Terjemah
Husnus Siyaghoh Balaghoh
terjemah
kitab durusul balaghoh
husnus siyaghoh
PENDAHULUAN
Fashohah
dan balaghoh
A.
FASHOHAH
Fashohah menurut bahasa adalah : kalimat yang menunjukkan arti
jelas.
Dikatakan
: "Seorang anak telah fasih dalam perkataannya" jika memang ucapannya sudah jelas.
Fashohah dalam istilah, itu menjadi
sifat pada kalimah, kalam, dan mutakallim.
a. Fashohatul Kalimah .
adalah : Terhidarnya suatu kalimah dari Tanafur Huruf,
Mukholafatul Qiyas, dan Ghorobah.
-
Tanafur huruf adalah: Suatu sifat pada kalimah yang menyebabkan
beratnya kalimah pada lidah dan sulit mengucapkannya.
Contoh
:
الظَشُّ : tempat yang kasar.
الهِعْخِعْ : tanaman hitam, untuk penggembalaan unta
النُّقَاحِ :
air tawar yang jernih
المُسْتَسْزِرِ : benang yang tepintal
Penjelasan :
Tanafur terbagi mejadi 2 yaitu :
1.
Tanafur yang sangat berat terbatas. Contoh :
الظَشُّ : tempat yang kasar.
الهِعْخِعْ : tanaman hitam, untuk penggembalaan unta
Lafadz الهِعْخِعْ ini dikatakan tanafur karena
kesemuanya huruf berasal dari satu makhroj yaitu huruf halaq.
2.
Tanafur yang berat tak terbatas. Contoh :
النُّقَاحِ : air tawar yang jernih
Pada
Ucapan Penyair :
وأَحْمَقَ ممن يلْعَق الماءَ قال لي دع الخمر واشْرَبْ من نُقاخ مُبَرَّدِ
Dan
itu lebih bodoh lagi dari pada orang yang minum air lalu mengatakan padaku :
“tinggalkan arak, dan minumlah dari air tawar yang jernih yang dingin.
Contoh lain :
المُسْتَشْزِرِ : benang yang tepintal
Lafadz
ini dikatakan tanafur karena Huruf Syin (bersifat Hams dan Rokhwah)
menengahi antara huruf ta' (bersifat Hams dan Syadidah) dan huruf
za' (bersifat Jahr).
Untuk
membedakan antara kedua tanafur tersebut yaitu dengan menggunakan perasaan yang
sehat (Dzauq Salim) yang diperoleh dengan mengkaji kalam Para ahli
Balaghoh dan mendalami metode-metodenya baik dari sisi kedekatan antara makhroj
hurufnya atau dari jauhnya.
-
Mukholafah
Qiyas
adalah : kalimah yang tidak sesuai dengan prosedur kaidah ilmu shorof.
Contoh : lafadz
بُوق dijama’kan menjadi بُوقَاتٌ seperti dalam Syairnya Abu
toyyib Ahmad bin Husain Al-Ju’fiy al-Kandy Al-Kufy Al-Mutanabby yang sedang
memuji pemimpin tentara Daulat Ibnu hamdan Raja Aleppo Syiria :
فإِنْ يَكُنْ بَعْضُ النَّاسِ سَيْفًا لِدَوْلَةٍ - فَفِيْ
النَّاسِ بُوْقَاتٌ لَهَا وَطُبُوْلُ
"Jika sebagian manusia itu seperti tentara dalam
pemerintahan ( ibnu Hamdan Raja Aleppo; Syiria ), maka dalam manusia akan
terdapat terompet dan gendang untuk pemerintahan itu".
Karena
menurut Qiyas dalam jama’ qillahnya adalah أَبْوَاقٌ
Dan
juga seperti lafadz مَوْدَدَةٌ dalam ucapannya :
إِنَّ بَنِـــيَّ لَلِئَاَمٌ
زَهَــدَهُ - مَالِيَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِنْ
مَوْدَدَةٍ
"Sesungguhnya Anak-anakku memang orang yang hina
yang tidak perhatian, tiada dihatinya ada rasa cinta padaku "
Menurut Qiyas ilmu shorof adalah dengan mengidghomkan
lafadz مَوْدَدَةٍ menjadi مَوَدَّة karena
ada dua huruf sama, serta huruf yang kedua berharokat.
