikan siksa
bagi yang tidak benar Tauhidnya.
Kewajiban bertauhid ini mulai berlaku semenjak akil baligh tiba, oleh karenanya, sedetik saja pada sa'at baligh tiba dalam keadaan tidak bertauhid. Berarti pernah mengalami kafir, oleh sebbab itu, sebelum sampai pada usia baligh diharuskan mempelajari ilmu Tauhid terlebih dahulu, sebagai persiapan dan menjaga agar hidup tidak mengalami kafir dahulu.
Kewajiban bertauhid ini mulai berlaku semenjak akil baligh tiba, oleh karenanya, sedetik saja pada sa'at baligh tiba dalam keadaan tidak bertauhid. Berarti pernah mengalami kafir, oleh sebbab itu, sebelum sampai pada usia baligh diharuskan mempelajari ilmu Tauhid terlebih dahulu, sebagai persiapan dan menjaga agar hidup tidak mengalami kafir dahulu.
SYAHADATAIN
A. Mengucapkan
Syahadatain.
Beriman kepada Allah SWT. Diikrarkan dengan mengucapkan
lafadz Syahadatain sebagai berikut :
اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
Artinya : Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan
selain Allah. Dan nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Para ulama sepakat bahwa mengucapkan Syahadatain adalah Rukun Islam, maka yang tidak mengucapkan Syahadatain bukan orang Islam, walaupun pada hakekatnya beriman kepada adanya Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhory.
Para ulama sepakat bahwa mengucapkan Syahadatain adalah Rukun Islam, maka yang tidak mengucapkan Syahadatain bukan orang Islam, walaupun pada hakekatnya beriman kepada adanya Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhory.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلئَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ امُرْتُ اَنْ قَاتِلَ النَّاسَ حَتَّئ يَشْهَدُوْا اَنْ لاَاِلَهَََ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُؤْا الزَّكَاةَ فَاِذَا فَعَلُوْاذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّى دِمَانَهُمْ وَاَمْوَا لَهُمْ اِلاَّ بِحَقِّ الاِسْلاَمِ وَحِسَا بُهُمْ عَلَى اللهِ (رواه البخاري)
Artinya : sesungguhnya Rasululloh SAW, telah bersabda :
"Kami diperintahkan untuk memerangi orang-orang, sehingga mereka bersaksi
(mengucapkan Syahadatain) bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya nabi
Muhammad adalah utusan Allah dan mengerjakan Sholat, juga membayar Zakat.
Manakala mereka mengerjakan semuanya, maka kami menjaga darah mereka dan harta
benda mereka. Kecuali hak-hak yang bertalian dengan Islam, kemudian hisaban
mereka diserahkan kepada Allah SWT.
Hubungan mengucapkan Syahadatain dengan keimanan, para Ulama berpendapat :
1. Imam al-‘Asy'ary dan al-Ma'turidy (Muhaqqiqin) berpendapat bahwa Mengucapkan Syahadatain merupakan sarat sahnya iman.
Ulama Jumhur memberikan pendapat Imam al-‘Asy'ary dan al-Ma'turidy ini, bahwa yang dimaksud dengan sarat sahnya Iman adalah untuk pengesahan Hukum Islam di dunia, seperti hukum nikah, warist, sholat dan lain sebagainya. Sedangkan di hadapan Allah (di akhirat) yang dilihat adalah hatinya bukan ucapannya, jadi kalau hatinya beriman, termasuk Mukmin dan pasti tempat kembaliNya adalah sorga, begitu pula sebaliknya, bila hatinya tidak beriman kepada Allah SWT. Walaupun mengucapkan Syahadatain, tidaklah termasuk kepada orang yang beriman dan tempat kembaliNya di akhirat adalah Neraka.
2. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa : Mengucapkan Syahadatain adalah setengah dari Iman, karena Iman dan syahadatain merupakan rangkain Dohir dan Bathin.
Hubungan mengucapkan Syahadatain dengan keimanan, para Ulama berpendapat :
1. Imam al-‘Asy'ary dan al-Ma'turidy (Muhaqqiqin) berpendapat bahwa Mengucapkan Syahadatain merupakan sarat sahnya iman.
Ulama Jumhur memberikan pendapat Imam al-‘Asy'ary dan al-Ma'turidy ini, bahwa yang dimaksud dengan sarat sahnya Iman adalah untuk pengesahan Hukum Islam di dunia, seperti hukum nikah, warist, sholat dan lain sebagainya. Sedangkan di hadapan Allah (di akhirat) yang dilihat adalah hatinya bukan ucapannya, jadi kalau hatinya beriman, termasuk Mukmin dan pasti tempat kembaliNya adalah sorga, begitu pula sebaliknya, bila hatinya tidak beriman kepada Allah SWT. Walaupun mengucapkan Syahadatain, tidaklah termasuk kepada orang yang beriman dan tempat kembaliNya di akhirat adalah Neraka.
2. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa : Mengucapkan Syahadatain adalah setengah dari Iman, karena Iman dan syahadatain merupakan rangkain Dohir dan Bathin.
B. Syahadat
Munjin.
Sebagaimana telah disebutkan di atas untuk menjadi orang
yang beriman tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan Syahadatain, karena
masalah keimanan bukan masalah lahiriyah, melainkan masalah hati atau kejiwaan,
oleh karenanya didalam mengucapkan Syahadatain harus pula dijiwai dengan benar,
Syahadat yang dijiwai dengan benar disebut Syahadat Munjin, Syahadatain ini
pulalah yang akan menyelamatkan kehidupan ummat manusia di akhirat.
Adapun yang dimaksud dengan Syahadat Munjin adalah Syahadatain yang disertai dengan :
1. Ma'rifat, hati mengakui bahwa Allah SWT, adalah Tuhan dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
2. Idz-Dzi'an, hati menerima bertuhan kepada Allah SWT. Dan menerima ke Rosulan Nabi Muhammad.
3. Qobul, hati menerima seluruh ajaran Allah SWT dan RasulNya, sehingga menjadi pedoman hidup.
4. Lafadz (materi kata) yang diucapkan harus bahasa Arab, tidak dapat diganti dengan bahasa lain, sekalipun sama maknanya.
1. Ma'rifat. Dalam mengucapkan Syahadatain harus disertai dengan ma'rifat yakni disertai dengan :
a. Idrokun Jazimun = Meyakinkan dengan sangat pasti, sehingga tidak ada keraguan, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT, dan Muhammad utusan Allah SWT.
b. Muwafiqun lil Waqi'i = apa yang diyakininya sesuai dengan kenyataan, bahwa Allah SWT, yang diyakininya adalah Allah SWT. Sebagaimana yang disebutkan dalam ilmu Tauhid, tidak beranak dan tidak pula diper-anakan.
c. Nasyium ‘an Dalilin = Meyakinkan kepada adanya Allah SWT, disertai dengan argumentasi (dalil) yang dapat mempertahankan keyakinannya, baik itu dalil ‘Akli maupun dalil Nakli sebagamana telah disebutkan pada pasal hukum ‘Akal.
Adapun yang harus dima'rifatkkannya adalah :
a) Dzat Allah SWT dan sifat - sifatnya.
b) Dzat Rosul dan sifat - sifatnya.
c) Yang Mumkinul Wujud.
d) Yang wajib dan yang Mustahil di Allah SWT dan di Rasululloh.
2. Idz-Dzi'an. Untuk dapat disebutkan seorang Mukmin tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan Syahadatain dan Ma'rifat saja, melainkan harus pula disertai dengan pengakuan bahwa : Allah SWT. Tuhanku dan Nabi Muhammad adalah Rasulku. Jadi apabila ada orang yang meyakinkan bahwa ttiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rosul Allah tetapi hatinya tidak menerima bertuhan kepada Allah SWT. Dan tidak mengakui berRosul kepada Nabi Muhammad, orang tersebut di hadapan Allah SWT. Tidak termasuk kepada orang yang beriman, seperti ada perkataan seorang pemimpin Yahudi di masa Nabi, bernama Abdullah bin Salam, dia berkata : Aku meyakinkan bahwa Nabi Muhammad adalah betul-betul Rasul Allah SWT, dan Nabi yang terakhir, seperti aku yakin kepada anakku sendiri, bahkan kepada Nabi Muhammad aku lebih yakin (ma'rifat). Orang seperti ini disebutkan dalam al-Qur'an surat 2. Al-baqoroh ayat 146 :
3. Qobul. Begitu pula tidak termasuk kepada orang mukmin, orang yang tidak menerima ajaran Allah SWT dan RasulNya, walaupun telah Ma'rifat dan Idz-Dzi'an, sekalipun melaksanakan ajaran Allah SWT dan RasulNya.
Sebagai bukti telah Qobul harus berani mengikrarkan
Adapun yang dimaksud dengan Syahadat Munjin adalah Syahadatain yang disertai dengan :
1. Ma'rifat, hati mengakui bahwa Allah SWT, adalah Tuhan dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
2. Idz-Dzi'an, hati menerima bertuhan kepada Allah SWT. Dan menerima ke Rosulan Nabi Muhammad.
3. Qobul, hati menerima seluruh ajaran Allah SWT dan RasulNya, sehingga menjadi pedoman hidup.
4. Lafadz (materi kata) yang diucapkan harus bahasa Arab, tidak dapat diganti dengan bahasa lain, sekalipun sama maknanya.
