Muqoddimah
◄Dengan menyebut nama Alloh yang maha pengasih
lagi penyayang. Adapun segala puji hanyalah bagi Alloh yang mengatur semua
alam. Selanjutnya rohmat Alloh semoga selamanya tercurahkan atas
penghulu kita, yakni Nabi Muhammad beserta keluarganya, para sahabatnya,
dan begitu juga semoga keselamatan (Alloh) tercurah kepadanya. Dan
selanjutnya sesudah membaca basmalah, hamdalah sholawat serta salam, maka
berkata orang yang sangat butuh akan rohmatnya Dzat yang mengatur dirinya yang
maha waspada (Alloh) serta yang maha melihat (Alloh), yakni dialah Ibrohim
orang negri bajuri yang sangat merasa (dirinya) gegabah. Telah
meminta dariku sebagian saudara-saudaraku►
Dalam pembukaan risalah ini,
(mushonnif = orang yg mengarang kitab ini) mendahulukan membaca basmalah,
hamdalah dan seterusnya sampai akhir.
Sebelum melangkah lebih jauh,
marilah kita mulai pembahasannya dari salahsatu pesan ulama yang begini
ungkapannya:
◄Satu keharusan kepada setiap orang
yang akan tampil dalam satu (fan) membahas basmalah dengan ilmu jurasannya itu
(fan)►
(Fan) itu ialah seni atau uraian
yang isinya sebuah kajian ilmu.
Nah disini membahas (fan) tauhid,
maka membahas basmalah dengan fan tauhid. bismillah. niat saya berharap dengan
meminta pertolongan kepada dzat yang memiliki nama Alloh, bismillah niat saya
berharap mencari berkah dengan menyebut nama Alloh.
Kalimat Alloh ialah (asma') yang
dikatagorikan (taufiqiyyah) artinya perkara yang menunggu akan turunnya wahyu
dari Alloh, oleh karenanya dengan menyebut-nyebut asma'Nya adalah satu tanda akan
turunnya taufiq dari Alloh, dan ia-pun datangnya bukan hasil dari akal.
Lapad Alloh, namanya:
● Ismun jalalah, nama keagungan.
● Ismun a'dhom, nama kebesaran.
● Ismun min asma'ul husna, nama-nama dari (asma'ul husna).
● Ismun jalalah, nama keagungan.
● Ismun a'dhom, nama kebesaran.
● Ismun min asma'ul husna, nama-nama dari (asma'ul husna).
Di awal permulaan risalah ini, ungkapan
yang keluar dari lapad basmalah, yang pertama diniati mencontoh pada alqur’an,
dan yang keduanya karena ada hadits yang berbunyi:
◄Setiap perkara (pekerjaan) yang
dipandang baik oleh hukum syara’, akan tetapi tidak diawali dengan membaca
bismillahirrohmanirrohim, maka kurang berkah►
Penjelasan : bismillah
Dalam pembukaan risalah ini
mushonnif memulai dengan membaca basmalah, tiada lain hanya mengharap
keberkahan serta pertolongan Alloh semata.
Penjelasan : arrohman
Yaitu salasatu sipat Alloh yang
memberi limpahan kurnia serta nikmat yang besar atas semua makhluk di dunia dan
di akhirat.
Penjelasan : arrohim
Yaitu salasatu sipat Alloh yang
memberi limpahan kurnia serta nikmat yang besar khusus bagi orang-orang yang
merasakan nikmat ar-rohman.
Penjelasan : alhamdulillah
Kalimat (alhamdu lillah),
memberitahukan bahwa semua yang namanya puji hanyalah milik Alloh, bukan hanya
memberitahukan saja, akan tetapi maksudnya memanjatkan pujian kepada
Alloh. hal ini termasuk dalam qo’idah, dan juga kalau dibawa pada
'fan' ilmu 'ma’ani bilaghoh', ungkapan kalimah alhamdu lillah itu begini:
◄Ungkapan pemberitahuan puji, akan
tetapi isinya memanjatkan puji►
Perbedaan antara lapad basmalah
dengan hamdalah, yakni basmalah sebagai (ibtida haqiqi: pembuka yg
sesunggunya), sedangkan lapad hamdalah sebagai (ibtida idhofi: pembuka yg
disandarkan pada kalimah basmalah).
Adapun yang namanya puji terbagi atas
4 bagian, yaitu:
● 1. Qodimun liqodimin: yaitu
puji Alloh terhadap dzatnya sendiri, seperti firman Alloh dalam Al-Qur’an:
◄Dan Dialah Dzat yang maha tinggi
lagi maha agung►
● 2. Qodimun lihaditsin: yaitu puji
Alloh terhadap makhlukNya, seperti firman Alloh dalam Al-Qur’an:
◄Sesungguhnya Allah telah memilih
Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga `Imran melebihi segala umat (di masa mereka
masing-masing)►
● 3. Haditsun liqodimin: yaitu puji
makhluk terhadap Alloh, seperti makhluk membaca hamdalah.
● 4. Haditsun lihaditsin: yaitu puji
makhluk terhadap sesama makhluk, seperti Rosululloh memberi gelar atau titel
(ash shidqu: orang yg benar) kepada sohabatNya Abu Bakar dengan titel Abu Bakar
as-Sidqu.
Alasan mushonnif membaca hamdalah.
● Pertama, ittiba (mengikuti jejak)
rosul, yang terlahir dari sebuah hadits:
◄Ber-akhlaklah seperti akhlak Alloh►
● Kedua, amalan bilhadits,
◄Setiap perkataan yang tidak dimulai
dengan membaca hamdalah, maka perkataan tersebut cacar/corob (penyakit kulit)►
dikatakan pula dalam hadits:
◄Sesungguhnya Alloh itu menyenangi
pujian, pujian kepada Alloh adalah arah-arah diberinya pahala pada orang yang
memuji kepada Alloh►
Jadi hikmahnya si hamba memuji
kepada Alloh, yakni bahwa Alloh akan memberi pahala kepada orang yang memuji
terhadapNya, serta dengan pujian tersebut menjadikan penglihatanNya kepada si
hamba dengan penglihatan rohmat, serta menjadikan pahala simpanan bagi si hamba
diakhirat nanti.
dikatakan pula dalam hadits:
◄Adapun memuji Alloh akan menjadikan
keselamatan nikmat dari hilangnya nikmat►
Penjelasan : robbil ‘alamin
Ungkapan kalimah (Robbi) maknanya
lebih luas dibandingkan dengan kalimat (Milku) atau (Maula), karena kalimat
Robbi maknanya mencakup penciptaan, memiliki, menguasai, mengurus dan juga mengatur.
Sedangkan kalimat (Al-Alamin),
menunjukan pada setiap yg namanya alam, seperti alam sadar, alam bawah sadar,
alam rahim, alam mulki, alam malakut, alam jabarut, alam hissi alam maknawi,
alam dunia, alam akhirat dst.
Penjelasan : washsholatu wassalamu
Ungkapan kalimat Sholawat dan Salam
apabila dihubungkan:
● Dari Alloh, kedudukannya menjadi rohmat (kesejahteraan) untuk Nabi.
● Dari Malaikat, kedudukannya menjadi istighfar (permintaan ampunan) untuk Nabi.
● Dari orang Mukmin, kedudukannya menjadi du’a (permintaan harapan yg tulus), agar senantiasa rohmat dan keselamatan Alloh selamanya tercurah kan untuk Nabi. Contoh ungkapan du’a:
● Dari Alloh, kedudukannya menjadi rohmat (kesejahteraan) untuk Nabi.
● Dari Malaikat, kedudukannya menjadi istighfar (permintaan ampunan) untuk Nabi.
● Dari orang Mukmin, kedudukannya menjadi du’a (permintaan harapan yg tulus), agar senantiasa rohmat dan keselamatan Alloh selamanya tercurah kan untuk Nabi. Contoh ungkapan du’a:
◄Ya Alloh semoga kesejahteraan dan
keselamatan senantiasa selamanya tercurah kepada penghulu kami, ya’ni Nabi
Muhammad saw►
Kalimat Sholawat dan Salam adalah:
◄Ungkapan pemberitahuan (sholawat),
akan tetapi isinya memanjatkan sholawat►
Firman Alloh dalam Al-Qur’an:
◄Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,
bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya►
Penjelasan : faqiru rohmata robbihi
Setiap makhluk Alloh, pasti
membutuhkan rohmatNya, dan tingkatan orang yg membutuhkan rohmatNya diantaranya
ialah:
● 1. Orang yg tidak percaya dirinya
membutuhkan rohmatnya Alloh, malahan merasa dirinya kaya, Alloh-lah yg butuh,
firman Alloh dalam Al-Qur’an:
◄Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkatan orang-orang yang mengatakan: "Sesunguhnya Allah miskin dan kami
kaya.►
● 2. Orang yg percaya dirinya
membutuhkan rohmatnya Alloh, akan tetapi tidak merasakan atas kebutuhannya.
mereka adalah tingkatan orang beriman.
● 3. Orang yg percaya dirinya
membutuhkan rohmatnya Alloh serta merasakan dirinya sangat membutuhkanya,
inilah tingkatan orang mukmin haqqul yaqin. Nah nomor dua dan tiga sejalan
dengan firman Alloh dalam Al-Qur’an:
◄Maka sesungguhnya Allah Maha Kaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam►
Yang menyusun kitab ini dalam
ungkapan (faqiru rohmata robbihi) termasuk golongan yg ketiga. Dan juga dalam
ungkapan (faqiru rohmata robbihi) diakuinya oleh mushonnif robb dirinya saja
tidak disebut robb alam (memisahkan diri), dengan kata lain hanya sekedar
antara dirinya dengan Alloh, serta sedang merasakan haq rububuyyah yang ada
dalam dirinya, dan merasakan haq ubudiyyahnya, yakni haq pribadi diri yang ada
dalam dirinya.
● Haq Rububiyyah:
Setiap keberadaan selain seluruh
anggota badan seperti ilmu, wibawa, harta-benda, pamili dll.
● Haq Ubudiyyah:
Seluruh anggota badan yang keluar
dari rahim Ibu, yg membentang bagaikan mayit, atau pribadi yang wajib
dibuktikan kepada Alloh.
Penjelasan : al khobiru
◄Ialah sipat yang mengetahi terhadap
dalam-dalamnya segala perkara►
Yakni yang mencakup semua perkara
yang (dhohir), yang (wujud aqli), atau yang (wujud hissi) (yang belum dhohir)
(Al khobiru) yaitu salah satu sipat
Aloh yang tidak dijadikan sipat 20 oleh ahli aqo’id iman, karena sudah
terliputi oleh sipat ilmu serta bashor-nya Alloh, setiap yg diwaspadai oleh Alloh
pasti kelihatan dan diketahui oleh Alloh, cuma perbedaannya hanya untuk perkara
yang (mumkinul wujud), yakni perkara yang akan ada tapi belum ada. Dan
kontaknya sipat (al khobiru)-nya Alloh (tanjizi hadits), sedangkan kontaknya
sipat ilmu-nya Alloh (tanjizi qodim).
Penjelasan : albashiru
(Albashiru) adalah salah satu sipat
Alloh, yang melihat dengan sipat bashor-nya Alloh terhadap perkara yang maujud
walaupun belum ter-(idrok = diketemukan).
Adapun ta’aluq-nya sipat bashor-nya
Alloh pada perkara yang maujudat, yaitu wajibul wujud, atau mumkinul wujud.
Penjelasan : dzu taqtsiri = merasa
gegabah
Kalau berkata (dzu taqtsiri) ingin
disebut tawadlu, itu namanya riya', tapi kalau berkata (dzu taqtsiri) karena
benar-benar merasa gegabah dalam ibadah kepada Alloh, dialah (khosyi'an
mutawadi'an rofi'a darojatihi indalloh) orang khusu’ serta tawadlu yang
terangkat derajatnya disisi Alloh.
Penjelasan : tholaba minni
Disini mushonnif menerangkan asal mulanya
mengarang kitab tijan ini, yang diawali oleh sebuah permohonan sebagian saudara
muslim, yang meminta dirinya untuk menuliskan sebuah kitab kecil yang mencakup
sipat Alloh dan sipat Rosul.
Oleh karenanya hasil ilmu dengan
cara diminta akan lebih intim dan lebih penting serta lebih bermanfaat. Ada
keterangan begini bunyinya:
◄Adapun yang namanya ilmu itu
bagaikan gudang yang dikunci, adapun alat untuk membukanya ialah permintaan dan
pertanyan►
Penjelasan : ba’dlul ikhwani
Kalimat (ba’dlul ikhwani jama') dari
lapad (akhun) maksudnya ialah saudara seagama, seperti firman Alloh dalam
alqur’an:
◄Sesungguhnya orang-orang mu'min
adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu►
Dalam istilah kitab, kalau saudara
satu turunan, biasanya memakai kata (jama’ ikhwatun) untuk laki-laki, sedangkan
kalau untuk perempuan biasanya menggunakan kata (akhwatun), kalau untuk saudara
seagama biasa menggunakan kata (ikhwanun).**********
◄Semoga Alloh memberi kemaslahatan kepadaku dan
kepada saudaraku pada tingkah dan kelakuan, agar supaya saya menuliskan untuk
sebagian saudaraku itu, satu risalah (lembaran buku) yang kecil yang meliputi
sipat-sipat ketuhanan serta sipat-sipat berlawanannya, dan perkara yang wenang
dalam haqnya Alloh ta’ala. Dan juga pada perkara yang wajib dalam haqnya para
rosul serta pada perkara yang mustahil didalam haqnya para rosul semua, dan
juga pada perkara yang wenang di para rosul. Oleh karenanya, maka aku penuhi
permintaan ba’dul ikhwan untuk mengarang kitab kecil ini. Selanjutnya aku
memohon taufiq kepada Alloh.
Wajib kepada setiap mukallaf, ialah mengenal pada perkara yang wajib didalam haqnya Alloh ta’ala, dan perkara yang mustahil, serta perkara yang wenang►
Wajib kepada setiap mukallaf, ialah mengenal pada perkara yang wajib didalam haqnya Alloh ta’ala, dan perkara yang mustahil, serta perkara yang wenang►
Penjelasan : ashlahallohu
Kalimat yang diatas merupakan jumlah
(mu’taridhoh) artinya pembatas antara (fi’il) dan (maf’ul), antara (tholaba)
dan (an aktuba), Nah inilah yang disebut jumlah (du’a'iyyah), karena mushonnif
sengaja menyelipkan dengan du’a (ashlahallohu li walahum) secara minimal satu
kali memenuhi dari ayat (fa'ashlihu baina akhwaikum), karenanya, paling sedikit
menjalin persaudaraan itu dengan du’a.