-
Ghorobah adalah: adanya kalimah itu
tidak jelas artinya.
Contoh
:
تَكَأْكَأَ bermakna seperti lafadz
إجتمع
yaitu berkumpul.
إفْرَنْقَعَ bermakna seperti lafadz إنصرف
yaitu bubar.
إلْطَخَمَّ bermakna seperti lafadz إشتدَّ yaitu berat dan besar
Keterangan
:
Ghorobah
terbagi
menjadi 2 yaitu :
a.
Kata yang bisa diketahui
maknanya dengan seringnya meneliti pada kitab bahasa Ajam karena tidak biasa
digunakan pada bahasa murni arab. Contoh:
تَكَأْكَأَ bermakna seperti lafadz
إجتمع
yaitu berkumpul.
إفْرَنْقَعَ bermakna seperti lafadz إنصرف
yaitu bubar.
إلْطَخَمَّ bermakna seperti lafadz إشتدَّ yaitu berat dan besar
b.
Kata yang tidak diketahui
maknanya pada kitab bahasa karena tidak digunakan bagi orang Arab, dan tidak
berlakunya bahasa pembanding maka membutuhkan usaha keras untuk mengartikannya
yang menyebabkan sulitnya memahami dan masih ada kesamaran.
Contoh
:
مُسَرّج bermakna pedang suraij daerah Qin dan ada yang mengatakan
bermakna : Lampu.
B. Fashohatul Kalam.
adalah : Terhidarnya beberapa kalimah dari tanafur
pada kumpulan kalimah (kalam), Dho'fu Ta'lif, Ta'kid, serta fashohahnya
beberapa kalimah itu.
1. Tanafur pada Kalam adalah : Suatu sifat dalam
Kalam yang menyebabkan beratnya kalam pada lisan dan sulit mengucapkannya.
Contoh dalam ucapan Penyair
:
فِيْ رَفْعِ عَرْشِ
الشَّرْعِ مِثلُكَ يَشْرَعُ
“pada
keluhuran Arasynya Syara’, Orang sepertimu bisa mengambil”
Contoh lain:
وَقَبْرُ حَرْبٍ بِمَكَانٍ قَفْرٍ - وَلَيْسَ قُرْبَ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْرُ
" kuburan musuh harus ditempat yang sunyi, dan tiada
kuburan lain dekat kuburan itu"
Seperti Ucapan Abu tamam
Habib bin A'us:
كَرِيْمٌ مَتَى أمْدَحْهُ أمْدَحْهُ وَالوَرَى مَعِيْ وَإذَا مَالُمْتُهُ لُمْتُهُ وَحْدِيْ
"Dia
(Abu Ghoits Musa Bin Ibrahim Ar-Rofi'i) adalah orang yang mulia, jika aku
memujinya maka aku memujinya beserta orang-orang yang bersamaku. Jika aku
menghinanya, maka aku menginanya sendirian"
Penjelasan :
Tanafur ini juga terbagi mejadi 2 yaitu :
- Tanafur Syadid / A'la; yang sangat berat pengucapannya
Contoh dalam ucapan Penyair
:
فِيْ رَفْعِ عَرْشِ
الشَّرْعِ مِثلُكَ يَشْرَعُ
Pada
kalam tersebut dikatakan tidak fasih, karena sulit mengucapkannya disebabkan
adanya pengulangan 3 huruf yaitu ro', a'in, dan syin".
Contoh lain:
وَقَبْرُ حَرْبٍ بِمَكَانٍ قَفْرٍ - وَلَيْسَ قُرْبَ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْرُ
Pada
syair tersebut dikatakan tidak fasih, karena sulit mengucapkannya disebabkan
adanya beberapa huruf yang sama serta diulang-ulang.
- Tanafur Khofif/ Adna; yang tidak berat pengucapannya,
Seperti Ucapan Abu tamam
Habib bin A'us:
كَرِيْمٌ مَتَى أمْدَحْهُ أمْدَحْهُ وَالوَرَى مَعِيْ وَإذَا مَالُمْتُهُ لُمْتُهُ وَحْدِيْ
Pada kalam tersebut
dikatakan tidak fasih, karena sulit mengucapkannya disebabkan adanya
pengulangan 2 huruf yaitu هاء dan حاء".
2. Dho'fu Ta'lif adalah : adanya kalam itu tidak sesuai dengan prosedur
kaidah ilmu Nahwu yang masyhur.