1. Ma'rifat. Dalam mengucapkan Syahadatain harus disertai dengan ma'rifat yakni disertai dengan :
a. Idrokun Jazimun = Meyakinkan dengan sangat pasti, sehingga tidak ada keraguan, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT, dan Muhammad utusan Allah SWT.
b. Muwafiqun lil Waqi'i = apa yang diyakininya sesuai dengan kenyataan, bahwa Allah SWT, yang diyakininya adalah Allah SWT. Sebagaimana yang disebutkan dalam ilmu Tauhid, tidak beranak dan tidak pula diper-anakan.
c. Nasyium ‘an Dalilin = Meyakinkan kepada adanya Allah SWT, disertai dengan argumentasi (dalil) yang dapat mempertahankan keyakinannya, baik itu dalil ‘Akli maupun dalil Nakli sebagamana telah disebutkan pada pasal hukum ‘Akal.
Adapun yang harus dima'rifatkkannya adalah :
a) Dzat Allah SWT dan sifat - sifatnya.
b) Dzat Rosul dan sifat - sifatnya.
c) Yang Mumkinul Wujud.
d) Yang wajib dan yang Mustahil di Allah SWT dan di Rasululloh.
2. Idz-Dzi'an. Untuk dapat disebutkan seorang Mukmin tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan Syahadatain dan Ma'rifat saja, melainkan harus pula disertai dengan pengakuan bahwa : Allah SWT. Tuhanku dan Nabi Muhammad adalah Rasulku. Jadi apabila ada orang yang meyakinkan bahwa ttiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rosul Allah tetapi hatinya tidak menerima bertuhan kepada Allah SWT. Dan tidak mengakui berRosul kepada Nabi Muhammad, orang tersebut di hadapan Allah SWT. Tidak termasuk kepada orang yang beriman, seperti ada perkataan seorang pemimpin Yahudi di masa Nabi, bernama Abdullah bin Salam, dia berkata : Aku meyakinkan bahwa Nabi Muhammad adalah betul-betul Rasul Allah SWT, dan Nabi yang terakhir, seperti aku yakin kepada anakku sendiri, bahkan kepada Nabi Muhammad aku lebih yakin (ma'rifat). Orang seperti ini disebutkan dalam al-Qur'an surat 2. Al-baqoroh ayat 146 :
3. Qobul. Begitu pula tidak termasuk kepada orang mukmin, orang yang tidak menerima ajaran Allah SWT dan RasulNya, walaupun telah Ma'rifat dan Idz-Dzi'an, sekalipun melaksanakan ajaran Allah SWT dan RasulNya.
Sebagai bukti telah Qobul harus berani mengikrarkan
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبَّا وَبِالاِسْلاَمِ دِيْنَا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَّاوَّرَسُوْلاً وَبِالْقُرْاَنِ اِمَامًا وَّبِالْمُؤْمِنِيْنَ اِخْوَانًا
Artinya : Aku Ridho (mengakui dan menerima) kepada Allah
SWT. Aku bertuhan dan Islam sebagai agamaku, dan kepada Nabi Muhammad aku
berNabi dan berRosul, dan kepada al-Qur'an aku berpedoman, dan kepada Mukminin
aku besaudara.
C. Yang Harus di
Syahadatkan.
Disamping Allah SWT dan RasulNya wajib pula dima'rifatkan
tentang adanya alam Goib, sebagaimana firman allah SWT. Dalam al-Qur'an surat
2. Al-Baqoroh ayat 3-4 :
Artinya : (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
4. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Adapun yang dimaksud dengan alam Goib itu adalah :
1. Alam Barzakh.
2. Siksa Kubur.
3. Nikmat Kubur.
4. Pertanyaan Munkar dan Nakir.
5. Qiyamah.
6. Alam Ba'ats dan Qubur.
7. Mahsyar, tempat berkumpul.
8. Mauqif, ttempat menunggu hisaban ‘amal.
9. Mizan, timbangan ‘amal.
10. Hisaban.
11. Syafa'atul ‘Udhma.
12. Surga.
13. Neraka.
14. Shirothol Muustaqim.
15. Melihat Allah SWT di surga.
16. Abadinya di surga bagi orang Mukmin dan abadinya di neraka bagi orang Kafir.
Orang yang Ma'rifat, Idz-Dzi'an, Qobul dan mengucapkan Syahadatain, tetapi tidak mealaksanakan ajaran-ajaran Islam, namanya Mukmin Fasiq, Orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Islam seperti; Sholat, Puasa tetapi hatinya tidak Ma'rifat, Idzi'an dan Qobul namanya Kafir Fasiq
Artinya : (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
4. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Adapun yang dimaksud dengan alam Goib itu adalah :