Perkara yang diminta oleh (ba’dlul
ikhwan), tiada lain agar aku (kata syeh Ibrohim) menulis kitab kecil yang
meliputi sipat-sipat ketuhanan, semuanya ada 20 sipat:
- Wujud arti secara harfiyyah: ada
- Qidam arti secara harfiyyah: pemula, hal yg dahulu kala
- Baqo’ arti secara harfiyyah: kekal
- Mukholafatu lilhawaditsi arti secara harfiyyah: berbeda dengan yang baru
- Qiyamuhu binafsihi arti secara harfiyyah: berdiri sendiri
- Wahdaniyyat arti secara harfiyyah: tunggal
- Qudrot arti secara harfiyyah: kuasa
- Irodat arti secara harfiyyah: berkehendak
- ‘Ilmu arti secara harfiyyah: mengetahui
- Hayyat arti secara harfiyyah: hidup
- Sama' arti secara harfiyyah: mendengar
- Bashor arti secara harfiyyah: melihat
- Kalam arti secara harfiyyah: berkata
- Qodiron arti secara harfiyyah: yang kuasa
- Muridan arti secara harfiyyah: yang berkehendak
- ‘Aliman arti secara harfiyyah: yang mengetahui
- Hayyan arti secara harfiyyah: yang hidup
- Sami’an arti secara harfiyyah: yang mendengar
- Bashiron arti secara harfiyyah: yang melihat
- Mutakalliman arti secara harfiyyah: yang berkata
Adapun sipat-sipat yang belawanannya
ada 20 sipat:
- ‘Adam arti secara harfiyyah: tiada
- Huduts arti secara harfiyyah: baru
- Fana’ arti secara harfiyyah: ruksak
- Mumatsalatu lil hawaditsi arti secara harfiyyah: serupa dengan yang baru
- Ihtiyaju arti secara harfiyyah: butuh
- Ta’addud arti secara harfiyyah: berbilang (lebih bilangannya)
- ‘Ajzu arti secara harfiyyah: lemah (tak berdaya)
- Karohah arti secara harfiyyah: terpaksa
- Jahlu arti secara harfiyyah: bodoh
- Mautu arti secara harfiyyah: mati
- Shomam arti secara harfiyyah: tuli
- ‘Umyun arti secara harfiyyah: lolong / buta
- Bukmun arti secara harfiyyah: bisu
- ‘Ajizan arti secara harfiyyah: yang lemah (tak berdaya)
- Karihan arti secara harfiyyah: yang terpaksa
- Jahilan arti secara harfiyyah: yang bodoh
- Mayyitan arti secara harfiyyah: yang mati
- Ashomma arti secara harfiyyah: yang tuli
- ‘A’ma’ arti secara harfiyyah: yang lolong
- Abkama arti secara harfiyyah: yang bisu
Sedangkan perkara yang wenang dalam
haqnya Alloh ta’ala jumlahnya cuma ada satu, yaitu:
◄Mengerjakan atau meninggalkannya,
pada setiap perkara yang MUMKIN adanya►
Penjelasan : ma yajibu fi haqqir
rusuli
Adapun perkara yang wajib didalam
haqnya para rosul, semuanya ada empat, diantaranya:
- Sidiq arti secara harfiyyah: benar
- Amamnah arti secara harfiyyah: terpercaya
- Fathonah arti secara harfiyyah: pintar = mahir (cepat mengerti)
- Tabligh arti secara harfiyyah: menyampaikan
Adapun jumlahnya sipat yang mustahil
didalam haqnya para rosul ada empat, yaitu:
- Kidbu arti secara harfiyyah: dusta = bohong
- Khiyanat arti secara harfiyyah: khiyanat (tidak jujur)
- Biladah arti secara harfiyyah: dungu = bodoh
- Kitmani arti secara harfiyyah: menyembunyikan
Adapun perkara yang wenang didalam
haqnya para rosul, jumlahnya hanya satu, yaitu:
◄Yaitu sipat kamanusaan►
Nah itulah yang diminta oleh (ba’dul
ikhwan), didalam risalah ini. Sehubungan dengan adanya permintaan untuk menulis
susunan tentang ilmu yang berkaitan dengan ketuhanan dan kerosulan, baik
perkara yang wajib, mustahil ataupun yang wenang, maka syekh imam Albajuri memenuhi
permintaannya.
Penjelasan.
Dalam kalimat (wabillahi taufiq),
adalah merupakan suatu pernyataan:
◄Tiada daya dan upaya kecuali dengan
pertolongan Alloh yang maha tinggi dan maha agung►
Penjelasan : yajibu
Yang namanya wajib disini ada
beberapa bagian, diantaranya yaitu :
● Wajib menurut hukum syara’
● Wajib menurut hukum ushul fiqih
● Wajib menurut hukum aqli
● Wajib menurut hukum adi (adat)
● Wajib menurut hukum ushul fiqih
● Wajib menurut hukum aqli
● Wajib menurut hukum adi (adat)
Nah dalam kalimat (wajib) disini,
yaitu wajib menurut hukum syara’ (bagian fiqih).
Definisi wajib menurut hukum syara’,
yaitu:
◄Suatu perkara yang mana Alloh telah
menjanjikan kepada orang yang mengerjakannya dengan pahala, dan Alloh telah
menjanjikan kepada orang yang meninggalkannya dengan siksaan►
Dikarenakan ma’rifat diwajibkan menurut
hukum syara’, maka pasti akan dapat pahala serta terpenuhi syarat sahnya
syahadat bagi orang yang ma’rifat, sebaliknya pasti akan dikenakan siksaan dan
tidak akan sah syahadatnya bagi orang yang tidak ma’rifat.
Yang keduanya ada yang namanya
(wajib) menurut ushul fiqih, namanya (Ijab)
Definisi wajib menurut ushul fiqih,
yaitu:
◄Mencari pekerjaan yang pasti►
Adapun yang mewajibkan ma’rifat,
karena ada perintah didalam alqur’an, yang begini bunyinya:
◄Hai manusia, bertauhidlah kamu
sekalian kepada robb kalian, Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa►
● Lapad (u’budu), ialah mencari
i’tiqod yang pasti, hal ini sebagai bukti dan petunjuk pada perkara yang wajib.
● Lapad (u’budu), maksudnya ialah menunjukan suatu perintah kepada setiap yang namanya manusia, untuk bertauhid serta ma’rifat kepada robb, karena dalam ayat tersebut diatas yang (di-khithoban) diajak dialog adalah yang namanya (annas) manusia. Maka tidak sah kalau di-khithoban (ibadah) kalau belum bertauhid dulu. Tapi kalau andai kata ayat yang diatas tersebut menggunakan kalimat (ya ayyuhal ladzina amanu), maka sah kalau di-khithoban untuk (ibadah), karena sudah berada dalam keadaan iman.
● Lapad (robbakum) disipati dengan kalimat (alladzi kholaqokum), kalimat ini menunjukan bahwa ma’rifat itu diharuskan dengan menggunakan dalil.
● Lapad (u’budu), maksudnya ialah menunjukan suatu perintah kepada setiap yang namanya manusia, untuk bertauhid serta ma’rifat kepada robb, karena dalam ayat tersebut diatas yang (di-khithoban) diajak dialog adalah yang namanya (annas) manusia. Maka tidak sah kalau di-khithoban (ibadah) kalau belum bertauhid dulu. Tapi kalau andai kata ayat yang diatas tersebut menggunakan kalimat (ya ayyuhal ladzina amanu), maka sah kalau di-khithoban untuk (ibadah), karena sudah berada dalam keadaan iman.
● Lapad (robbakum) disipati dengan kalimat (alladzi kholaqokum), kalimat ini menunjukan bahwa ma’rifat itu diharuskan dengan menggunakan dalil.
Yang ketiga wajib menurut hukum
(aqli=akal) dan hukum (adi=adat), nah wajib inilah yang ada hubungannya dengan
ilmu aqo’id iman, atau yang ada hubungannya dengan bahasan yang ada dalam kitab
ini.
Penjelasan : ala kulli mukallafin
Pertama, dalam bahasanya menggunakan
kata (ala) bukan dengan kata ( li ), menunjukan (wujub) bukan (hasan), Oleh
karena itu maka wajib yang tidak bisa ditawar lagi, berbeda dengan haq, ini
masih bisa ditawar, gugur karena ridlo, gugur karena bodoh.
Yang kedua, ditambah lagi dengan
kata (kulli), ini menunjukan pada:
Maksudnya ialah, setiap bagian dari
jenisnya mukallaf wajib ma’rifat, lelaki, perempuan, bangsa dan suku apa saja,
dimana saja berada, baik tahapan rendah, pinpinan, awam atau ulama, wajib
mengenal Alloh.
Yang ketiga, ditambahan lagi dengan
kalimat (mukallafin), artinya yaitu orang yang telah dibebani oleh perintah
hukum syara’. Tandanya, yaitu sudah balig serta punya akal, iman atau tidak
iman, tetap dikenakan wajib ma’rifat. Kalimat (mukallafin) lapadnya (am=umum),
nah oleh karena umum, maka orang kafir disiksa kalau tidak ma’rifat.
Penjelasan : an ya’rifa
Bilamana (fi’il mudlore) kemasukan /
disisipi (an masdariyyah) kedudukan makna dan (tarkiban)-nya sama seperti
(masdar), disini kedudukan (an ya'rifa) jadi (fa’il) maknanya sama dengan
(alma’rifat).
Kata (ma’rifat) dalam tauhid
sebagaimana definisi dalam ilmu tashowwuf, kata ma’rifat dalam ilmu tashowwuf
yaitu iman tingkatan (arifin ilmul yaqin), (ainul yaqin), (haqqul yaqin).
Kata ma’rifat dalam aqo’id iman
bukan sekedar mengetahui, bukan sekedar percaya, yang tahu namanya ilmu, yang
percaya namanya iman, tetapi yang nama ma’rifat melebihi tahu serta melebihi
percaya, nah itu mutlaknya iman.
Pertama.
Adapun definisi ma’rifat dalam
aqo’id iman, ialah:
◄Penemuan tekad yang pasti,
sekira-kira tidak disertai keraguan►
● Kalimat yang ada hubungannya
dengan kata (idrokun), dintaranya yaitu:
● Khoyali, yaitu bayangan jiwa yang belum sampai pada tingkah kepercayaan.
● Wahmun, yaitu sekilas bayangan kepercayaan yang kurang dari lima puluh persen.
● Syak, yaitu iman, kepercayaan lima puluh persen.
● Dhon, nyaitu iman, kepercayaan yang disertai sangkaan yang kuat yang melebihi dari lima puluh persen, tapi kurang dari seratus persen.
● Yaqin, yaitu termasuk dalam idrokun jazimun. ini yakin yang seratus persen.
● Khoyali, yaitu bayangan jiwa yang belum sampai pada tingkah kepercayaan.
● Wahmun, yaitu sekilas bayangan kepercayaan yang kurang dari lima puluh persen.
● Syak, yaitu iman, kepercayaan lima puluh persen.
● Dhon, nyaitu iman, kepercayaan yang disertai sangkaan yang kuat yang melebihi dari lima puluh persen, tapi kurang dari seratus persen.
● Yaqin, yaitu termasuk dalam idrokun jazimun. ini yakin yang seratus persen.
Apabila, umpamanya kemarin (jazim),
sekarang tidak (jazim), maka dimualai dari sekarang hingga sebelum (jazim)
tidak sah imannya, hukumnya murtad.
Kedua.
Selanjutnya mesti (muwafiqun
lilwaqi'i), maksudnya ialah perkara yang ditekadkannya mesti sesuai dengan
buktinya. Seumpama tekadnya (idrokun jazimun). Imannya kepada Alloh, tapi
perkara yang ditekadinya tidak sesuai dengan buktinya, atau tidak sesuai dengan
sipat-sipat ketuhanan, menurut ahli sunnah, bukan ma’rifat tapi kupur hukumnya,
seperti tekadnya kafir (mujassimah) dengan nekadkan (jazim) atas adanya Alloh,
tapi Alloh yang ia tekadkan yang bersemayan dalam dirinya sendiri. Atau seperti
tekadnya kafir (fulasifah) yang menekadkan akan adanya Alloh dengan (jazim),
tapi yang ia tekadkan bahwa Alloh yang bersemayan didalam alam.
Atau menekadkan dengan (jazim) bahwa
Muhammad itu rosululloh (utusan Alloh), sedangkan muhammad yang ia akui bukan
muhammad bin abdulloh, tapi misalnya (mim ~ ha ~ mim ~ dal) misalkan, (Mim)-nya
kepala, (Ha)-nya tangan, (Mim)-nya perut, (Dal)-nya kaki.
Ketiga.
Selanjutnya harus (nasyi’un an
dalilin), artinya harus timbul dari dalil, dalil itu terbagi atas dua bagian:
- Dalil tafshili, yaitu dalil yang mendalam serta mendetil, dalil yang ini bisa untuk menyerang atau menghancurkan aqidah yang batal. Pandangan hukum syara’ terhadap dalil tafshili, para ulama berpendapat bahwa hukumnya fardlu kifayah.
- Dalil ijmali, ulama ittifaq bahwa hukumnya adalah fardlu ain terhadap dalil ijmali. serta dimasukan kedalam syarat ma’rifat.
Ulama mujtahidin terhadap hukum
syara’nya terbagi menjadi lima pendapat:
- Qoul yang pertama, golongan Imam Sanusi dan Imam Ibnul Arobi berpendapat bahwa ma’rifat tidak dengan dalil, maka hukumnya tidak sah imannya, baik orang pintar atau orang bodoh, kapir hukumnya.
- Qoul anu kedua, ma’rifat tidak dengan menggunakan dalil, sah imannya, baik cerdas ataupun bodoh, Cuma maksiat.
- Qoul yang ketiga, ma’rifat tidak disertai dengan dalil untuk orang yang bodoh, sah imannya serta tidak maksiat, untuk orang yang cerdas sah imannya tapi dosa, qoul yang ketiga ini dibuat sandaran oleh ahli aqo’id, serta sah disebarkannya.
- Qoul yang keempat, ma’rifat tidak disertai dalil, tidak berdosa seumpamanya taqlid pada qur’an dan hadits yang mutawatir.
- Qoul yang kelima, ma’rifat tidak disertai dalil, sah imannya serta tidak berdosa, malah haram memikirkannya dalil, seumpama dalilnya tercampuri (fulasifah).