Seperti
membuat Dhomir sebelum menuturkan Marji'nya dalam lafadz dan ma'nanya, dalam
ucapan Penyair :
جَزَى بَنُوْهُ أَبَا الغِيْلاَنِ عَنْ كِبَر وَحُسْنِ فَعْلٍ كَمَا يُجْزَى سِنِمَّارُ
"Anak-anaknya
telah membalas kebaikan Abu Ghilan diusia tua seperti yang dilakukan oleh
Sinimmaru (Arsitektur Negara rum)"
Penjelasan :
Kecacatan pada syair tersebut itu dari sisi Dhomirnya
lafadz بَنُوْهُ
yang
kembali pada lafadz أَبَا الغِيْلاَنِ yang merupakan lafadz yang diakhirkan secara
Lafadz dan tingkatan.
3. Ta'qid adalah : adanya kalam itu tidak jelas (masih samar) pada
makna yang dikehendaki.
Dan
kesamaran itu adakalanya dari aspek lafadz yang disebabkan mendahulukan (taqdim),
mengakhirkan (ta'khir) atau memisah (Fashol). hal ini disebut Ta'kid
Lafdhy.
Seperti Ucapan Al-Mutanabby
:
جَفَخَتْ وَهُمْ لاَ يَجْفَخُوْنَ بِهَا بِهِمْ شِيَمٌ عَلَى الحَسَبِ الأَغَرِّ دَلاَئِلُ
"Suatu
Kebiasaan (watak) yang menunjukkan atas keturunan yang baik merupakan
Kebanggaan, dan mereka itu tidak bangga
dengan itu".
Pentakdirannya
adalah :
جَفَخَتْ بِهِمْ شِيَمٌ دَلاَئِلُ عَلَى الحَسَبِ الأَغَرِّ وَهُمْ لاَ يَجْفَخُوْنَ
بِهَا
Penjelasan
:
Pada
syair tersebut, dikatakan Ta'kid lafdhy karena :
1.
Memisah antara fi'il dan
lafad yang berta'alluq padanya (muta'alliq) (جَفَخَتْ
بِهِم ) dengan lafadz lain
yaitu : وَهُمْ لاَ يَجْفَخُوْنَ بِهَا .
2.
Mengakhirkan lafadz دَلاَئِلُ dari lafadz yang berta'alluq
padanya :
عَلَى الحَسَبِ الأَغَرِّ.
3.
Memisah antara Na'at dan
man'utnya : شِيَمٌ دَلاَئِلُ dengan lafadz :
عَلَى الحَسَبِ الأَغَرِّ
Dan
adakalanya dari aspek makna disebabkan adanya penggunaan majaz dan Kinayah yang
Murodnya tidak bisa dipahami. hal ini disebut Ta'kid Ma'nawy.
Seperti Ucapanmu : نَشَرَ المَلِكُ أَلْسِنَتهُ
فِيْ المَدِيْنَةِ
Dengan menghendaki arti dari:
أَلْسِنَتهُ sebagai "Mata-mata". dan yang benar adalah menggunakan lafadz
: عُيُوْنهُ
dan Seperti juga Ucapan dari
Penyair ( Abbas bin Ahnaf ) :
سَأَطْلُبُ بُعْدَ الدَّارِ
عَنْكُمْ لِتَقْرُبُوْا وَتَسْكُبُ عَيْنَايَ
الدُّمُوْعَ لِتَجْمُدَ
"Aku mencari tempat tinggal jauh dari kalian, agar
kalian kelak menjadi dekat denganku, dan kedua mataku mencucurkan air mata
karena bahagia".
Penyair membuat kinayah (kata konotasi) pada lafad الجمود dengan arti bahagia,
padahal lafadz tersebut biasa digunakan untuk sebuah kinayah (kata konotasi)
untuk arti: "sulit meneteskan air mata pada saat menangis
(susah)". Yaitu waktu susah ketika berpisah dengan kekasih, dan inilah
yang seketika dipaham dari lafad الجمود , bukan kebahagiaan seperti yang dikehendaki
oleh Penyair,
Untuk mengartikan sesuai yang dikehendaki Penyair itu
membutuhkan perantara yang banyak yaitu : lafad الجمود diartikan dengan : keringnya
mata dari air mata, lalu diganti dengan arti : tidak ada air mata ketika
menangis, lalu diartikan : tidak adanya air mata secara muthlaq,
lalu diartikan : tidak adanya kesusahan, lalu baru diartikan dengan : kebahagiaan.