1. Alam Barzakh.
2. Siksa Kubur.
3. Nikmat Kubur.
4. Pertanyaan Munkar dan Nakir.
5. Qiyamah.
6. Alam Ba'ats dan Qubur.
7. Mahsyar, tempat berkumpul.
8. Mauqif, ttempat menunggu hisaban ‘amal.
9. Mizan, timbangan ‘amal.
10. Hisaban.
11. Syafa'atul ‘Udhma.
12. Surga.
13. Neraka.
14. Shirothol Muustaqim.
15. Melihat Allah SWT di surga.
16. Abadinya di surga bagi orang Mukmin dan abadinya di neraka bagi orang Kafir.
Orang yang Ma'rifat, Idz-Dzi'an, Qobul dan mengucapkan Syahadatain, tetapi tidak mealaksanakan ajaran-ajaran Islam, namanya Mukmin Fasiq, Orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Islam seperti; Sholat, Puasa tetapi hatinya tidak Ma'rifat, Idzi'an dan Qobul namanya Kafir Fasiq
Kajian Tauhid (Tingkatan Iman)
Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an
dan al-hadits bahwa iman seseorang itu terkadang mengurang dan terkadang
bertambah, dalam hal ini para ulama mengevaluasikan iman tersebut dengan lima
tingkatan sebagai berikut :
1. Iman Taqlid, yaitu imannya
orang yang tidak beralasan, tidak mempunyai dalil/argumentasi, imannya hanya
mengikuti orang lain namun hatinya yakin dan Jazim iman kepada adanya Allah
SWT.
Dalam menghukumi orang yang iman Taqlid (Mukmin Muqollid)
para ‘Ulama berpendapat :
a. Al-‘Asy’ary, Abi
Bakrin Bakilani, Imam Malik dan Imam Haromain, berpendapat bahwa Iman Taqlid
hukumnya adalah Sah, hanya orangnya berdosa mengikuti orang lain tanpa dalil.
b. Ibnu ‘Aroby dan
Imam Sanusi, Iman Taqlid tidak Sah,
tetapi didalam kitab Kubro, Imam Sanusi mencabut lagi pendapat tersebut.
c. Imam Dasuqi, Ian
Taqlid Sah, hanya berdosa bagi orang yang mampu berpikir. Pendapat ini
berdasarkan firman Allah SWT. Dalam surat 2. Al-Baqoroh ayat 286.
d. Sebagain ‘Ulama. Iman Taqlid Sah
hukumnya dan tidak berdosa asalkan dalil-dalilnya bersumber dari al-Qur’an dan
al-Hadits.
e. Sebagian ‘Ulama,
Iman Taqlid Sah dan tidak berdosa baik
bagi ahli berpikir maupun bagi awam, pendapat ini berdasarkan hadist Rasululloh
SAW. Ketika menjawab pertanyaan dari orang Badewi : Ya Rasululloh, bagaimana caranya supaya dapat masuk sorga
?, Nabi menjawab : katakanlah olehmu !:
اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا
رَّسُوْلُ اللهِ
f. Sebagian Ulama,
Iman Taqlid itu Sah bahkan kalau sudah beriman diharamkan untuk mencari dalil.
Dari seluruh pendapat para ‘Ulama tersebut tidak
menyangkut masalah pokok (mu’takad).
2. Iman ‘Ilmu, yaitu imanya seorang mukallaf yang telah mengetahui dalil yang benar namun
belum menjiwai keimanannya, sehingga Ahli Tashowuf memberi titel Mahjubun.
3. Iman ‘Iyan, yaitu imannya
seseorang yang disertai Ma’rifat dan Tashdiq yang menjiwai sifat Sama’ Bashornya
Allah SWT, sehingga jiwanya selalu merasa dilihat dan didengar oleh Allah SWT.
Dan berdiam di Maqom Muroqobah.
4. Iman Haq, yaitu imannya orang yang mempunyai jiwa yang dalam,
hatinya mampumenerobos ke Maqom Musyahadah, yang apabila melihat mahkluk,
hatinya tidak pada yang dilihatnya melainkan ingat kepada yang menciptakannya,
tingkatan iman ini disebut pula dengan Iman Haqqul Yaqin, yang kontaknya dengan sifat Qudrot Alloh SWT.
5. Iman
Haqiqat, yaitu imannya orang yang mempunyai jiwa
yang teramat dalam, kema’rifatan yang luar biasa, sehingga hainya tidak ingat
kepada makhluk, fana kepada Allah SWT. Serta selalu berdiam di Maqom Fana,
keyakinan iman Haqiqat ini namanya ‘Ainal Yaqin, keadaannya majdud.
6. Iman Haqiqotul Haqiqat, yaitu imannya para
Nabi dan Rasul, dalma hal ini para ‘Ulama tidak memberikan ta’rif.