Penjelasan : ma yajibu
Maksudnya kata (ma) disini, yaitu
perkara yang menunjukan pada macam-macam sipat yang dua puluh yang wajib adanya
di Alloh yang wajib dima’rifatkannya, penjelasannya insya alloh yang akan
datang.
Kata wajib disini maksudnya wajib
aqli bukan wajib syar’i bukan wajib ‘adi.
Adapun definisinya wajib menurut
akal, yaitu:
◄Perkara yang tergambarkan oleh akal
ghorizi adanya perkara tersebut. Dan tidak tergambarkan oleh akal ghorizi tidak
adanya itu perkara►
(Yakni perkara yang pasti adanya
mustahil tidak adanya)
Adapun yang namanya aqal terbagi
tiga bagian:
● Aqal thobi’i, yaitu akalnya binatang yang tidak tahu tentang robb.
● Aqal ghorizi, yaitu akalnya manusia yang bisa memisahkan antara haq dan batil, Dan mengetahui serta paham atas keagungan Robb.
● Aqal ruhani, yaitu akal yang bisa menyaksi terhadap (af’al), (asma’), (sipat) dan (dzat) Alloh.
● Aqal thobi’i, yaitu akalnya binatang yang tidak tahu tentang robb.
● Aqal ghorizi, yaitu akalnya manusia yang bisa memisahkan antara haq dan batil, Dan mengetahui serta paham atas keagungan Robb.
● Aqal ruhani, yaitu akal yang bisa menyaksi terhadap (af’al), (asma’), (sipat) dan (dzat) Alloh.
Yang dimaksud oleh wajib menurut
hukum aqli, bukan dari pertama adanya akal, atau bukan dimana akal tidak ada
terus wajibnya hilang, tapi maksudnya pasti selalu ada selamanya, cuma akal
yang menemukannya.
Aqli:
Adapun hukum aqal, yaitu menetapkan
perkara yang lain, atau meniadakan perkara yang lain, serta bukan pengaturan
Alloh, serta bukan karena ukuran penemuan. Seperti menetapkan adanya suatu
pekerjaan, menandakan bahwa pasti adanya (orang) yang punya pekerjaan.
Hukum aqal itu ada tiga:
- Wajib.
- Mustahil.
- Wenang.
Yang namanya hukum, yaitu menetapkan
satu perkara pada perkara yang lain, atau meniadakan perkara yang lain, seperti
meniadakan perkara yang baru dari Alloh.
Adat.
Hukum adat, yaitu menetapkan perkara
yang lain, atau meniadakan perkara dari yang lain, dikarenakan sudah biasa
kerap terjadi seperti itu, tetapi sah menyalahinya serta tidak ada bekasnya,
seperti menetapkan mesti adanya hangus dalam perkara yang bertemu kena api.
Pekerjaan Alloh didalam adat ada
tiga rupa, yaitu:
- Mewujudkan yang disambung.
- Mewujudkan yang nyambung.
- Menyambungkan.
Hukum adat tiga bagian, yaitu:
- Wajib.
- Mustahil.
- Wenang.
Wajib.
Adapun yang namanya wajib menurut
adat, yaitu yang mesti adanya, tak mengerti oleh adat dalam tiadanya,
dikarenakan sudah biasa kerap terjadi seperti itu, tapi sah menyalahinya serta
tidak ada bekasnya, seperti menetapkan mesti adanya hangus dalam perkara yang
bertemu kena api.
Mustahil.
Adapun yang namanya mustahil menurut
adat, yaitu yang mesti tiadanya, tidak mengerti oleh adat dalam tiadanya,
dikarenakan sudah biasa kerap terjadi seperti itu, tapi sah menyalahinya serta
tidak ada bekasnya, seperti mesti tidak ada hangus dalam perkara yang bertemu
api-tidak kena.
Wenang.
Adapun yang namanya wenang menurut
adat, yaitu mengerti ada dan tiadanya itu terpikirkan, dikarenakan sudah biasa
kerap terjadi seperti itu, tapi sah menyalahinya serta tidak ada bekasnya,
seperti berjualan, ada rugi ada untung.
Hukum adat wajib syar’i untuk dijaga
dan dihormat.
Alloh berfirman:
◄Ia mendapat pahala (dari kebajikan)
yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya►
Menurut ushul fiqih:
◄Hukum adat dipakai sebagai landasan
hukum syara’►
Serta Alloh memperkuat dengan
firmannya:
◄Dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik►
Adapun yang memperkuat bahwa adat
tidak membawa bekas, yaitu firman Alloh dalam alqur’an:
◄Katakanlah: "Sekali-kali tidak
akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami►
(Yakni seperti makan tak membuat
kenyang, kenyang bukan karena hasil makan, tapi Alloh yang mengadakan makan
serta membuat kenyang, makan dan kenyang adalah suatu ketentuan Alloh)
◄Dan Allah-lah yang menciptakan kamu
dan apa yang kamu perbuat itu►
Persambungan adat.
Nyambungnya adat itu ada empat,
yaitu:
- Ada ke ada, contohnya : adanya makan, maka kenyang ada.
- Ada ke tidak ada, contohnya : adanya makan, maka lapar tidak ada.
- Tidak ada ke tidak ada, contohnya : tidak ada makan, maka kenyang tidak ada.
- Tidak ada ke ada, contohnya : tidak adanya makan, maka lapar ada.
Adapun yang namanya adat ketika
bertemu dengan sabab dan musabab, maka sah menyalahinya serta tidak ada
bekasnya. Karena terjadinya semua keadaan, bukan karena “sebab”, tetapi
terjadinya semua itu oleh Alloh ta’ala, Insya Alloh penjelasannya ada dalam
sipat wahdaniyyat.
Penjelasan : fi haqqihi ta’ala
Sipat dua puluh haq Alloh bukan
sesuatu yang ditangguhkan terhadap keputusan para mujtahidin, serta bukan haq
yang ditangguhkan terhadap perkataannya para rosul, serta bukan haq yang
ditangguhkan terhadap adanya alam. Walaupun sama sekali ia Alloh tidak
menciptakan makhluk, akan tetapi ia Alloh tetap tersipati oleh sipat dua puluh.
Adanya sipat dua puluh yang ada di
Alloh, ia tidak tergantung atas ditetapkannya atau dipercaya oleh makhluk,
andaikata semua makhluk tidak ada yang iman terhadap sipat yang dua puluh yang
ada di Alloh, maka tetap ia Alloh tersipati oleh sipat dua puluh, sebagaimana
firmanNya dalam alqur’an:
◄Dan jika kamu kafir, (maka
kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di
langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana►
Ayat yang diatas memberitahukan
bahwasannya dzat Alloh tidak membutuhkan apa-apa. dikarenakan sipat dua puluh haq
Alloh, Yakni tidak ada yang mempunyai sipat dua puluh kecuali Alloh, maka
mustahil makluk tersipati oleh sipat dua puluh, seumpamanya ada makhluk
menyerupai sipat dua puluh, kesamaannya cuma sekedar dalam sebutan saja
(tasybih tasmiyyah), karena pada hakikatnya (mukholafah = berbeda), contohnya
Alloh kuasa, raja-pun kuasa, kekuasaan Alloh tidak akan sama dengan kekuasaan
raja.
Penjelasan : wa ma yastahilu
Maksud kata (ma) disini, yaitu
perkara yang wajib dima’rifatkan bagian kedua, yaitu berbagai waranaan sipat
yang mustahil di Alloh, tidaklah cukup ma’rifat terhadap perkara yang wajib di
Alloh saja, kalau tidak mema’rifatkan terhadap rincian sipat yang mustahil di
Alloh.Adapun penjelasannya Insya Alloh yang akan datang.
Adapun definisinya Mustahil menurut
aqli, yaitu:
◄Perkara yang tidak tergambarkan
oleh akal ghorizi akan adanya, dan tergambarkan oleh akal ghorizi akan tidak
adanya►
Penjelasan : wa ma yajuzu
Maksudnya kata (ma) disini, yaitu
perkara yang wajib dima’rifatkan bagian yang ketiga, yaitu pada sipat yang
(wenang) di Alloh, tidaklah cukup ma’rifat dengan ma’rifat yang wajib di Alloh
dan yang mustahil di Alloh saja seumpama tidak ma’rifat terhadap sipat yang
(wenang) di Alloh.
Adapun jumlahnya sipat wenang di
Alloh cuma satu yaitu:
◄Berbuat pada setiap perkara yang
mumkin/mungkin, atau meninggalkanya►
(Mumkin) disini bukan (Mumkin)
menurut hukum syara’, juga bukan menurut hukum adat, tapi (Mumkin) menurut
hukum akal. Kalau mumkin menurut hukum syara’, yaitu menceritakan pada perkara
yang dikerjakan dan tidak dikerjakan, atau tidak diberi pahala dan tidak
disiksa.
(Mumkin) menurut hukum adat, yaitu
kadangkala ada, kadangkala tiada, seperti nyalanya lampu dan matinya lampu.
Definisinya (Mumkin) menurut hukum
akal, yaitu:
◄Perkara yang tergambarkan oleh akal
ghorizi adanya dan tidak adanya►
Maksudnya, (Mumkin) adanya dan
(Mumkin) tiadanya, walaupun hal tersebut yang dilarang oleh hukum syara’,
seperti adanya kufur, atau yang lainnya seperti dibakar tidak hangus. Nah ini
semuanya hal yang (Mumkin) di Alloh. Insya Alloh penjelasannya yang akan datang.
◄◄●═════════◄●►════════●►►
Wujud
Wujud
( Sipat
yang pertama yang wajib dalam haqnya Alloh ta’ala )
◄Maka
wajib dalam haqnya Alloh ta’ala yaitu sipat wujud, adapun
perlawanannya sipat wujud ialah Al’adamu (tidak ada Alloh).
Sedangkan dalilnya yang menunjukan terhadap sipat wujudnya Alloh adalah
adanya beraneka ragam jenisnya makhluk►
Penjelasan : fayajibu
Adapun kata wajib disini, yaitu
wajib menurut hukum aqli, arti harfiyyahnya, pasti serta dapat dipahami oleh
akal ghorizi, bahwasannya sipat wujud ada buktinya, serta yang dimaksud oleh
wajib menurut akal, bukan semenjak adanya akal, atau bukan dimana akal tidak
ada terus wajibnya pun tidak ada, tapi maksudnya pasti serta dapat dipahami
bahwa sipat wujud menetap selamanya, hanya akal yang menemukannya.
Penjelasan : fi haqqihi ta’ala
Wajib sipat wujud itu haq Alloh
ta’ala, bukan haq orang yang menyebut, karena wujud haq Alloh, maka pasti
wujudnya Alloh tidak tergantung akan dipercaya oleh makhluk, walaupun makhluk
tidak ada yang iman, walaupun rosul tidak diutus, walaupun alam tidak
diciptakan, maka tetap Alloh itu wujud.
Adapun yang namanya wujud terbagi
atas tiga bagian, yaitu:
- Wujud idlofi. Adanya satu perkara bersandar atas perkara yang lainnya, seperti adanya bapak menyandar atas adanya anak, atau adanya anak bersandar atas adanya bapak, dan yang serupa dengan itu.
- Wujud ‘aridli. Adanya satu perkara didahului oleh tidak ada dulu, seperti adanya langit, bumi, surga, neraka, dan yang serupa dengan itu.
- Wujud dzati / haqiqiq. Adanya satu perkara tidak bersandar atas perkara lain, juga tidak didahului oleh tidak ada dulu serta tidak diujungi oleh tiada. Yaitu adanya dzat Alloh.
Karena wujudnya Alloh wujud
haqiqi/dzati, maka adanya Alloh tidak bersandar atas adanya alam, walaupun alam
tidak ada, tetap Alloh tersipati oleh sipat wujud, begitu pula bahwa wujudnya
Alloh buka wujud (‘aridli), dalam arti wujudnya Alloh tidak didahului dan tidak
diujungi oleh tiada.
Adapun perkara yang wujud bisa
ditemukan oleh dua perkara:
- Hissi
- Aqli
Pertama oleh hissi.
Perkara yang wujud bisa ditemukan
oleh (hissi), yaitu oleh panca-indra:
- Ditemukan oleh mata, seperti adanya terang.
- Ditemukan oleh telinga, seperti adanya suara.
- Ditemukan oleh hidung, seperti adanya bau.
- Ditemukan oleh lidah, seperti adanya rasa.
- Ditemukan oleh telapak tangan, seperti adanya kasar atau lembut.
Kedua oleh aqli.
Perkara yang wujud bisa ditemukan
oleh aqli, yaitu oleh akal, seperti :
- Adanya ilmu
- Adanya bodoh.
- Adanya pintar.
- Adanya bahagia.
- Adanya susah dan perkara seperti itu.
Setiap wujudnya yang diciptakan,
pasti akal menemukan wujudnya yang menciptakan, oleh wujudnya alam atau
makhluk, akal menemukan pada wujud yang menciptakan, kemampuhan akal cuma
sebatas menemukan adanya dzat yang menciptakan (robb), adapun menemukan robb
yang dinamai Alloh, itu bukan hasil dari akal, tapi pemberian wahyu / ilham.
Adapun sipat wujud namanya sipat
(nafsiyyah), artinya sipat yang menetap yang menunjukan akan adanya dzat Alloh
dari (zaman ajalli), bukan sipat yang bangsa tiada, bukan sipat yang menunjukan
pada yang menetap (ngancik:sunda) didalam dzat, bukan sipat yang bangsa
anggapan (rekenan:sunda). Isinya sipat (nafsiyyah) cuma satu yaitu wujud.
Sipat yang bangsa tiada, namanya
sipat (salbiyyah), seperti sipat qidam artinya (tidak ada) permulaannya.
Sipat yang bangsa menetap didalam
dzat, namanya sipat (ma’ani), seperti qudrot (hinggap) di dzat Alloh.
Sipat yang bangsa anggapan yaitu
sipat (ma’nawiyyah), seperti Alloh (qodiron = kuasa jadi (yang) kuasa.
Dan cukup untuk orang mukallaf ialah
mengetahui sesungguhnya Alloh ta’ala yang maujud serta tingkahnya ada tur pasti,
serta tidak diwajibkan bagi orang mukallaf untuk mengetahui atas wujudnya Alloh
itu, apa (ainushshifat) atau (ainudzdzat), karena termasuk:
◄Dari dalam-dalamnya ilmu
kalam/tauhid►
Sorotan hukum syara’ terhadap wajib
aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat wujud.
- Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib wujudnya Alloh dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib wujudnya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib wujudnya di Alloh, serta di cap orang kafir dengan perintah syara’:
◄Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya
tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah►
- Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil ‘adamnya di Alloh, karena tidak sah menekadkan atas wajib wujudnya di Alloh saja kalau tidak dengan menekadkan atas mustahil ‘adamnya di Alloh.
- Hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil atas kebenarannya hukum akal, dengan firman Alloh didalam alqur’an:
◄Katakanlah: "Siapakah Tuhan
langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah."►
Penjelasan : dlid
Maksud perlawanannya sipat wujud
ialah (al’adamu), artinya tidak ada Alloh, karena wujudnya Alloh wajib, maka
tidak adanya Alloh pasti (mustahil)nya.
Kata (dlid) menurut (istilah) yaitu,
dua perkara yang tidak bisa kumpul dua-duanya, juga bisa hilang dua-duanya,
seperti putih dan hitam tidak akan ada dalam satu titik saja, putih dan hitam
bisa hilang dua-duanya digilir oleh merah.
Kata (dlid) menurut
(lughot) yaitu, dua perkara yang tidak bisa kumpul kedua-duanya, dan tidak bisa
hilang dua-duanya, seperti kata wujud dengan ‘adam, dua kata yang tidak akan
bisa berkumpul dalam satu dzat, serta tidak akan hilang dua-duanya, karena
tidak akan ada satu perkara didalamnya satu sebutan, ia ada ia juga tiada, dan
tidak bisa keberadaanya hilang dua-duanya. Nah itulah arti dhid menurut lughot
ia (naqidh = kurang) menurut (istilah). Karena wujud dengan (‘adam) (wajibul
wujud) dan (muhal wujud) maka tidak akan kumpul dua-duanya, serta tidak akan
hilang dua-duanya. Oleh karena itu maka dhid dalam ilmu aqo’id ialah dhid
menurut (lughot) (naqidh) menurut (istilah), karena tidak ada pihak ketiga.
Dan, yang
namanya (dlid) disini, ialah perlawanan (wujud dzati) yang
dikatagorikan mustahil di Alloh, yaitu:
- Wujud 'aridli, yaitu perkara yang baru adanya.
- Wujud idlofi, yaitu adanya perkara karena bersandar terhadap perkara yang lainnya.
- Wujud zamani, yaitu adanya perkara karena terkurung oleh waktu.
- Wujud hissi, yaitu adanya perkara karena diketahui oleh panca indra.
- Wujud aqli, yaitu adanya perkara karena diketahui oleh akal.
- Wujud mumatsalah, yaitu adanya perkara karena menyeruapainya.
- Wujud muthlaq, yaitu tidak adanya, hal yang mutlak/murni.
- Adam qoblal wujud, yaitu tidak adanya, sebelum ada.
- Adam ba'dal wujud, yaitu tidak adanya, sesudah ada.
- Adam bainal wujudaini, yaitu tidak adanya, ditengah-tengah yang dua kali wujud. Nah ini semuanya perkara yang mustahil di Alloh, karena hakikatnya ‘adamun ma’dumun dari tidak ada bakal tidak ada.
Penjelasan : waddalilu ala dzalika
Maksudnya (waddalilu ala dzalika)
yaitu dalil yang menunjukan terhadap wujudnya Alloh.
Dalil dilihat dari isi terbagi atas
dua bagian:
- Dalil ijmali, yaitu dalil garis besar. Mengetahuinya terhadap dalil ijmali menurut hukum syara’ termasuk (fardhu ‘ain).
- Dalil tafshili, yaitu dalil yang mendetail. Mengetahuinya terhadap dalil tafsili menurut hukum syara’ termasuk (fardhu kifayah). Adapun dalil dalam kitab tijan termasuk dalil ijmali.
Dalil dibagi lagi dilihat dari
perjalanannya, dibagi dua bagian:
- Dalil aqli yaitu, yang perjalanannya menggunakan dari hukum akal, serta akal yang digunakannya, yaitu akal ghorizi bukan akal thobi’i.
- Dalili naqli yaitu, perjalanannya yang bersumber dari alqur’an dan alhadits, yang menggunakan dalil naqli khusus orang mukmin, adapun orang kafir tidak bisa diberi keterangan alqur’an dan alhadits, karena terhadap alqur’an dan alhaditsnya juga belum percaya. Berbeda dengan dalil aqli, yaitu dalil yang ada dalam kitab tijan, supaya bisa mengerti terhadap hatinya orang kafir.
Adapun yang namanya dalil yaitu
alamat atau tanda, definisinya yaitu:
◄Tatkala diketemukan yang memberi
tanda, pasti diketemukan yang ditandai, tidak usah ada tandanya►
Dikarenakan dalil jadi alamat, maka
adanya makhluk jadi tanda terhadap adanya Alloh, setiap ada yang menciptakan
pasti ada yang diciptakan, tetapi bagi Alloh mumkin untuk tidak menciptakan
makhluk. Berbeda dengan yang namanya ta’rif, kalau ta’rif itu ialah:
◄Tatkala diketemukan ta’rif, pasti
ada yang dita’rifan►
Seperti (dzakar) ta’rifnya (rojul),
ada dzakar ada rojul, ada rojul pasti ada dzakarnya. Adapun makhluk adalah
alamat terhadap adanya Alloh bukan ta’rif atas adanya Alloh.
Kesimpulannya, wujudnya Alloh tidak
memerlukan dalil, Cuma imannya orang mu’min memerlukan dengan memakai dalil
supaya yakin.
Kenapa dalam setiap sipat yang wajib
di Alloh selalu menggunakan dalil, yaitu untuk menyempurnakan ma’rifat, karena
diantara syaratnya ma’rifat mesti mengetahui terhadap dalil.
Penjelasan : dalil
Adapun dalilnya sipat wujud yaitu:
- Dalil dari aqli, yakni dalil aqli-nya bahwa Alloh tersipati oleh sipat wujud, yaitu:
◄Adanya beraneka ragam jenisnya
makhluk►
- Dalil dari naqli-nya.
◄Allah-lah yang menciptakan langit
dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya►
◄◄●═════════◄►════════●►►
Qidam
Qidam
(Sipat
yang kedua yang wajib dalam haqnya Alloh ta’ala)
◄Dan
wajib dalam haqnya Alloh ta’ala yaitu sipat qidam (tidak ada permulaannya),
adapun maknanya sipat qidam "sesungguhnya (Alloh) tidak ada permulaannya
terhadap Alloh ta’ala. Sedangkan perlawanannya sipat qidam yaitu huduts (baru).
Adapun dalilnya terhadap sipat qidam (yaitu) "Sesungguhnya jikalau
terbukti (Alloh) halnya yang baru pasti membutuhkan (Alloh) terhadap sesuatu
yang memperbaru, sedangkan kalau Alloh membutuhkan atas sesuatu yang memperbaru
pasti mustahil"►
Penjelasan.
- Qidam : dahulu kala / pemula.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib
aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut (salbiyah)-nya yaitu
pasti serta dapat dipahami oleh akal ghorizi bahwa keberadaannya Alloh tidak
ada permulaannya.
Adapun yang namanya qidam terbagi
atas tiga bagian, yaitu:
- Qidam idlofi, yaitu permulaanya satu perkara karena disandarkan terhadap perkara lainnya, seperti permulaannya bapak disandarkan terhadap anak.
- Qidam zamani, yaitu permulaannya satu perkara yang terliputi oleh zaman, seperti permulaannya langit dan bumi karena sudah lama pada zaman adanya.
- Qidam haqiqi, yaitu permulaannya satu perkara bukan disandarkan terhadap perkara yang lainnya, serta bukan permulaannya terliputi oleh zaman, tapi permulaannya bukan asalnya tidak ada dulu, dalam arti tidak ada permulaannya. Yakni qidamnya dzat Alloh.
Karena qidam-nya Alloh, qidam
haqiqi, maka qidamnya Alloh tidak membutuhkan pada sesuatu yang memperbaru,
karena seumpamanya Alloh membutuhkan pada sesuatu yang memperbaru, maka akan
menimbulkan (daur) atau (tasalsul), yang keduanya mustahil bagi Alloh.
Adapun definisi daur dan tasalsul:
1. Definisi daur, yaitu:
◄Menunggunya satu perkara terhadap
perkara lainnya, yang mana perkara yang lainnya itu menunggu atas adanya itu
perkara►
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu
atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua menunggu atas adanya
diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas adanya
diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada
berhentinya.
2. Definisi tasalsul, yaitu:
◄Mengikutinya suatu perkara atas
satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara yang tidak ada
ujungnya (terhadap perkara tersebut)►
Seperti, Alloh itu tuhan yang pertama
diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua diciptakan oleh tuhan yang
ketiga, tuhan yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat. Terus-terusan
menyambung / estafet tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada
berujung.
Sorotan hukum syara’ terhadap wajib
aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat qidam:
- Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib qidamnya di Alloh dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib qidamnya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib qidamnya di Alloh, serta di cap orang kafir.
- Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil hudutsnya di Alloh dan barunya semua makhluk, karena tidak sah menekadkan atas wajib qidamnya di Alloh saja kalau tidak dengan menekadkan atas mustahilnya hudutsnya di Alloh, serta barunya semua makhluk.
- Hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil atas kebenarannya hukum akal, dengan firman Alloh didalam alqur’an:
◄Dialah yang Awal dan yang Akhir,
dan yang Zhahir dan yang Bathin►
Penjelasan : wama’nahu
Maksud kata (wama’nahu) disini
ialah, mengungkapkan bahwa sipat qidam itu (‘adamiyyah) dalam arti, ia yang
menjadi sipat oleh tidak adanya, contoh sipat qidam, artinya "tidak
ada" permulaannya. Juga sipat qidam itu bukan (tsubutiyyah) ungkapan yang
menetap ada buktinya, serta ungkapan (tsubutiyyah) menunjukan untuk selain
qidam haqiqi, maka tidak sah diungkapkan kepada Alloh dengan ungkapan dari dulu
(keberadaannya) Alloh, karena ungkapan seperti itu namanya ,(tsubutiyyah) Dalam
kata "alqidam" memakai huruf (Alif & Lam), menunjukan bahwa qidam
di Alloh itu ialah qidam haqiqi, yakni hakikatnya qidam.
Adapun sipat qidam di Alloh termasuk
sipat (salbiyyah), yaitu sipat yang tercabut, ia jadi sipat oleh tidak adanya,
jadi hakikat qidam di Alloh tidak ada permulaan. Dari mulai sipat qidam sampai
sipat wahdaniyyat semuanya disebut sipat (salbiyyah).
Oleh karena itu dalam qidamnya Alloh
bukan karena disandarkan atas adanya alam, serta bukan karena tidak ada yang
mengetahui permulaan adanya, tapi qidamnya Alloh karena tidak didahului oleh
tidak ada dulu, kalau qidam idlofi dan qidam zamani semuanya itu pada
hakikatnya tetap dinamakan baru.
Penjelasan : wa dlidduhu
Kata (dlid) disini, maksudnya sama
seperti yang telah disampaikan dalam bab perlawanan sipat wujud, ialah (dlid)
menurut (lughot) (naqidl) menurut (istilah), yang artinya yaitu, dua perkara
yang tidak akan bisa kumpul bersamaan adanya, serta tidak akan hilang bersamaan
tidak adanya, pasti kalau "qidam" wajib wujudnya, (huduts) mustahil
tidak adanya.
Penjelasan : alhudutsu
Maksudnya ialah perlawanannya sipat
qidam, yaitu (alhudutsu) artinya baru. Karena qidamnya Alloh wajib maka
(alhudutsu)-nya juga pasti mustahil, oleh karena itu tidak sah menekadkan
qidamnya Alloh saja kalau tidak disertai menekadkan terhadap barunya makhluk.
Adapun yang namanya (alhudutsu)
terbagi atas tiga bagian:
- Huduts zamani, yaitu, baru waktu adanya, yang terliputi oleh zaman.
- Huduts idlofi, yaitu barunya satu perkara karena disandarkan atas perkara lainnya.
- Huduts haqiqi, yaitu barunya satu perkara karena keberadaannya tidak ada dulu.
Pejelasan : wa dalilu
Yang dimaksud dalil disini, yaitu
dalil aqli yang bangsa ijmali, bukan dalil aqli tafshili, juga bukan dalil
naqli dari alqur’an atau alhadits.
Kata mushonnif begini:
◄Sesungguhnya
jikalau terbukti (Alloh) halnya yang baru pasti membutuhkan (Alloh) terhadap
sesuatu yang memperbaru, sedangkan kalau Alloh membutuhkan pada sesuatu yang
memperbaru pasti mustahil►
◄◄●═════════◄►════════●►►
Baqo'
Baqo'
(Sipat
yang ketiga yang wajib dalam haqnya Alloh ta’ala)
◄Dan wajib dalam
haqnya Alloh ta’ala yaitu sipat baqo’ (kekal :tidak ada ujungnya), adapun
maknanya sipat sipat baqo’ "sesungguhnya bahwa Alloh ta’ala tidak ada
ujungnya bagi Alloh". Sedangkan dalil yang menunjukan atas sipat baqo’nya
Alloh, ialah "Sesungguhnya kalau terbukti (Alloh) hal keberadaanNya ruksak
pasti bukti (Alloh itu) hal-nya baru, sedangkan kalau keberadaanNya baru
tentunya mustahil"►
Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib
aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut salbiyyahnya yaitu
pasti serta dapat dipahami oleh akal ghorizi bahwa keberadaannya Alloh tidak
ada ujungnya.
Adapun yang namanya baqo’ terbagi
atas tiga bagian, yaitu:
- Baqo’ zamani yaitu, kekalnya satu perkara yang terliputi oleh zaman, seperti kekalnya surga dan neraka.
- Baqo’ nisbi yaitu, kekalnya satu perkara dibandingkan dengan perkara lainnya, seperti kekalnya waja dibandingkan dengan kayu, kekalnya bumi dibandingkan dengan yang mendiaminya.
- Baqo’ haqiqi yaitu, kekalnya satu perkara bukan karena lama zamannya, juga bukan karena dibandingkan atas perkara lainnya, tapi kekalnya tidak ada ujungnya, juga tidak terkena oleh ruksak, yakni kekalnya dzat Alloh.
Dikarenakan baqo’nya Alloh baqo’
haqiqi, maka baqo’nya Alloh tidak akan terkena oleh ruksak serta tidak diujungi
oleh tiada. Dan seumpamanya Alloh terkena oleh ruksak dan diujungi oleh tiada,
pasti wujudnya Alloh (mumkin), kalau wujudnya Alloh (mumkin) pasti
keberadaannya Alloh tidak ada dulu, kalau keberadaannya tidak ada dulu pasti
menimbulkan (daur) atau (tasalsul), yang keduanya mustahil bagi Alloh.