Oleh sebab itu dikatakan sebagai Ta’kid.
C.
Fashohatul Mutakallim.
Adalah: Suatu sifat yang melekat pada seseorang (bakat)
yang bisa menyampaikan suatu maksud dengan perkataan yang fashih pada semua
tujuan yang ada (seperti memuji atau menghina).
B.
BALAGHOH
Balaghoh
menurut bahasa : Sampai , Tuntas.
Menurut
Istilah itu menjadi sifat pada kalam dan Mutakallim.
Balaghotul Kalam
adalah : Kesesuaian suatu kalam pada Muqtadhol Hal
(tuntutan keadaan) serta fashohahnya kalam itu.
Hal disebut juga Maqom adalah : Perkara yang
mendorong Mutakkalim untuk mendatangkan perkataan pada bentuk tertentu.
Al-Muqtadho disebut juga I'tibar Munasib adalah : suatu bentuk tertentu yang
didatangkan suatu ibarat untuk menyampaikannya.
Seperti
:
Pujian adalah Suatu keadaan yang mendorong untuk mendatangkan
ibarat dengan bentuk Ithnab (memanjangkan kalimat).
Cerdasnya Mukhotob adalah suatu keadaan yang mendorong untuk mendatangkan
ibarat dengan bentuk Ijaz (menyingkat kalimat).
Pujian dan Cerdasnya Mukhotob disebut Hal,
sedangkan Ithnab dan Ijaz disebut Muqtadho.
sedangkan
mendatangkan kalam dalam bentuk Ithnab dan Ijaz dinamakan menyesuaikan pada Al-Muqtadho
(tuntutan).
Balaghotul Mutakallim adalah : Suatu sifat yang melekat (bakat) pada sesorang
yang bisa menyampaikan suatu maksud dengan Kalam yang Baligh pada semua tujuan
apapun.
Tanafur itu bisa diketahui dengan Dzauq Shohih (Kemampuan
batin/perasaan yang sehat).
sedangkan Mukholafatul Qiyas dengan Ilmu Shorof, dan
Dho'fu Ta'lif dan Ta'qid Lafdhy dengan Ilmu nahwu, sedang Ghorobah dengan
seringnya mempelajari kalam Arab, Ta'kid Ma'nawi dengan Ilmu Bayan, dan Hal dan
Muqtadhol hal dengan Ilmu ma'any.
maka bagi seorang pelajar balaghoh harus mengetahui ilmu
bahasa, shorof, nahwu, Ma'any dan bayan serta memiliki Dzauq yang salim dan
memperbanyak mempelajari kalam Arab.
ILMU MA'ANI
Ilmu Ma'ani adalah : Suatu Ilmu untuk mengetahui keadaan lafadz Arab
yang bisa menyesuaikan dengan tuntutan keadaan. Maka bentuk kalam akan menjadi
berbeda-beda karena adanya perbedaan kondisi.
Seperti
Firman Allah SWT :
"وَأَنََّا
لاَ نَدْرِيْ أَشَرٌّ أُرِيْدَ بِمَنْ فِيْ الأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ
رَشَدًا"
"Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan
adanya penjagaan itu) apakahkeburukan yang dikehendaki bagi orang yang dibumi
ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka" (QS. Al-Jin :10)
Lafadz sebelum أمْ merupakan bentuk kalam yang berbeda dengan bentuk kalam
sesudahnya, karena Kalam yang pertama itu berupa fi'il mabni majhul,
sedangkan yang kedua berupa Fi'il mabni ma'lum.
Kondisi yang menuntut seperti itu adalah menisbatkan
semua kebaikan kepada Allah SWT pada kalam yang kedua, dan
mecegah meninsbatkan keburukan kepada Allah pada kalam yang pertama.
Pembahasan
pada Ilmu Ma'ani teringkas dalam 6 bab yaitu :
BAB I
KHOBAR DAN INSYA'
Setiap kalam itu adakalanya berupa kalam Khobar
dan adakalanya berupa kalam Insya'.
