10 Mei 2012 oleh mutiarazuhud
Marilah memahami
hadits kullu bid’ah dengan ilmu balaghah dan nahwu
كُلُّ
بِدْعَةٍ
ضَلاَ
لَةٍ
وَكُلُّ
ضَلاَ
لَةٍ
فِى
النَّارِ
Bid’ah itu kata
benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin
saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis
dan tidak disebutkan dalam hadits di atas;
Dalam Ilmu Balaghah
dikatakan,
حدف
الصفة
على
الموصوف
“membuang sifat
dari benda yang bersifat”.
Jadi jika ditulis
lengkap dengan sifat dari bid’ah kemungkinannya adalah
a. Kemungkinan
pertama :
كُلُّ
بِدْعَةٍ
حَسَنَةٍ
ضَلاَ
لَةٌ
وَكُلُّ
ضَلاَ
لَةٍ
فِى
النَّارِ
Semua “bid’ah yang
baik” itu sesat (dholalah), dan semua yang sesat (dholalah) masuk neraka
Hal ini tidak
mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat (dholalah) berkumpul dalam satu benda
dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.
b. Kemungkinan kedua
:
كُلُّ
بِدْعَةٍ
سَيِئَةٍ
ضَلاَ
لَةٍ
وَكُلُّ
ضَلاَ
لَةٍ
فِىالنَّاِر
Semua “bid’ah yang
jelek” itu sesat (dholalah), dan semua yang sesat (dholalah) masuk neraka
Jadi kesimpulannya
bid’ah yang sesat masuk neraka adalah bid’ah sayyiah (bid’ah yang jelek).
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda “Jauhilah oleh kalian perkara baru,
karena sesuatu yang baru (di dalam agama) adalah bid’ah , kullu bid”ah
dholalah (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi & Hakim)
Telah menceritakan
kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari
bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membuat
perkara baru dalam “urusan kami ” ini yang tidak ada perintahnya maka perkara
itu tertolak“. Diriwayatkan pula oleh ‘Abdullah bin Ja’far Al Makhramiy dan
‘Abdul Wahid bin Abu ‘Aun dari Sa’ad bin Ibrahim (HR Bukhari 2499)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a.
berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “sesungguhnya agama
itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat
Ath-Thabarani)
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan
Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan
kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa),
maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal
sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan
dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Dari keempat hadits
di atas dapat diketahui bahwa bid’ah yang sayyiah (jelek) adalah bid’ah dalam
urusan agama atau “urusan kami” atau perkara syariat (segala perkara yang telah
disyariatkanNya/diwajibkanNya) atau mengada-ada dalam urusan yang merupakan hak
Allah ta’ala menetapkannya yakni melarang sesuatu yang tidak dilarangNya,
mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak
diwajibkanNya.
Sedangkan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam menyampaikan bahwa contoh atau suri tauladan atau
perkara baru di luar perkara syariat , baik atau buruk, ke dalam sunnah
hasanah atau sunnah sayyiah
حَدَّثَنِي
زُهَيْرُ
بْنُ
حَرْبٍ
حَدَّثَنَا
جَرِيرُ
بْنُ
عَبْدِ
الْحَمِيدِ
عَنْ
الْأَعْمَشِ
عَنْ
مُوسَى
بْنِ
عَبْدِ
اللَّهِ
بْنِ
يَزِيدَ
وَأَبِي
الضُّحَى
عَنْ
عَبْدِ
الرَّحْمَنِ
بْنِ
هِلَالٍ
الْعَبْسِيِّ
عَنْ
جَرِيرِ
بْنِ
عَبْدِ
اللَّهِ
قَالَ
جَاءَ
نَاسٌ
مِنْ
الْأَعْرَابِ
إِلَى
رَسُولِ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
عَلَيْهِمْ
الصُّوفُ
فَرَأَى
سُوءَ
حَالِهِمْ
قَدْ
أَصَابَتْهُمْ
حَاجَةٌ
فَحَثَّ
النَّاسَ
عَلَى
الصَّدَقَةِ
فَأَبْطَئُوا
عَنْهُ
حَتَّى
رُئِيَ
ذَلِكَ
فِي
وَجْهِهِ
قَالَ
ثُمَّ
إِنَّ
رَجُلًا
مِنْ
الْأَنْصَارِ
جَاءَ
بِصُرَّةٍ
مِنْ
وَرِقٍ
ثُمَّ
جَاءَ
آخَرُ
ثُمَّ
تَتَابَعُوا
حَتَّى
عُرِفَ
السُّرُورُ
فِي
وَجْهِهِ
فَقَالَ
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
مَنْ
سَنَّ
فِي
الْإِسْلَامِ
سُنَّةً
حَسَنَةً
فَعُمِلَ
بِهَا
بَعْدَهُ
كُتِبَ
لَهُ
مِثْلُ
أَجْرِ
مَنْ
عَمِلَ
بِهَا
وَلَا
يَنْقُصُ
مِنْ
أُجُورِهِمْ
شَيْءٌ
وَمَنْ
سَنَّ
فِي
الْإِسْلَامِ
سُنَّةً
سَيِّئَةً
فَعُمِلَ
بِهَا
بَعْدَهُ
كُتِبَ
عَلَيْهِ
مِثْلُ
وِزْرِ
مَنْ
عَمِلَ
بِهَا
وَلَا
يَنْقُصُ
مِنْ
أَوْزَارِهِمْ
شَيْءٌ
Telah menceritakan
kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir bin ‘Abdul Hamid
dari Al A’masy dari Musa bin ‘Abdullah bin Yazid dan Abu Adh Dhuha dari
‘Abdurrahman bin Hilal Al ‘Absi dari Jarir bin ‘Abdullah dia berkata; Pada
suatu ketika, beberapa orang Arab badui datang menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian dari bulu domba (wol). Lalu
Rasulullah memperhatikan kondisi mereka yang menyedihkan. Selain itu, mereka
pun sangat membutuhkan pertolongan. Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menganjurkan para sahabat untuk memberikan sedekahnya kepada mereka.