Adapun definisi daur dan tasalsul:
1. Definisi daur, yaitu:
◄Menunggunya satu perkara terhadap
perkara lainnya, Yang mana perkara yang lainnya itu menunggu atas adanya itu
perkara►
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu
atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua menunggu atas adanya
diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas adanya
diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada
berhentinya.
2. Definisi tasalsul, yaitu:
◄Mengikutinya suatu perkara atas
satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara yang tidak ada
ujungnya (akan perkara tersebut)►
Seperti, Alloh itu tuhan yang
pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua diciptakan oleh
tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat.
Terus-terusan menyambung tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada
berujung.
Sorotan hukum syara’ terhadap wajib
aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat qidam:
- Pertama, hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib baqo’nya di Alloh dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib baqo’nya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa bagi orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib baqo’nya di Alloh, serta di cap orang kafir.
- Kedua, hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil fana’nya di Alloh, dan atas ruksaknya semua makhluk, karena tidak sah menekadkan atas baqo’nya di Alloh saja kalau tidak menekadkan atas mustahil fana’nya di Alloh, dan ruksaknya semua makhluk. Firman Alloh dalam alqur’an:
◄Semua yang ada di bumi itu akan
binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan►
Terkecuali ada delapan perkara yang
tidak akan ruksak, oleh (tahshish)-nya hadits:
- Qolam.
- Lauhul mahfudh.
- Arasy.
- Kursi.
- Ruhani.
- Neraka.
- Surga,
- Tulang ekor manusia.
Nah itu semua tidak akan terkena
oleh ruksak tapi sipatnya (baqo’ zamani = kekalnya karena terliputi oleh
zaman), dan keberadaannya juga (ba’dal ‘adam = adanya sesudah tidak ada dulu).
- Ketiga, hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil terhadap benarnya hukum akal, dengan firman Alloh dalam alqur’an:
◄Tiap-tiap sesuatu pasti binasa,
kecuali Allah►
Penjelasan : wa ma’nahu
Maksud dari (wa ma’nahu) disini
ialah, mengungkapkan bahwa sipat baqo’ itu (‘adamiyyah) dalam arti, yang
menjadi sipat oleh tidak adanya, contohnya seperti sipat (baqo’ = tidak ada
ujungnya). Juga sipat baqo’ itu bukan (tsubutiyyah = ungkapan yang menetap ada
buktinya), serta ungkapan (tsubutiyyah) ini menunjukan untuk bukannya baqo’
haqiqi, maka tidak sah diungkapkan kepada Alloh dengan ungkapan kata (kekal),
karena ungkapan seperti itu adalah ungkapan (tsubutiyyah).
Dalam kalimah (albaqo’) memakai
hurup (Alif & Lam) (lilhaqiqot), menunjukan bahwa baqo’ di Alloh itu ialah
baqo’ haqiqi, yakni hakikatnya baqo’, Dan sipat baqo’ di Alloh termasuk jadi
sipat (salbiyyah = sipat yang tercabut), ia jadi sipat oleh tidak adanya. Jadi
bahwa hakikatnya sipat baqo’ di Alloh adalah (tidak ada ujungnya).
Dalam bahasan sipat baqo’ mushonnif
tidak menyebutkan dengan kalimat (wadlidduhul fana’u = dan perlawanannya sipat
baqo’, yaitu ruksak), karena sudah menjadi kepastian apabila Alloh baru, sudah
pasti terkena oleh ruksaknya, dan bakal diujungi oleh tidak adanya, serta pasti
keberadaannya Alloh jadi hal yang (mumkin), kalau wujudnya (mumkin), pasti
keberadaanya jadi baru, alias tidak ada dulu. Seumpama barunya sudah
ter(mustahil)kan, maka sudah jadi kepastian (fana’)-nya juga sudah
ter(mustahil)kan, karena (fana’) sudah ter-indiroj (terjepit) dalam muqoddam
dalil = pembukaan dalil) yaitu (lau kana faniyan).
Dalilnya sipat Baqo':
◄Sesungguhnya
kalau terbukti (Alloh) hal keberadaanNya ruksak pasti bukti (Alloh itu) hal-nya
baru, sedangkan kalau keberadaanNya baru tentunya mustahil►
Yang dimaksud dalil diatas tadi,
yaitu dalil aqli yang bangsa (ijmali), bukan dalil (aqli tafshili), juga bukan
dalil naqli dari alqur’an atau alhadits.
◄◄●═════════◄►════════●►►
Mukholafatu
lilhawaditsi
Mukholafatu
lilhawaditsi
(Sipat
yang keempat yang wajib dalam haqnya Alloh ta’ala)
◄Dan wajib dalam
haqnya Alloh ta’ala yaitu sipat Mukholafatu lilhawaditsi, adapun maknanya sipat
mukholafatu lilhawaditsi yaitu "sesungguhnya Alloh ta’ala tidak ada
keberadaanNya menyerupai atas perkara yang baru". Maka dari itu tidak ada
(dinafikan) terhadap Alloh seperti tangan, serta tidak ada mata dan tidak
ada telinga dan juga tidak ada perkara yang seperti diceritakan tadi dari
berbagai sipat yang baru. Adapun perlawanannya sipat mukholafatu lilhawaditsi,
yaitu sipat mumatsalah (menyerupai yang baru). Sedangkan dalilnya terhadap
sipat mukholafatu lilhawaditsi "sesungguhnya jika terbukti (Alloh) halnya
yang menyerupai akan perkara yang baru maka terbukti (Alloh) hal yang baru,
sedangkan kalau Alloh baru pasti mustahil"►
Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib
aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut (salbiyyah)-nya yaitu
pasti serta dapat dipahami oleh akal (ghorizi) bahwa keberadaannya Alloh tidak
ada titik persamaan antara Alloh dengan makhluknya, kalau seandainya Alloh ada
titik persamaan, pasti Alloh itu baru.
Sebelum keadaan yang (hawadits) ada,
Alloh sudah tersipati oleh mukholafatu lilhawaditsi, yang sudah ada dalam
ilmunya Alloh, ialah setiap makhluk yang ter-(ta’aluq) oleh (shuluhi qodim)
qudrotnya Alloh. Jadi sipat mukholafat lilhawaditsi di Alloh tetap qodim tidak
ter-(hawadits)-kan oleh (hawadits).
Adapun sipat (mukholafatu
lilhawaditsi) di Alloh termasuk sipat (salbiyyah), yaitu sipat yang tercabut
atas perkara yang tidak pantas ada di Alloh, juga jadi sipat oleh tiadanya.
Jadi artian dari sipat (mukholafatu lilhawaditsi) yaitu, tidak ada tandingannya
terhadap Alloh, ia adalah (adamu mumatsalah : tidak ada yang menyerupai).
Sorotan hukum sara’ terhadap wajib
aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat mukholafatu lilhawaditsi:
- Pertama hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib (mukholafatu lilhawaditsi)nya di Alloh dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib (mukholafatu lilhawaditsi)nya di Alloh serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa bagi orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib (mukholafatu lilhawaditsi)nya di Alloh, serta di cap orang kafir.
- Kedua hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil (mumatsalah)nya di Alloh, karena tidak sah menekadkan atas mukholafatu lilhawaditsinya di Alloh saja kalau tidak menekadkan atas (mumatsalah)nya di Alloh.
- Ketiga hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil terhadap benarnya hukum akal dengan firmannya:
◄Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat►
◄Dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan Dia►
Penjelasan : wa ma'nahu
Disini mushonnif memberi contoh
bahwa terhadap Alloh tidak ada tangan, tidak ada mata, tidak ada telinga dan
tidak ada perkara yang sejenisnya.
Apabila ada (nash) dalam alqur’an
atau dalam alhadits yang "cenderung" atau "hampir", bahwa
Alloh menyerupai makhluk, hal tersebut ada dua sorotan:
- Pertama. Menurut ulama kholaf, (nash) alqur’an dan alhadits mesti di(ta’wil), dengan kata lain mesti disalurkan dengan makna yang layak terhadap Alloh.
- Kedua. Menurut ulama salaf, (nash) alqur’an dan alhadits mesti di-(tawidl), dengan kata lain nash ini mesti dibekukan serta diserahkan kepada Alloh maknanya, karena khawatir menyalahi makna serta tujuannya (nash) tersebut.
Contoh nash yang menyerupai terhadap
Alloh.
- yadulloh, asal arti tangan Alloh.
- ainulloh, asal arti mata Alloh.
- wajhulloh, asal arti wajah Alloh.
Kalau seandainya Alloh menyerupai
pada perkara yang baru, pasti Alloh itu (jauhar), kalau Alloh (jauhar) pasti
akan terkena oleh (arodh = baru), kalau seandainya Alloh itu baru, (talazum)
dengan barunya. Kalau keberadaanya Alloh seperti itu pasti akan menimbulkan
(daur) atau (tasalsul), yang keduanya mustahil bagi Alloh.
Adapun definisi daur dan tasalsul:
1. Definisi daur, yaitu:
◄Menunggunya satu perkara terhadap
perkara lainnya, Yang mana perkara yang lainnya itu menunggu atas adanya itu
perkara►
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu
atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua menunggu atas adanya
diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas adanya
diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada
berhentinya.
2. Definisi tasalsul, yaitu:
◄Mengikutinya suatu perkara atas
satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara yang tidak ada
ujungnya (akan perkara tersebut)►
Seperti, Alloh itu tuhan yang
pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua diciptakan oleh
tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat.
Terus-terusan menyambung tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada
berujung.
Dalil aqlinya sipat Mukholafatu
lilhawaditsi:
◄Sedangkan
dalilnya terhadap sipat mukholafatu lilhawaditsi "sesungguhnya jika
terbukti (Alloh) halnya yang menyerupai akan perkara yang baru maka terbukti
(Alloh) hal yang baru, sedangkan kalau Alloh baru pasti mustahil"►
◄◄●═════════◄►════════●►►
Qiyamuhu
Binafsihi
Qiyamuhu
Binafsihi
(Yaitu
sipat yang kelima yang wajib dalam haqnya Alloh ta'ala)
◄Dan wajib dalam
haqnya Alloh ta'ala yaitu sipat alqiyamu binnafsi, adapun maknanya
alqiyamu binnafsi, yaitu sesungguhnya Alloh ta'ala tidak membutuhkan terhadap
tempat dan tidak membutuhkan siapapun yang menentukannya, adapun perlawanannya
sipat alqiyamu binnafsi yaitu al-ihtiyaju (butuh) terhadap tempat serta butuh
terhadap yang menentukan. Sedangkan dalilnya yang memperkuat atas sipat
alqiyamu binnafsi "sesungguhnya (Alloh) seandainya kalau membutuhkan
tempat maka terbukti bahwasannya Alloh hal-nya jadi sipat, kalau seandainya
keberadaan Alloh hal-nya jadi sipat pasti mustahil. Selanjutnya kalau Alloh
butuh terhadap sesuatu yang menentukanNya maka terbukti (Alloh) halnya baru,
dan jikalau keberadaannya (Alloh) halnya yang baru pasti mustahil"►
Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut salbiyahnya yaitu pasti serta dapat dipahami oleh akal ghorizi bahwa adanya Alloh tidak membutuhkan dzat atau orang yang menciptakanNya, serta adanya Alloh tidak membutuhkan terhadap sesuatu untuk "bertempat" (mendiami = menetap).
Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut salbiyahnya yaitu pasti serta dapat dipahami oleh akal ghorizi bahwa adanya Alloh tidak membutuhkan dzat atau orang yang menciptakanNya, serta adanya Alloh tidak membutuhkan terhadap sesuatu untuk "bertempat" (mendiami = menetap).
Yang dimaksud oleh kata (alqiyamu
binnafsi) disini, bukannya Alloh berdiri yang asalnya tidak ada lalu dengan
sendirinya menjelma. Tapi yang dimaksud oleh (alqiyamu binnafsi) yaitu Alloh
berdiri sendiri oleh dzatNya sendiri, serta yang dimaksud dengan berdiri
sendiri disini, yaitu:
- Adanya tidak membutuhkan dzat atau orang yang menciptakan.
- Adanya tidak membutuhkan dzat atau orang yang menentukan.
- Adanya tidak membutuhkan suatu tempat untuk berdiam diri atau menetap.
Sipat (alqiyamu binnafsi) termasuk
salah satu sipat salbiyah yakni adamiyah yang menjadi sipat oleh
"tiada"nya, oleh karena itu hakikat wujudnya dzat Alloh tidak
membutuhkan tempat untuk besemayan atau berdiam diri atau menetap, serta tidak
membutuhkan siapapun yang menentukanNya.
Pejelasan : wa ma'nahu
Seumpamanya Alloh membutuhkan
terhadap dzat atau seseorang yang menciptakan, atau membutuhkan suatu tempat
untuk bersemayan, maka akan menimbulkan daur atau tasalsul yang keduanya
mustahil terhadap Alloh.
Adapun definisi daur dan tasalsul:
Definisi Daur:
◄Menunggunya satu perkara terhadap
perkara lainnya, yang mana perkara yang lainnya itu menunggu atas adanya itu
perkara►
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu
atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua menunggu atas adanya
diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas adanya
diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada
berhentinya.
Definisi Tasalsul:
◄Mengikutinya suatu perkara atas
satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara yang tidak ada
ujungnya (akan perkara tersebut)►
Seperti, Alloh itu tuhan yang
pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua diciptakan oleh
tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat.
Terus-terusan menyambung tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada berujung.
Karena makna (alqiyamu binnafsi)
tidak butuh tempat untuk bersemayan, maka tercabut dari Alloh semua perkara
yang meliputi pertanyaan "DIMANA", serta semua jawabannya
dari jihat yang 10 (sepuluh):
- Depan
- Belakang
- Kiri
- Kanan
- Atas
- Bawah
- Luar
- Dalam
- Nempel
- Pisah
Oleh karena Alloh tersipati oleh
sipat (alqiyamu binnafsi), maka batal i'tiqod yang menekadkan bahwa Alloh
bersemayan di arasy, karena:
1. Seumpama Alloh bersemayan di
arasy, tentunya Alloh butuh dengan arasy untuk berdiam diri, arasy-nya juga
harus qodim serta serba maha karena akan ditempati serta dipakai untuk berdiam
oleh dzat yang qodim yang serba maha, sedangkan mustahil ada mekhluk yang
melebihi dari dzat yang serba maha.