Kalam Khobar adalah : Kalam yang sah (secara logika) untuk dikatakan
pada Pengucapnya bahwa Ia adalah Orang yang benar atau Dusta. Seperti Ucapan
Seseorang :
سَافَرَ زَيْدٌ = Zaid telah bepergian.
عَلِيٌّ مُقِيْمٌ = Ali itu orang yang bermukim
Si
Pengucap
tersebut bisa dikatakan Orang yang benar perkataannya, jika memang perkataannya
sesuai dengan faktanya, dan bisa dikatakan Orang yang Dusta, jika memang
perkataannya tidak sesuai dengan faktanya.
Kalam Insya' adalah : Kalam yang tidak sah secara logika untuk
dikatakan pada Pengucapnya bahwa Ia adalah Orang yang benar atau Dusta. Seperti
Ucapan Seseorang :
سَافِرْ يَازَيْدُ = Pergilah hai Zaid !
أَقِمْ يَاعَلِيُّ = Tinggallah hai Ali
!
Si
Pengucap
tersebut tidak bisa dikatakan sebagai Orang Jujur atau Orang yang Dusta karena
ia hanya memerintahkan pada zaid atau ali.
Yang
dimaksud dari Kebenaran Khobar adalah : Kesesuaian Khobar pada
Faktanya. Sedangkan Kedustaan khobar adalah : tidak sesuainya
Khobar pada Faktanya.
Pada
Jumlah عَلِيٌّ مُقِيْمٌ ,
itu jika nisbat kalam yang dipahami (tetapnya Sifat Muqim bagi Ali) dari jumlah itu sesuai dengan kenyataannya
maka dikatakan Khobar yang Benar, jika tidak benar maka dikatakan Khobar yang
dusta.
Pada masing-masing Jumlah
itu memiliki dua rukun yaitu :
Mahkum
Alaih,
disebut juga sebagai Musnad Ilaih seperti Fa'il, Na'ibul Fail, Mubtada' yang
memiliki khobar.
Mahkum
Bih,
disebut juga sebagai Musnad seperti Fi'il, dan Mubtada' yang cukup dengan
fa'il yang dirofa'kan.
Kalam
Khobar
Khobar
itu adakalanya berupa Jumlah Fi'liyyah dan adakalanya berupa Jumlah
Ismiyyah.
Jumlah
Fi'liyyah
adalah : Jumlah yang difungsikan untuk memberikan faidah suatu kejadian pada
zaman tertentu serta ringkas (tidak butuk Qorinah seperti : Sekarang, Kemarin,
atau besok).
dan
terkadang berfaidah Istimror
tajaddudy (Berlansung terus menerus secara bertahap) disebabkan adanya indikasi (qorinah) dengan
syarat jika berupa Fi'il Mudhori' seperti ucapan Thorif bin Tamim Al-Anbary
yang menyifati dirinya sendiri dengan seorang pemberani.
أَوَكُلَّمَا وَرَدَتْ
عُكَاظُ قَبِيْلَةٌ بَعَثُوْا إِلَيَّ عَرِيْفَهُمْ يَتَوَسَّمُ
"Apakah (orang Arab telah mendatangi pasar Ukadz),
bilamana suatu Qobilah dari mereka sampai dipasar Ukadz, Maka mereka
mengirimkan pemimpin mereka padaku untuk meneliti satu persatu (apakah aku ikut
bersama mereka atau tidak?) ".
Jumlah
Ismiyah
adalah : Jumlah yang difungsikan hanya murni menetapkan hukum musnad
pada musnad ilaih. seperti :
الشَّمْسُ مُضِيْئَةٌ = Matahari itu menerangi.
dan terkadang berfaidah Istimror (terus menerus)
sebab adanya indikasi (qorinah), jika khobarnya tidak berupa kalimah
fi'il. contoh :
العِلْمُ نَافِعٌ = Ilmu itu bermanfaat.
Secara asal, Khobar itu
disampaikan dengan bertujuan :
1.
Memberi faidah kepada Mukhotob
tentang hukum yang terkandung dalam jumlah itu. seperti dalam perkataan kita :
حَضَرَ الأَمِيْرُ = Pemimpin itu telah
hadir.
karena
kita bertujuan menyampaikan kepada Mukhotob bahwa tetapnya kehadiran pemimpin
itu telah terwujud dan nyata sesuai faktanya.
2.