Tetapi sayangnya, para sahabat sangat lamban untuk melaksanakan anjuran
Rasulullah itu, hingga kekecewaan terlihat pada wajah beliau. Jarir berkata;
‘Tak lama kemudian seorang sahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan
sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang
sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang sahabat yang turut serta
menyumbangkan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-orang Arab badui
tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.’ Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa
yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya
dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa
mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu
sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang
yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka
sedikitpun.” (HR Muslim 4830)
Hadits di atas
diriwayatkan juga dalam Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675,
Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga
diriwayatkan oleh yang lainnya.
Arti kata sunnah
dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah bukanlah sunnah Rasulullah atau
hadits atau sunnah (mandub) karena tentu tidak ada sunnah Rasulullah yang
sayyiah, tidak ada hadits yang sayyiah dan tidak ada perkara sunnah (mandub)
yang sayyiah
Jadi arti kata
sunnah dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah adalah contoh atau suri
tauladan atau perkara baru, sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain
sebelumnya
Kesimpulannya,
Sunnah hasanah adalah
contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang tidak
bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah hasanah
Sunnah sayyiah adalah
contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang
bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah dholalah
Imam Mazhab yang
empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh, contohnya Imam Syafi’i
~rahimahullah menyampaikan
قاَلَ
الشّاَفِعِي
رَضِيَ
اللهُ
عَنْهُ
-ماَ
أَحْدَثَ
وَخاَلَفَ
كِتاَباً
أَوْ
سُنَّةً
أَوْ
إِجْمَاعاً
أَوْ
أَثَرًا
فَهُوَ
البِدْعَةُ
الضاَلَةُ
،
وَماَ
أَحْدَثَ
مِنَ
الخَيْرِ
وَلَمْ
يُخاَلِفُ
شَيْئاً
مِنْ
ذَلِكَ
فَهُوَ
البِدْعَةُ
المَحْمُوْدَةُ
-(حاشية
إعانة
313 ص
1الطالبين
-ج
)
Artinya ; Imam
Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah)
dan bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar
(Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala
kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak bertentangan
dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah
atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal.
313).
Contoh sunnah sayyiah
(termasuk bid’ah dholalah) yakni perkara baru atau mencontohkan atau
meneladankan perkara di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an
dan Hadits, perbuatan mempergunakan jejaring sosial facebook untuk bergunjing,
menghasut, mencela, menghujat saudara muslim lainnya
Contoh sunnah hasanah
(termasuk bid’ah hasanah) perkara baru atau mencontohkan atau meneladankan
perkara di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan
Hadits, perbuatan mempergunakan jejaring sosial facebook untuk menyampaikan apa
yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atau sekedar
mempergunakannya untuk membaca dan memahami uraian agama dalam rangka tholabul
ilmi.
Jadi kullu bid’ah
menerima pengecualian pada bid’ah di luar perkara syariat yang tidak
bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits
Hal ini sesuai pula
jika ditinjau dari ilmu nahwu
Kalimat bid’ah (بدعة) di sini adalah bentuk ISIM (kata
benda) bukan FI’IL (kata kerja).
Dalam ilmu nahwu
menurut kategorinya Isim terbagi 2 yakni Isim Ma’rifat (tertentu) dan Isim
Nakirah (umum).