2. Bertentangan dengan ayat:
◄Dan Dia-lah Tuhan (Yang disembah)
di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi►
3. Bertentangan dengan ayat:
◄Maka ke manapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah►
4. Bertentangan dengan ayat:
◄padahal Allah mengepung dari
belakang mereka yang meliputi►
5. Bertentangan dengan ayat:
◄Dan Kami lebih dekat kepadanya dari
pada urat lehernya,►
6. Bertentangan dengan ayat:
◄Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat►
7. Bertentangan dengan ayat:
◄Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus
(makhluk-Nya) tidak mengantuk dan tidak tidur►
8. Bertentangan dengan ayat:
◄Dan, Dia bersama kamu di mana saja
kamu berada►
Adapun firman Alloh yang dimaksud
dalam surat (20 Thaahaa ayat 5),
begini:
◄Adapun Arrahman (Tuhan Yang Maha
Pemurah), menata (miyara=sunda) terhadap `Arasy►
Makna tersebut adalah makna hakiki
bukan makna majazi, karena makna istawa mempunyai 2 (dua) makna hakiki:
- Makna qorib (dekat), makna yang sering dipakai, makna yang qorib ini dimustahilkan oleh ayat-ayat yang telah disebutkan tadi (dari 2 sampai 8).
- Makna ba'id (jauh), makna yang jarang dipakainya, makna yang ini sesuai dan pas tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang disebutkan tadi (dari 2 sampai 8)
Oleh karena itu, kalau seandainya
menemukan satu lapad yang mempunyai dua makna (qorib&ba'id) terus dipakai
dengan makna ba'id, maka kalam tersebut termasuk (kalamun badi'un tauriyyah)
artinya suatu ungkapan yang indah.
Adapun jawaban Rosul ketika ditanya
oleh seorang nenek-nenek, katanya:
◄Dimana Alloh itu ? Rosul menjawab -
diatas►
Jadi kalimat _fissama'_ itu,
Bilamana dipakai dengan makna qorib,
maka makna tersebut akan lahir dengan artian "di langit"
Bilamana dipakai dengan makna ba'id,
maka makna tersebut akan lahir dengan artian "di atas"
Oleh sebab itu, apabila kalimat
"fissama'" seandainya dimaknaan dengan makna qorib akan menimbulkan
pertentangan dengan ayat-ayat yang lainnya (seperti yg telah disebutkan
diatas), maka kalimat "fissama'" dipakai dalam makna ba'id (dengan
artian-diatas). Oleh karena makna "diatas" masih mengandung makna
ikhtimal (adanya kemungkinan yang lain), maka makna "diatas" harus
dita'wil/disalurkan.
Jadi artian __*Ainalloh? qola
fissama'*__ begini arti keseluruhannya "Dimana Alloh itu? Rosul
menjawab, ada diatas dalam martabatnya, dalam kekuasaanya" . tegasnya
_fauqo kulli syai'in = diatas segala perkara_ Seperti firman Alloh dalam
alqur'an:
◄Dan Dialah yang berkuasa atas
sekalian hamba-hamba-Nya►
Jadi yg dimaksud dengan kalimat __di-ATAS
itu__ bukan menunjukan terhadap tempat, sebab Alloh tidak bertempat, tapi
menunjukan diatas martabat kedudukan N kekuasaan Alloh.
Sorotan hukum syara’ terhadap wajib
aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat qiyamuhu binafsihi:
- Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh, serta di cap orang kafir.
- Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil ihtiaju-nya di Alloh, karena tidak sah menekadkan atas wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh saja kalau tidak dengan menekadkan atas mustahilnya ihtiaju-nya di Alloh.
- Hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil atas kebenarannya hukum akal, dengan firman Alloh didalam alqur’an:
◄Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia Yang Hidup serta Yang Berdiri sendiri►
Dalil aqli-nya sipat alqiyamu
binnafsi:
◄Sedangkan
dalilnya yang memperkuat atas sipat alqiyamu binnafsi "sesungguhnya
(Alloh) seandainya kalau membutuhkan tempat maka terbukti bahwasannya Alloh
hal-nya jadi sipat, kalau seandainya keberadaan Alloh hal-nya jadi sipat pasti
mustahil. Selanjutnya kalau Alloh butuh terhadap sesuatu yang menentukanNya
maka terbukti (Alloh) halnya baru, dan jikalau keberadaannya (Alloh) halnya
yang baru pasti mustahil"►
Dalam dalil aqli ini, ada kalimat
(Alloh halnya jadi sipat), maksudnya yaitu:
- Alloh adalah Dzat bukan sipat.
- Dzat tidak akan berdiri didalam dzat.
- Dzat tidak akan berdiri didalam sipat.
- Sipat tidak akan berdiri didalam sipat.
Jadi yang benar, adalah sipat yang
berdiri didalam dzat, contohnya ada sebuah tembok yang warnanya hijau, tembok
itu adalah dzat yang disipati oleh sipat hijau, warna hijau jadi sipat dari
sebuah tembok tersebut.
Andaikata Alloh itu bangsa sipat
tentunya Alloh tidak akan tersipati oleh sipat ma'ani, serta tidak akan
tersipati oleh sipat ma'nawiyah, karena sipat tidak akan berdiri didalam sipat.
◄◄●═════════◄►════════●►►
Wahdaniyat
Wahdaniyat
(Yaitu
sipat yang keenam yang wajib dalam haqnya Alloh ta’ala)
◄Dan, wajib dalam
haqnya Alloh ta'ala yaitu sipat wahdaniyat (tunggal), didalam dzatnya dan
sipatnya serta perbuatannya (penciptaanya), adapun maknanya wahdaniyat dalam
dzatNya "sesungguhnya bahwa dzatnya Alloh tidak tersusun dari berbagai juz
yang berbilang". Adapun maknanya wahdaniyat dalam sipatNya
"sesungguhnya Alloh tidak ada terhadapNya dua sipat atau lebih banyak dari
jenis yang satu seperti ada dua qudrot (dalam dzat / diri Alloh) dan begitu
juga seperti dua qudrot tadi dan tidak ada tuk selain Alloh satu sipat saja
yang menyerupainya terhadap sipat Alloh ta'ala". Adapun makna wahdaniyat
dalam pekerjaanNya "sesungguhnya tidak ada untuk selain Alloh satu pekerjaan
saja dari berbagai jenisnya pekerjaan Alloh. Dan perlawanannya sipat wahdaniyat
ialah ta’addud (berbilang), sedangkan dalilnya terhadap sipat wahdaniyat
"sesungguhnya Alloh jikalau terbukti keberadaanNya yang berbilang maka
tidak akan pernah ada satu perkara-pun dari semua jenis yang namanya
makhluk"►
Penjelasan.
Wajib disini wajib menurut hukum
akal, yang artinya pasti buktinya sehingga dapat dipahami oleh akal ghorizi
bahwa Alloh tersipati oleh sipat wahdaniyat, arti salbiyahnya pasti serta dapat
dipahami oleh akal ghorizi bahwa adanya Alloh tidak ada bilangannya.
Kata wahdaniyat menurut ahli bahasa
yaitu "satu Alloh", tapi yang dimaksud disini satu dalam artian tidak
ada bilangannya, ia tidak terliputi oleh bilangan, satu bukan bagian dari yang
banyak, seperti ada satu, ada dua, ada tiga dan seterusnya.
Serta satunya itu bukan hasil
merangkaikan dari bilangan juz-juz, seperti ada kata trimurtri, ia bisa disebut
satu tapi satunya itu hasil rangkaian sepertiga dari hitungan tiga bagian atau
tiga juz.
Mushonnif yang mengarang kitab ini
diatas tadi telah memberi contoh bahwa yg dimaksud dengan sipat Wahdaniyat
tersebut, yaitu satu dalam dzatnya, satu dalam sipatnya dan satu dalam
perbuatannya.
Kesimpulannya.
Dalam maknanya sipat wahdaniyat yang
telah disebutkan tadi, dapat disimpulkan bahwa dinafikan (dicabut) dari Alloh
atas 5 (lima) kam (bilangan):
- Kam munfashil fidz dzati: dicabut dari Alloh bilangan yang pisah dalam dzatnya, dari jumlahan bagian yang banyak, dalam arti satunya bukan dua, bukan tiga, bukan empat dan seterusnya. contohnya katakan saja "ada SATU ruko" didalam satu pasar, tapi SATU-nya itu bukan cuma satu-satunya dari jumlahan yang banyak. Jadi yang namanya SATU seperti ini bukan SATU yang dimaksud dengan wahdaniyat di Alloh.
- Kam muttashil fidz dzat: dicabut dari Alloh bilangan yang merangkap atau rangkaian dalam datnya, yang tersusun dari berbagai juz, seperti satunya lain seperdua dari dua, sepertiga dari tiga, seperempat dari empat dan seterusnya, contohnya "ada SATU bangunan" ia boleh disebut SATU, tapi satunya itu tersusun dari jenisnya bata merah, semen, pasir, air, kusen, cat tembok, ruang tamu, kamar, dapur dan lain-lain. Ini juga bukan SATU yang dimaksud dengan wahdaniyat di Alloh.
- Kam munfashil fish shifat: dicabut dari Alloh bilangan yang pisah dalam sipatnya, dari jumlahan yang banyak, dalam arti tidak ada sama sekali apapun dan siapapun yang mempunyai dan menyerupai sipatNya di luar Alloh, yang sama dalam bahasanya, bentuknya serta isinya. Tapi tidaklah mengapa kalau ada persamaan dalam sebutannya saja, seperti sebutan yang dilontarkan kepada makhluk bahwa ia kuasa, ia punya ilmu dan lain-lain, kenapa ? karena kuasanya Alloh berbeda dengan kuasanya yang ada di makhluk, begitupun ilmu yang ada di Alloh, berbeda dengan ilmu yang ada di makhluk.
- Kam muttashil fish shifat: dicabut dari Alloh bilangan yang merangkap dalam sipatnya dari jumlahan bagian juz sipat yang satu, seperti ia Alloh tersipati oleh sipat qudrot, sipat qudrot di Alloh hanya satu, lain dua, lain tiga, lain empat dan seterusnya. Begitu juga irodatnya Alloh, ilmunya Alloh, hayatnya Alloh, sama', bashor, juga kalamnya Alloh, bukan dua bukan tiga tapi hanya satu.
- Kam munfasil fil af'al: dicabut dari Alloh bilangan yang pisah dalam penciptaanya, atau dalam pekerjaannya, atau dalam perbuatannya, dari berbagai jenis jumlahan perbuatan Alloh, dalam arti tidak ada sama sekali yang mempunyai atsar (kesan=bekas) pekerjaan diluar perbuatan Alloh.
Oleh kerana wahdaniyat di Alloh
melepas dari lima KAM (hitungan), maka tidak akan pernah ada tuhan selain
Alloh, kalau ada tuhan selain Alloh dapat dipastikan bahwa semua jenis yang
namanya makluk tidak akan pernah ada, dan buktinya hingga sekarang yang namanya
makhuk itu ada, ternyata bahwa adanya Alloh tidak ada bilangannya dalam dzat,
sipat serta af'alnya, seperti yang telah difirmankan oleh Alloh dalam alqur'an:
◄Sekiranya ada di langit dan di bumi
tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha
Suci Allah yang mempunyai `Arsy daripada apa yang mereka sifatkan►
Adapun Af'alnya Alloh itu terbagi
atas 2 (dua) bagian:
- Mukhtar: yaitu perbuatan Alloh yang disambungkan dengan daya pilihannya makhluk, atau daya ikhtiarnya makhluk, seperti Alloh menciptakan kaya disambungkan dengan daya semangat usahanya seseorang, Alloh menciptakan kenyang dalam diri seseorang disambungkan dengan masuknya nasi kedalam perut, Alloh menciptakan keruksakan dimuka bumi disambungkan dengan ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab, dan seterusnya.
- Mudlthor: yaitu perbuatan Alloh secara langsung tampa disambungkan dengan daya pilihannya makhluk, seperti Alloh menciptakan langit dan bumi, Alloh menciptakan siang dan malam, Alloh menciptakan lelaki dan perempuan dan seterusnya.
Terkadang mudlthor dan mukhtar masuk
saling bergantian disela-sela adat, yang sedang berjalan dalam kehidupan
sehari-hari. contohnya, seperti dalam keadaan kita sedang "bernafas"
adakalanya sinafas tersebut sengaja ditarik, ditahan dan dikeluarkan oleh daya
upaya kita sendiri, tapi terkadang dalam keluar masuknya nafas bukan kita yang
mengaturnya seperti dalam keadaan sesak nafas atau dalam keadaan tidur, hal ini
bagian yg mudlthor. Contoh yang kedua, dalam keadaan kita sedang
"mengedipkan" mata, adakalanya mata itu sengaja dikedipkan oleh kita,
selebihnya mudlthor.
Ada pula perbuatannya Alloh,
adakalanya suatu kejadian biasanya mukhtar berubah menjadi mudlthor, contoh,
seperti orang yang tekun serta giat dalam mencari uang, tapi sengsara dalam
hidupnya. Sebaliknya orang yang malas dalam mencari uang, tetapi ia diberi
kelapangan dalam hidupnya. Contoh lagi, seperti Alloh telah menakdirkan
seseorang menjadi seorang lelaki, hal ini bisa diikhtiyari berubah jadi
jenisnya seorang perempuan, sebaliknya seorang perempuan bisa berubah menjadi
lelaki dengan melalui jalan diikhtiyarinya dan lain sebagainya
Dalil yang menunjukan atas perbuatan
Alloh yang Mukhtar, diantaranya:
1. Dalam surat yang ke 2 Al-Baqarah ayat 286
Artinya ◄Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya►
2. Dalam surat yang ke 30 Ar-Ruum ayat 41
Artinya ◄Telah nampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia►
Dalil yang menunjukan atas perbuatan
Alloh yang Mudlthor, yaitu dalam surat yang ke 9 At-Taubah
ayat 51
Artinya ◄Katakanlah:
"Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan
oleh Allah bagi kami"►
Contoh, seperti makan tidak bisa
menghasilkan kenyang, minum tidak menghasilkan segar, tapi dalam keadaan makan
dan minum, kenyang dan segar disitu ada ketentuan qodlo dan qodarNya Alloh yang
sedang berjalan.
Untuk penjelasan
I'tiqod, ada disini►►
Sorotan hukum syara' terhadap wajib
aqli-nya bahwa Alloh tersipati oleh sipat wahdaniyyat:
- 1. Hukum syara mewajibkan kepada semua orang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib wahdaniyat-nya di Alloh, dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib wahdaniyatnya di Alloh serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa bagi orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib wahdaniyat-nya di Alloh serta di cap orang kafir.