Memberikan faidah bahwa
Mutakallim itu mengetahui khobar itu. contoh :
أَنْتَ حَضَرْتَ أَمْسِ = engkau telah hadir
kemarin.
Karena kehadirannya itu
telah diketahui oleh Mutakallim sendiri sebelum diberitahu.
Hukum yang dituju pada
khobar disebut : Faidah Khobar.
Mutakallim yang mengetahui
tentang khobar disebut Lazim Faidah.
Macam-macam
Khobar.
Sekiranya
tujuan Mukhbir (orang yang menyampaikan berita) itu memberi faidah pada
Mukhotob, maka sebaiknya kalam itu diringkas menurut kadar kebutuhan karena
dikhawatirkan adanya Al-Laghwu (Ucapan yang sia-sia).
Jika
Mukhotob merupakan Kholi Dzihny (orang yang hatinya sepi dari
membenarkan atau mendustakan khobar/ belum tahu sama sekali tentang khobar)
dari hukum, maka khobar disampaikan tanpa menggunakan taukid (kata
penguat).contoh :
أَخُوْكَ قَادِمٌ = Saudaramu (lk) datang.
Jika
Mukhotob merupakan orang yang ragu-ragu serta berusaha untuk mengetahui khobar,
maka sebaiknya menguatkan khobar. seperti :
إِنَّ أَخَاكَ قَادِمٌ = Sesungguhnya Saudaramu (lk) datang.
Jika
Mukhotob merupakan orang yang mengingkari khobar (berkeyakinan sebaliknya), maka
harus mendatangkan khobar dengan satu penguat atau dua penguat atau lebih
dengan melihat tingkatan ingkarnya. seperti :
إِنَّ أَخَاكَ قَادِمٌ
= Sesungguhnya Saudaramu (lk) datang.
إِنَّ أَخَاكَ لَقَادِمٌ
= Sesungguhnya Saudaramu (lk) benar-benar datang.
وَاللهِ، إِنَّ أَخَاكَ لَقَادِمٌ
Demi Allah, Sesungguhnya Saudaramu (lk)
benar-benar datang.
Dengan
menisbatkan pada sepinya khobar dari taukid dan adanya taukid pada khobar, maka
Khobar terbagi menjadi tiga macam seperti yang telah kamu ketahui.
Bentuk yang pertama (sepinya
khobar dari taukid) disebut : Ibtida'i.
Bentuk
ke 2 (mendatangkan khobar dengan satu taukid) disebut : Tholaby.
Bentuk
ke 3 (kewajiban mendatangkan khobar dengan satu taukid atau lebih) disebut : Inkary.
Lafadz
Taukid (penguat) dengan menggunakan lafadz :
- إِنَّ، أَنَّ = Sesungguhnya
- لاَمْ إبْتِدَاءْ = Sungguh
- Huruf Tanbih (Peringatan) seperti : أَلاَ، أَمَا (ingatlah).
- Huruf Qosam (sumpah).
- Huruf Zaidah (tambahan).seperti ba' zaidah.
- Pengulangan lafadz (takrir).
- قَدْ = Sungguh, benar-benar.
- أَمَّا yang menjadi Syarat.
Dan termasuk juga :
a.
Menggunakan Jumlah ismiyah,
karena itu lebih kuat dari pada jumlah Fi’liyyah.
b.
Mendahulukan Fa’il maknawi
contoh : الأميرُ حضَرَ
c.
Lafadz إنَّمَا contoh
: إنَّمَا خاَلِدٌ قَائِمٌ
d.
Dhomir Fashol Contoh : زَيْدٌ هُوَ القَائِمُ
Kalam
Insya'
Kalam Insya' itu adakalanya
Tholaby atau Ghoiru Tholaby.
Insya'
tholaby
adalah : Kalam yang menuntut pada sesuatu yang dituju yang belum didapatkan
saat penuntutan.
Insya'
Ghoiru Tholaby
adalah : Kalam yang tidak menuntut pada sesuatu yang dituju yang belum
didapatkan saat penuntutan.
Insya'
Tholaby, terdapat 5 macam : Amar(perintah), Nahy (larangan), Istifham
(bertanya), Tamanni (berharap), Nida' (kata seru).
Amar
(Perintah).
yaitu
: Menuntut suatu pekerjaan dengan ucapan tertentu secara Isti'la' (merasa
tinggi derajatnya).
amar memiliki 4 macam Shigot
(bentuk kalimat) yaitu :
a.