Nah.. kata BID’AH ini
bukanlah
1. Isim dhomir
2. Isim alam
3. Isim isyaroh
4. Isim maushul
5. Ber alif lam
1. Isim dhomir
2. Isim alam
3. Isim isyaroh
4. Isim maushul
5. Ber alif lam
yang merupakan bagian
dari Isim Ma’rifat.
Jadi kalimat bid’ah
di sini adalah Isim Nakiroh dan KULLU di sana berarti tidak ber-idhofah
(bersandar) kepada salah satu dari yang 5 di atas. Seandainya KULLU ber-idhofah
kepada salah satu yang 5 di atas, maka ia akan menjadi ma’rifat. Tapi pada
‘KULLU BID’AH’, ia ber-idhofah kepada nakiroh. Sehingga dhalalah-nya adalah
bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah
menerima pengecualian.
Ulama yang sholeh,
bersanad ilmu tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti
Imam Nawawi ra yang bermazhab Syafi’i mengatakan
قَوْلُهُ
وَكُلُّ
بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
هَذَاعَامٌّ
مَخْصٍُوْصٌ
وَالْمُرَادُ
غَالِبُ
الْبِدَعِ
.
“Sabda Nabi
Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush,
kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian
besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Hadits “Kullu
Bid’ah dlalalah” berdasarkan ilmu atau menurut tata bahasanya ialah ‘Amm
Makhshush, artinya “makna bid’ah lebih luas dari makna sesat” sehingga “setiap
sesat adalah bid’ah akan tetapi tidak setiap bid’ah adalah sesat”.
Sebagian ulama
berpendapat bahwa pengecualian itu pada perkara baru “urusan dunia” atau bid’ah
duniawiyyah.
Sangat keliru jika
berpendapat bahwa bid’ah yang diperbolehkan atau bid’ah yang tidak masuk
neraka adalah bid’ah urusan dunia (bid’ah duniawiyyah) karena bid’ah
urusan dunia (bid’ah duniawiyyah) ada yang hasanah (baik) dan ada pula
yang sayyiah (buruk).
Tidak boleh kita
mengeneralisir bahwa setiap bid’ah urusan dunia (bid’ah duniawiyyah) adalah
boleh atau baik sebagaimana kaum sekulerisme menyalahgunakan hadits, ”wa
antum a’lamu bi amri dunyakum, “dan kamu sekalian lebih mengetahui
urusan-urusan duniamu”. (HR. Muslim 4358). Hal ini telah
diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/05/06/urusan-dunia/
Bidah (perkara baru)
“urusan dunia” atau bid’ah duniawiyyah harus pula ditetapkan kedalam hukum
taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah). Jika setiap
akan melakukan perbuatan dan merujuk kepada hukum taklifi yang lima maka termasuk
perbuatan merujuk dengan Al Qur’an dan Hadits.
Perbuatan merujuk
dengan Al Qur’an dan Hadits seperti itulah termasuk ke dalam dzikrullah
(mengingat Allah) atau memandang Allah ta’ala sebelum melakukan
perbuatan, sebagaimana Ulil Albab, kaum muslim yang menggunakan lubb atau
akal qalbu atau muslim yang menundukkan akal pikirannya kepada akal qalbu
sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/01/29/tundukkan-akal-pikiran/
Ulil Albab
sebagaimana firman Allah yang artinya,
“(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci
Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran: 191).
“Allah
menganugerahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As
Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil
Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah
[2]:269 ).
“Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7
)
Jadi segala perbuatan
atau segala urusan dunia yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam termasuk dalam perkara baru (bid’ah) di luar
perkara syariat atau di luar apa yang telah disyariatkanNya (diwajibkanNya)
jika bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka termasuk bid’ah dholalah dan
jika tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka termasuk bid’ah
hasanah atau sunnah hasanah.
Kesimpulam akhir
adalah,
Siapa yang melakukan
sunnah hasanah yakni mencontohkan atau meneladankan atau membuat perkara baru
(bid’ah) di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan
Hadits maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan
perbuatan tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun.
Dan siapa melakukan sunnah sayyiah yakni yang mencontohkan atau meneladankan
atau membuat perkara baru (bid’ah) di luar perkara syariat yang bertentangan
dengan Al Qur’an dan Hadits, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang
yang mengamalkan perbuatan tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa
mereka sedikitpun.
Jadi para ulama yang
sholeh yang membuat Ratib al Haddad, sholawat nariyah, sholawat badar, qasidah
burdah, maulid barzanji atau orang yang pertama kali mengadakan peringatan
Maulid Nabi maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala-pahala dari
orang-orang yang mengamalkannya.