- 2. Hukum Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil ta'addud-nya di Alloh, karena tidak sah menekadkan terhadap wajib wahdaniyyatnya di Alloh, kalau tidak menekadkan mustahil ta'addudnya di Alloh.
- 3. Hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil atas kebenarannya hukum akal, dengan firman Alloh didalam alqur’an:
◄Katakanlah: "Dia-lah Allah,
Yang Maha Esa"►
- 4. Hukum syara' mewajib syar'ikan kepada semua orang mukallaf harus bertauhid dengan mewahdaniyatkan terhadap wujudnya Alloh ta'ala, bukan hanya sekedar diwajibkan percaya terhadap wahdaniyatnya Alloh, tapi wajib selama-lamanya bertauhid dengan mewahdaniyatkan terhadap wujudnya Alloh, serta:
·
Mewahdaniatkan ma'bud, yaitu
mengkhususkan ibadah kepada Alloh.
·
Mewahdaniyatkan Mathlub, yaitu
mengkhususkan mencari dan patuh terhadap semua perintah Alloh serta menjauhi
segala larangan Alloh.
·
Mewahdaniyatkan Maqsud, yaitu
mengkhususkan tujuan hanya untuk mencari ridhonya Alloh semata.
·
Kalau tidak mewahdaniyatkan Ma’bud,
musyrik hukumnya.
·
Kalau tidak Mewahdaniyatkan Mathlub.
fasiq hukumnya.
·
Kalau tidak Mewahdaniyatkan Maqsud,
maksiat hati hukumnya.
- 5. Hukum syara' melarang kepada setiap orang mukallaf hidup di dunia, dengan tidak yakin iman kepada Alloh, atau iman yang disertai musyrik, atau bertauhid tapi tidak ma'rifat, atau ma'rifat tapi tidak tashdiq, tashdiq (membenarkan) tidak iddi'an (meng-iyah-kan), iddi'an tidak qobul (menerima).
Dalilnya sipat Wahdaniyat.
◄Sesungguhnya
Alloh jikalau terbukti keberadaanNya yang berbilang maka tidak akan pernah ada
satu perkara-pun dari semua jenis yang namanya makhluk►
◄◄●═════════◄●►════════●►►
Qudrot
Qudrot
(Yaitu
sipat yang ketujuh dalam haqnya Alloh ta'ala)
◄Dan wajib dalam
haqnya Alloh ta'ala yaitu sipat qudrot, adapun sipat qudrot ialah salah
satu sipat yang qodim yang menetap dalam dzatnya Alloh ta'ala yang
mengadakan (Alloh) oleh sipat qudrot serta meniadakannya. Sedangkan dalil yang
memperkuat ata sipat Qudrot "sesungguhnya jikalau terbukti (Alloh)
keberadaannya lemah (tak berdaya) maka tidak akan diketemukan satu perkara-pun
dari adanya beraneka ragam jenisnya makhluk"►
Penjelasan.
Wajib aqli dalam haqnya Alloh bahwa
Alloh dihinggapi oleh sipat qudrot (bisa & kuasa), dalam arti pasti dan
dapat dipahami oleh akal bahwa Alloh tersipati oleh sipat qudrot dengan adanya
bebagai tanda kesan dari perbuantannya Alloh, dengan kata lain bisa dan kuasa
temen dzat Alloh mengadakan atau menghilangkan terhadap makhluknya.
- Sipat qudrotnya Alloh termasuk salahsatu sipat ma'ani.
- Sipat ma'ani yaitu sipat yang bukti wujudnya, andai saja makhluk dibukakan hijab maka bakal tampak kelihatan dengan jelas bagaimana sipat qudrotnya Alloh.
- Sipat qudrot adalah salahsatu sipat yang menetap dalam dzat yang maha qodim, maka keadaan sipat tentunya sama dengan keadaan dzat, kalau dzatnya qodim tentu sipatnya juga ikut qodim, oleh karena itu sipat qudrotnya Alloh tidak didahului oleh lemah (tak mampuh), dan tidak pernah diselingi oleh lemah, dan tidak akan diujungi dengan lemah.
- Sipat qudrot termasuk sipat (iftiqor), maksudnya bahwa makluk membutuhkan atas sipat qudrot.
- Sipat qudrot termasuk sipat (jalal), maksudnya ia adalah salah satu sipat yang memperlihatkan kemaha perkasaanya Alloh.
Penjelasan.
Adapun sipat qudrot di Alloh
terkadang disebut juga:
◄Sifatun ~
wujudiyatun ~ qodimatun ~ qo'imatun ~ bidzatihi ta'ala ~ tu'ats-tsirul mumkinat
~ ijadan ~ wa i'daman►
- Sifatun: yaitu SATU sipat yang tidak terliputi oleh bilangan.
- Wujudiyatun: yang ada buktinya, sehingga kalau dibukakan hijab maka akan melihatnya. karena yang namanya wujud sah dapat diketemukannya, dengan kata lain bahwa sipat qudrot (ma'ani) bisa diketemukan.
- Qodimatun: yang tidak ada permulaanya.
- Qo'imatun: menetap selamanya, sesaat-pun tidak didahului, diselingi atau diujungi oleh tidak "mampu".
- Bidzatihi ta'ala: yakni melekat keberadaanya, selama-lamanya ada didalam dzatNya
- Tu'ats-tsirul mumkinat: yang memberi kesan / bekas terhadap setiap perkara yang mungkin adanya. Tidak nyambung terhadap perkara yang wajib mutlak, seperti wajib wujudnya Alloh. Tidak nyambung terhadap perkara yang mustahil wujud, seperti Alloh tuli, hal itu bukannya Alloh tidak mampuh tapi bukan sambungannya / sasarannya.
- Ijadan: adalah, hal dari sipat qudrot ialah tingkahnya untuk "mengadakan" dari asalnya tidak ada menjadi ada.
- Wa i'daman: adalah, hal dari sipat qudrot ialah tingkahnya untuk "meniadakan" dari asal ada menjadi tidak ada.
Untuk menghindari kekeliruan
pemahaman yang sering terjadi.
Pertama: Bahwa sipat ma'ani (termasuk sipat qudrot) selamanya
menetap tak pernah pisah dengan dzat (Alloh). oleh karena itu apabila mendengar
kata-kata seperti contoh ini:
- "dengan QUDROT dan IRODAT-Nya kita dapat berkumpul...dst.
- Atau seperti ungkapan kata-kata "dengan FADLOL-Nya kita...dst".
- Atau seperti firman Alloh dalam alqur'an surat ke 65 Ath-Thalaaq ayat 12 disebutkan disitu dengan ILMU-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.
Hal seperti tadi jangan sampai ada
anggapan bahwa peran sipat berpisah dengan dzat, atau sebaliknya.
Kedua: Oleh karena sipat dan dzatnya tidak (pernah) berpisah,
jangan sampai ada anggapan bahwa MENGADAKAN atau MENIADAKAN munkinat diliputi
oleh ruang dan waktu, karena (dzat & sipat) dalam berperan menciptakan
sesuatu tidak diliputi oleh ruang dan waktu, serta tidak akan sama dalam semua
penciptaannya dengan pekerjaan yang dilakukan oleh makhluk , karena ia
(muklolafatu lilhawaditsi).
Sasaran sipat qurot adalah perkara
yang (mumkinul wujud) dan (wajibul wujud muqoyyad).
Perlu diketahui bahwa istilah
WAJIBUL WUJUD ada dua bagian:
- Wajib wujud mutlaq, yakni wajib adanya sesuatu yang tidak boleh tidak (mesti adanya) seperti wajib wujudnya sipat qudrot, irodat, ilmu dst
- Wajib wujud muqoyyad. yakni adanya sesuatu dikarenakan hal itu sudah difirmankan seperti wajib wujudnya sipat Rosul, wajib wujudnya hari qiyamat, wajib wujudnya surga, neraka dst. Itu semua walaupun wajib wujudnya tapi dalam hakikatnya mumkinul wujud.
Adapun sipat qudrot mempunyai
persambungan antara sipat qudrot dengan mumkinat:
- Ta'aluq ifadah (untuk apa), yakni untuk mengadakan atau meniadakan mumkinat.
- Ta'aluq ta'diyah (sasarannya apa), yakni sasarannya ialah terhadap semua jenisnya mumkinat yang akan diadakan atau ditiadakan.
- Ta'aluq marotib (tingkatan), yakni dari kapan sampai kapan mumkinat diadakan dan ditiadakannya.
Adapun tingkatannya antara sipat
qudrot dengan mumkinat, ada delapan tingkatan:
- Shuluhi Qodim.
- Qobdloh Awwal.
- Tanjizi Hadits Awwal.
- Qobdloh Tsani.
- Tanjizi Hadits Tsani.
- Qobdloh Tsalits.
- Tanjizi Hadits Tsalits
- Qobdloh Robi'.
1. Shuluhi Qodim.
Lulus dari zaman dahulu kala, bahwa
sipat Qodrot terhadap MUMKINAT telah berkaitan untuk meluluskan perkara yang
akan ADA-nya, serta meluluskan perkara yang akan TIDAK ADA-nya dalam kondisi
semua makhluk belum diciptakan, baik yang akan lulus atau tidaknya. Yakni sipat
Qudrot telah mampuh dipakai untuk mengadakan perkara yang bakal ada, atau
meniadakan perkara yang akan tiada, firman Alloh dalam alQur'an:
◄Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu►
2 Qobdloh Awwal.
◄Allah menghapuskan apa yang Dia
kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat
Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).►
3. Tanjizi Hadits Awwal.
◄Apabila Dia menghendaki sesuatu
hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia.►
4. Qobdloh Tsani.
◄dan bagi kamu ada tempat kediaman
di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."►
5. Tanjizi Hadits Tsani.
◄Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati►
◄Tiap-tiap umat mempunyai batas
waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya
barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.►
6. Qobdloh Tsalits.
◄Dari bumi (tanah) itulah Kami
menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami
akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain,►
7. Tanjizi Hadits Tsalits
◄dan bahwasanya Allah membangkitkan
semua orang di dalam kubur.►
◄Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan
sesudah mati►
8. Qobdloh Robi'.
◄Dan orang-orang yang beriman serta
beramal saleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya►
◄(Bukan demikian), yang benar,
barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.►
◄Dan orang-orang yang mengerjakan
kejahatan (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak
ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah, seakan-akan muka mereka
ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gelita. Mereka itulah
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.►
Penjelasan : wa didduhu
Perlawanan sipat Qudrot ada tujuh
gambaran:
- Alloh sama sekali lemah.
- Allah tidak ikut serta didalam perbuatan yang diristis oleh daya dan upayanya makhluk
- Allah tidak ikut serta didalam kejadian sambungan adat.
- Allah tidak ikut serta didalam tabi'atnya makhluk.
- Allah tidak ikut serta didalam perbuatan adat yang telah diberikan kepada makhluk.
- Allah tidak ikut serta didalam kejadian alam, seperti terciptanya matahari, bulan, bintang, gunung dll.
- Allah tidak ikut serta didalam perbuatan hasil tawasul.
Dalilnya sipat Qudrot.
◄Sesungguhnya
jikalau terbukti (Alloh) keberadaannya lemah maka tidak akan diketemukan satu
perkara-pun dari adanya beraneka ragam jenisnya makhluk►
Maksudnya.
Sesuatu yang menunjukan atas
kekuasaan Allah adalah adanya beraneka ragam jenisnya makhluk. Oleh karenanya
apabila terbukti adanya Allah tidak ada KUASA maka sama sekali tidak akan
diketemukan semua jenisnya makhluk, selain dari itu tidak akan ada istilah atau
sebutan MENCIPTAKAN alam serta susunannya dan juga isinya, sedangkan tiada
seorang makhluk-pun yang mampuh menciptakan sesuatu, firmaNya dalam alQur'an:
◄Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu►
Kalimat yang dimaksud oleh KULLI
SYAI'IN dalam ayat tersebut adalah menunjukan atas semua perkara yang MUMKINUL
WUJUD atau WAJIBUL WUJUD MUQOYYAD, tidak meliputi atas perkara yang WAJIBUL
WUJUD atau MUSTAHILUL WUJUD. Adapun perkara yang WAJIBUL WUJUD MUQOYYAD
pada hakikatnya masih dalam katagori MUMKINUL WUJUD, masih terliputi oleh KULLI
SYAI'IN, serta ter-IDROK oleh sipat Qudrotnya Alloh.
◄◄●═════════◄►════════●►►
Kalam
◄Kalam►
( Sipat
yang ke tiga belas yang wajib dalam haqnya Alloh ta’ala )
◄Fayajibu fi haqqihi ta’alal
kalamu, wa huwa shifatun qodimatun qo-imatun bidzatihi ta’ala wa laisat
biharfin wa la shoutin, wa dlidduhal bukmu wa huwal khorsu, wad dalilu ‘ala
dzalika qouluhu wa kallamallohu musa takliman = Dan wajib dalam haq-nya
Alloh ta’ala yaitu sipat kalam (berkata-kata), adapun sipat kalam ialah salah
satu sipat yang qodim yang menetap dengan dzatnya Alloh ta'ala, dan (sipat
kalam tersebut padanya) tiada hurup dan juga tiada suara, adapun perlawanan
sipat kalam ialah bisu, yakni gagu. Sedangkan dalilnya yang menunjukan terhadap
sipat kalamnya Allah yakni firmanNya "Dan Allah telah berbicara kepada
Musa dengan lamgsung (bicara yang sebenar-benarnya)" (Qs 4 An-Nisa': 164)►
Penjelasan.
Wajib aqli dalam haqnya Alloh bahwa
Alloh dihinggapi oleh sipat kalam (berkata-kata), dalam arti pasti serta dapat
dipahami oleh aqal bahwa Alloh tersipati oleh sipat kalam dengan adanya
mu'jizat turunnya kalamulloh.
Adapun kalam Allah terdiri dari dua
bagian:
- Kalan Dal, yaitu kalam yang ada hurupnya, ada suaranya, ada mulanya, dan juga ada akhirnya.
- Kalam Madlul, yaitu kalam yang berada didalam dzatnya Allah ta'ala, yang tiada hurupnya, suaranya, tiada mulanya, dan juga tiada akhirnya...., Jadi yang dimaksud oleh wajib dalam haqnya Allah ta'ala adalah kalam Madlul bukan kalam Dal.
Hubungannya Kalam Dal dengan Kalam
Madlul.
- Mula-mula adanya kalam Dal semenjak Allah menciptakan qolam terus memerintah kepada qolam agar supaya menuliskan atas sebagian kalam madlul.