Perlu diketahui,
contohnya kitab Barzanji ditulis oleh ulama yang sholeh dari keturunan cucu
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mendapatkan pengajaran agama dari
orang tua-orang tua mereka terdahulu yang tersambung kepada lisannya Imam
Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran agama langsung dari Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam yakni Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim
ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn
Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn
Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa
Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam
Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.
Sayyid Ja’far adalah
seorang mufti di Madinah , tentu kita tahu bagaimana kompetensi mufti pada
zaman dahulu. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal
dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat
dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud,
amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa
bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah. Semasa
kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar
tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh
Syamsuddin Al-Misri. Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat
adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid
Athiyatullah Al-Hindi.
Sayid Ja’far
Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu,
Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin,
Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah,
Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah
Sebaliknya mereka
yang melarang peringatan Maulid Nabi, Ratib al Haddad, sholawat nariyah,
sholawat badar, qasidah burdah, maulid barzanji menjadikan mereka terjerumus
menjadi ahli bid’ah yakni mengada ada dalam urusan agama atau mengada ada dalam
“urusan kami” atau mengada ada dalam perkara syariat (segala perkara yang telah
disyariatkanNya/diwajibkanNya) atau mengada-ada dalam urusan yang merupakan hak
Allah ta’ala menetapkannya yakni melarang sesuatu yang tidak dilarangNya.
Firman Allah Azza wa
Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang
tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan
durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan
sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
Dalam hadits Qudsi ,
Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang
lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian
membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku
halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku
dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat
Muslim)
Allah Azza wa Jalla
berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai
tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya
terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta
sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan
pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi
mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu
mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang
lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu
telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu
yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya
kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Demikianlah betapa
halusnya hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan
oleh kaum Zionis Yahudi agar mereka memahami Al Qur’an dan Hadits dengan makna
dzahir atau yang kami namakan pemahaman dengan metodologi “terjemahkan saja”
berdasarkan arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi). Hal ini umum
terjadi pada mereka yang memahami agama berlandaskan muthola’ah , menelaah
kitab dengan akal pikirannya sendiri.
Dalam memahami Al
Qur’an dan Hadits atau berpendapat atau berfatwa harus berdasarkan ilmu. Sanad
ilmu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan
ilmu untuk memahami Al Qur’an dan Hadits.
Mereka tidak memperhatikan
ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf,
balaghah (ma’ani, bayan dan badi’). Mereka tidak juga memperhatikan sifat
lafadz-lafadz dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada
lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz
muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad,
ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat dan lain lainnya.
Begitupula dengan
hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis
Yahudi agar mereka memahami Al Qur’an dan Hadits dengan makna dzahir selain
dapat menjerumuskan mereka menjadi ahli bid’ah adalah menjurumuskan
mereka kedalam kekufuran dalam i’tiqod.
Imam Ahmad ar-Rifa’i
(W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum
Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika
Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat
dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis
dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn
‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus
yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami
kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini
diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam
i’tiqod) secara pasti.”
Sayyidina Ali Ibn Abi
Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah
dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”
Dalam kitab ilmu
tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal
dapat kita ketahui bahwa
Barangsiapa
mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan
(jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang
tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
Barangsiapa
mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan
(jisim) namun tidak serupa dengan tangan makhluk (jisim-jisim
lainnya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang
yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
I’tiqad yang benar
adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu
bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat.
Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Salaf yang sholeh
mengatakan
قال
الوليد
بن
مسلم
: سألت
الأوزاعي
ومالك
بن
أنس
وسفيان
الثوري
والليث
بن
سعد
عن
الأحاديث
فيها
الصفات
؟
فكلهم
قالوا
لي
: أمروها
كما
جاءت
بلا
تفسير
“Dan Walid bin
Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri,
Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah?
Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa
tafsir“
Imam Sufyan bin
Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan:
كل
ما
وصف
الله
تعالى
به
نفسه
فتفسيره
تلاوته
و
السكوت
عنه
“Setiap sesuatu
yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah
bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah
radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari
ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu:
tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat dan mengikuti
huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Terhadap
lafazh-lafazh ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan berdasarkan
maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih
(penyerupaan), sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara
badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap
lafazh-lafazh ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban
yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang
yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak
–secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak
kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh”
Keterjerumusan
kekufuran dalam i’tiqod adalah hal yang dialami oleh ulama Ibnu Taimiyyah
sebagaimana yang disampaikan oleh ulama-ulama terdahulu seperti dalam tulisan
pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/
atau pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Bahkan karena
kesalahpahamannya mengakibatkan Ibnu Taimiyyah wafat di penjara sebagaimana
dapat diketahui dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia
Wassalam