- Apabila ada pertanyaan "Bagaimana Allah memberi perintah pada qolam? atau memerintah kepada Jibril ketika diperintahkan menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad? atau bagaimana qolam ataukah malaikat Jibril dapat memahami perkataan Allah, sedangkan perkataan Allah tiada hurup dan suara?.. Jawabannya simple saja, yakni dapat diibaratkan seperti sang qolbu memerintah tangan untuk meraba, atau mengusap, atau memegang, atau menulis, atau bersalaman dst. Nah perintah tersebut tiada hurup atau suara tapi si tangan dengan sendirinya memahami apa yang diperintahkan atau diinginkan oleh sang qolbu (maaf, jangan sampai diartikan bahwa Allah atau perkataan Allah seperti qolbu, ini mah sekedar sebagai contoh bahwa dimakhluk-pun ada yang memahami perkataan yang tiada hurup dan suaranya). Sedangkan hakikat perkataan Allah "laisa kamitslihi syai-un = tiada satupun yang serupa denganNya"
- Isinya kalam Dal juga kalam Madlul "musawin = sama dalam isinya tapi tiada serupa dalam bentuknya"
- Adapun kalimah "iqro' bismi robbikal ladzi kholaq... ileh" yang berada dalam firman Allah (Qs 96 Al'Alaq) adalah pertama kalam (ayat atau kalimah) yang turun kepada Nabi Muhammad, bukan mulanya kalam yang ada dalam dzatnya Allah ta'ala. Begitu juga kalam "alyauma akmaltu lakum dinakum... ileh" yang berada dalam firman Allah (Qs Al-Maaidah ayat 3) adalah akhir kalam yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW, bukan akhir kalam yang ada dalam dzatnya Allah ta'ala.
- Adapun kalam Dal, andai saja bertambah terus-terusan didalam isinya tentu masih bisa dituliskan, sedangkan kalam Madlul sampai kapanpun tidak akan mampun untuk dituliskan, sebagaimana firmanNya "Qul lau kanal bahru midadan likalimati robbi lanafidal bahru qobla an tanfada kalimatu robbi wa lau ji'na bimitslihi madadan = Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)" (Qs 18 Al-Kahfi: 109)
- Kalam Dal dengan Alqur'an isi dan kandungannya sama, sedangkan yang membedakannya hanya susunan atau bentuknya saja. Kalam Dal dimulai dengan kalimat "iqro' bismi robbikal ladzi kholaq... ileh" dan diakhiri dengan kalimat "alyauma akmaltu lakum dinakum... ileh". Sedangkan Alqur'an dimulai demgan surat Alfatihah dan diakhiri dengan surat Annas.
- Hubungannya antara kalam Dal dengan Alqur'an Insya Allah penjelasannya yang akan datang dalam bab riwayat Alqur'an.
- Bila ada pertanyaan: "Allah tiada hentinya berkata-kata, kiranya apa yang sedang Allah bicarakan?" Jawabannya "Dirimu tidak ditaklif mesti mengetahui apa-apa yang sedang dikatakan oleh Allah", tapi andai saja ingin mengetahui apa-apa yang sedang Allah katakan, yakni kalam Allah yang qodimatun qoimatun yang tiada hurup dan suaranya, maka pahamilah !!... Semata-mata Allah berkehendak atas Tanjizi Qudrot, yakni pelaksanaan yang kontan oleh sipat QudrotNya, Allah telah berkata-kata pada setiap kejadian oleh isinya makna "KUN FAYAKUN" sehingga bukti dan terjadi perkara tersebut dalam kondisi di-Tanjizi Hadits. Selanjutnya silahkan pahamilah surat ke 18 ayat 109 (Qul lau kanal bahru midadan LIKALIMATI robbi lanafidal bahru qobla an tanfada kalimatu robbi wa lau ji'na bimitslihi madadan = Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)) disana dikatakan "likalimati robbi" kalimat tersebut menunjukan atas kalam Allah yang qodimatun qoimatun yang tiada hurup dan suaranya. Selanjutnya dalam surat ke 7 ayat ke 54 (Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam) disana dikatakan "bi-amrihi = kepada perintah-Nya" kalimat tersebut menunjukan atas kalamnya Allah yang qodimatun qoimatun yang tiada hurup dan suaranya.
Sepintas riwayat Kalam Dal dan
Alqur'an (yang ada hubungannya dengan bab ini).
Dengan dirinya sendiri Qolam
diperintah oleh Allah untuk menuliskan dipapan Lauhul mahfudh, yakni menuliskan
isinya kalam Madlulnya Allah ta'ala secara sekaligus tampa ayat tampa surat sebagaimana
firman Allah didalam Alqur'an surat 85 Alburuuj ayat 21 - 22 (Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang
mulia - yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh), dalam tafsir Jalalain-nya ((Yang dalam Lauh) berada di atas langit yang ketujuh
(terpelihara) dari ulah setan-setan dan dari sesuatu perubahan. Panjang
Lohmahfuz itu sama dengan panjangnya langit dan bumi, sedangkan lebarnya ialah
sama dengan jarak antara timur dan barat; terbuat dari intan yang putih bersih.
Demikianlah menurut pendapat yang telah dikemukakan oleh Ibnu Abbas r.a.).
Nah secara sekaligus dari sana lalu diturunkan oleh malaikat Jibril ke Baitul
Izzah yang berada di langit keempat bertepatan dengan malam Lailatul Qodar
sebagaimana yang telah difirmankan dalam Alqur'an surat yang ke 97 ayat 1 (tafsir Jalalainnya: Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya) yaitu menurunkan Alquran seluruhnya secara sekali
turun dari lohmahfuz hingga ke langit yang paling bawah (pada malam kemuliaan)
yaitu malam Lailatulkadar, malam yang penuh dengan kemuliaan dan kebesaran).
Lalu dari Baitul Izzah disusun ayatnya, suratnya, saat-saat turunnya, dan juga
diturunkannya kepada Nabi secara berangsur dalam kurun waktu 23 tahun serta
disesuaikan dengan proses turunnya taqdir - yang biasa disebut dengan Asbabun
Nuzul.
Yang mula-mula diturunkannya adalah
surat Al'alaq (lima ayat), lalu ayat demi ayat diwahyukan oleh malaikat Jibril
disesuaikan dengan kebutuhan serta kejadiannya, yang mana kejadian tersebut berangsur-angsur
diciptakan melalui Tanjizi Hadits QudrotNya Allah agar supaya dijadikan suri
tauladan, cermin serta pedoman bagi umat hingga hari qiyamat. Kalam
tersebut dari malaikat Jibril diterima oleh Nabi, lalu di-ijazahkan kepada para
SahabatNya, setelah itu lalu oleh para Sahabat ditulis bersurat-surat &
ber-ayat-ayat hingga akhirnya terbentuklah kitab (suci) Alqur'an.
Isinya Kalam Allah yang dituliskan
didalam Alqur'an:
- 2000 (dua ribu) ayat yang menerangkan Janji dan Ancaman.
- 1000 (seribu) ayat yang menerangkan Pahala Surga dan Siksa Neraka.
- 1000 (seribu) ayat yang menerangkan isi Larangan.
- 1000 (seribu) ayat yang menerangkan Kisah.
- 1000 (seribu) ayat yang menerangkan Ibarat, Contoh dan Tauhid.
- 500 (lima ratus) ayat yang menerangkan Halal dan Haram.
- 100 (seratus) ayat yang menerangkan Nasikh dan Mansukh.
- 66 (enam puluh enam) ayat yang menerangkan Du'a dan Dzikir. Jadi jumlahnya ada 6666 ayat.
- Adapun Hurupnya ada 1270000 (sejuta dua ratus tujuh puluh ribu) hurup.
Adapun Nama-nama Alqur'an yang
disebutkan didalamnya, yaitu:
- Al-Kariimu.
- Al-Kitaabu.
- Al-Mubiinu.
- Al-Qur'aanu.
- Al-Kalaamu.
- An-Nuuru.
- Al-Huday.
- Ar-Rohmatu.
- Al-Furqoonu.
- Ats-Tsanaa-u.
- Al-Mau'idhotu.
- Adz-Dzikru.
- Al-Mubaaroku.
- Al'Aliyyu.
- Al-Hakiimu.
- Al-Hikmatu.
- Al-Mushoddiqu.
- Al-Muhaiminu.
- Hablullooh.
- Shiroothol Mustaqiim.
- Al-Qoyyimu.
- Al-Fashlu.
- Al'Adhiimu.
- Al-Matsaaniy.
- Ahsanul Hadiitsu.
- Al-Mutasyaabihu.
- At-Tanziilu.
- Ar-Ruuhu.
- Al-Wahyu.
- Al'Arobiy.
- Al-Bashoo-iru.
- Al'Ilmu.
- Al-Bayaanu.
- Al-Qoshoshu.
- Al-Haadiy.
- Al'Ajbu.
- At-Tadzkirotu.
- Al'Adlu.
- Ash-Shidqu.
- 'Urwatul Wutsqoy.
- Al-imlaa-u.
- Al-Munaadiy.
- Al-Busyroy.
- Al-Majiidu.
- Az-Zabuuru.
- An-Nabaa-u.
- Al-Balaaghu.
- Al'Aziizu.
- Al-Haqqu.
- Ahsanul Qoshoshu.
- Ash-Shuhufu.
- Al-Mukarommatu.
- Al-Marfuu'atu.
- Al-Muthohharotu.
Penjelasan.
Adapun sipat Kalam terkadang disebut
juga:
◄Shifatun ~ azaliyyatun ~ qo-imatun
~ bidzatihi ta'ala ~ laisat biharfin ~ wa la shoutin►
● Sifatun: yaitu SATU sipat
yang tidak terliputi oleh bilangan.
● Azaliyyatun:
yang azali (sebelum ada sebutan zaman atau waktu) yang tiada permulaan.
● Qo'imatun: menetap
selamanya, sesaat-pun tidak didahului, diselingi atau diujungi oleh
"bisu".
● Bidzatihi ta'ala: yakni
melekat keberadaanya, selama-lamanya ada didalam dzatNya.
● Laisat biharfin: tiada
baginya SATU hurup-pun.
● Wa la shoutin: dan
tiada pula SATU kata / bunyi-pun.
Adapun sipat Kalam mempunyai
ta'alluq (persambungan) antara sipat Kalam dengan sesuatu yang
ditunjukinya:
● Ta'aluq ifadah (untuk apa),
yakni untuk menunjukkan atas ISI yang difirmankan.
● Ta'aluq ta'diyah
(sasarannya apa), yakni sasarannya ialah terhadap Wajibul Wujud ~ Mustahilul
Wujud ~ Mumkinul Wujud, semuanya dapat diungkapkan / diceritakan / difirmankan
oleh Kalamnya Allah.
● Ta'aluq marotib
(tingkatan), yakni dari kapan sampai kapan persambungannya sipat Kalam.
Adapun tingkatannya antara sipat
Kalam dengan perkara yang difirmankan, ada dua tingkatan:
● Terhadap selain AMAR (perintah)
atau NAHI (larangan) kedududkannya berada di Tanjizi Qodim, yakni pelaksanaan
yang kontan dari zaman dahulu kala bahwa Allah telah berkata-kata.
● Adapun terhadap AMAR atau NAHI,
terdiri dari dua bagian:
- Sebelum wujud apa-apa yang diperintah atau apa-apa yang dilarang, ta'alluq sipat kalam disebut Shuluhi Qodim, yakni telah lulus dari dahulu kala.
- Setelah wujud apa-apa yang diperintah atau apa-apa yang dilarang, ta'alluq sipat Kalam disebut Tanjizi Hadits, yakni baru persentuhannya / kontaknya.
Penjelasan : Wa dlidduhal bukmu wa
huwal khorsu.
Yang dimaksud oleh Bukmun atau
Khorsun oleh sebab sama sekali tiada dapat berkata-kata, atau terhalang,
seperti:
- Batu ~ bata ~ tembok ~ tiang ~ tiada berkata-kata ia dinamakan Bukmun.
- Binatang ~ manusia ~ jin ~ tiada berkata-kata ia dinamakan Khorsun.
Nah yang dimaksud Bukmun disini,
yaitu:
- Sama sekali tidak dapat berkata-kata.
- Tiada berkata-kata oleh sebab ada halangan.
- Berkata-kata ada hurup atau suara.
- Berkata-kata ada mulanya serta ada akhirnya. nah ini semua mustahil bagi Allah.
Penjelasan : Waddalilu
◄Wad dalilu ‘ala dzalika qouluhu
wa kallamallohu musa takliman = Sedangkan dalilnya yang menunjukan
terhadap sipat kalamnya Allah yakni firmanNya "Dan Allah telah berbicara
kepada Musa dengan lamgsung (bicara yang sebenar-benarnya)" (Qs 4
An-Nisa': 164)►
Yang dimaksud "Allah telah berbicara kepada Musa dengan lamgsung" (Qs 4 An-Nisa': 164):
Yang dimaksud "Allah telah berbicara kepada Musa dengan lamgsung" (Qs 4 An-Nisa': 164):
- Hal ini bukan menunjukan bahwa Allah berkata-kata yang isinya ada suara atau tulisannya, akan tetapi telinga Nabi Musa dibukakan hijabnya sehingga dapat mendengarkan Kalam Madlulnya Allah yang tiada hurup atau suara.
- Dan juga, hal ini bukan menunjukan bahwa Allah berkata-kata kepada Nabi Musa ada permulaannya lalu ada akhirnya, akan tetapi dibukakan hijab telinganya Nabi Musa ada mulanya lalu ditutup kembali oleh Allah sehingga ada akhirnya.
- Isi daripada Kalam Madlulnya Allah yang dapat didengar oleh telinganya Nabi Musa disaat itu, yakni (Innani anallohu la ilaha illa ana fa'buduni wa aqimish sholata lidikri = Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku) (Qs 20 Thaahaa: 14)
Tambahan:
- Menurut Syekh Imam Asy'ari, mengenai hitungan aqo'id iman - cukuplah sampai sipat Kalam saja, tidak usah ada sipat ma'nawiyah karena sudah lazim oleh adanya sipat ma'ani.
- Menurut Syekh Imam Mansur Ma'turidi, katanya wajib disebutkan serta disusun satu persatu ma'nawiyahnya sipat ma'ani yang tujuh sehingga aqo'id iman jumlahannya ada 20 (dua puluh) sipat.
- Sedangkan Syekh Imam Ibrohim al-Bajuri yang mengarang kitab Tijan sepedapat dengan pendapatnya Syeh Imam Mansur al-Maturidi, yakni aqo'id iman disempurnakan menjadi 20 (dua puluh) sipat yang wajib di Allah.
Wallohu 'a'lam.
◄◄●═════════◄●►════════●►►