Fi'il Amar, Contoh =
خُذِ الكِتَابَ بِقُوَّةٍ =
Ambilah Kitab itu (Taurot) dengan sungguh-sungguh. (Surat Maryam : 12)
b.
Fi'il Mudhori yang bersamaan
dengan Lam amar, Contoh :
لِيُنْفِقْ ذُوْسَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ
Hendaklah orang
yang mampu itu menafkahkan menurut kemampuannya . (Surat Ath-Tholaq : 7)
c.
Isim Fi'il Amar, Contoh :
حَيَّ عَلَى الفَلاَحْ = marilah menuju kebahagiaan.
d.
Isim Masdar yang menjadi
pengganti dari Fi'il Amar, contoh :
سَعْيًا فِيْ الخَيْرِ = Sungguh
berusahalah dalam melakukan kebaikan
Dan
terkadang Sighot Amar itu keluar dari arti aslinya menjadi arti yang
lain yang bisa dipahami dengan alur pembicaraan (Siyaqul kalam) dan
Indikasi keadaan. seperti :
a.
Do'a, (yaitu : menuntut suatu
pekerjaan dengan cara merendah atau sopan, baik orang yang menuntut itu rendah
atau tinggi ataupun sama derajatnya) contoh :
أَوْزِعْنِيْ أَنْ أَشْكُرَ
نِعْمَتَكَ = mohon
Berikan Ilham padaku untuk mensyukuri
nikmat-Mu (Surat An-Naml : 19) .
b.
Iltimas (yaitu : menuntut suatu
pekerjaan secara halus tanpa adanya Isti’la’ atau merendahkan diri baik orang yang memerintah itu lebih tinggi
derajatnya, atau lebih rendah atau sama). seperti ucapanmu terdapap teman sebayamu
:
أَعْطِنِيْ الكِتَابَ = berikan padaku kitab
itu.
c.
Tamanni (yaitu : Perintah suatu
perkara yang disenangi tanpa adanya sifat toma'), contoh :
أَلاَ أَيُّهَا اللَّيْلُ الطّوِيْلُ أَلاَ
انْجَلِيْ بِصُبْحٍ وَمَا الإصْبَاحُ مِنْكَ
بِأَمْثَلِ
Ingatlah,
wahai Sang malam yang panjang!, tampakkanlah dengan waktu shubuh, dan tiadalah
kenampakan waktu shubuh darimu itu lebih utama (disisiku).
d.
Tahdid (Mengancam), contoh :
إِعْمَلُوْا مَا شِئتمْ = Kerjakanlah sesuka
hati kalian ! (Maka kalian akan melihat balasannya dihadapan kalian ) . (Surat
Fushilat : 40)
e.
Ta'jiz
(melemahkan),
Contoh :
يَا لَبَكْرٍ أَنْشِرُوْا لِيْ كُلَيْبَا يَالَبَكْرٍ أَيْنَ اَيْنَ الفِرَارُ
Wahai
Bakar, hidupkanlah kembali Kulaib, Hai Bakar dimana? dimana engkau akan lari?
f.
Taswiyyah (menyamakan), Seperti
Firman Allah :
إصْلَوْهَا إِصْبِرُوْا أَوْ لاَ تَصْبِرُوْا سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ
Masuklah
kalian ke dalamnya (rasakanlah panas apinya),
Bersabarlah kalian ataukah janganlah sabar kalian, sama saja bagi
kalian.
(Surat
At-Thur : 16)
Karena
terkadang disalah persepsikan bahwa sabar itu bermanfaat, maka hal itu
mendorong untuk menyamakan bagi mereka antara sabar dan tidak dalam hal sama-
sama tiada bermanfaat.
Nahi
(Larangan)
Adalah
: tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan secara Isti'la' (merasa tinggi
derajatnya).
Nahi
memiliki 1 macam Shigot (bentuk kalimat) yaitu : Fi'il Mudhori' yang bersamaan
dengan La nahi.
Seperti Firman Allah :
وَلاَ تُفْسِدُوْا فِيْ
الأرْضِ بَعْدَ إصْلاَحِهَا.
“Janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi setelah
memperbaikinya” (Surat
Al-A’rof : 56)
Dan
terkadang Sighot Nahi itu keluar dari arti aslinya menjadi arti yang lain yang
bisa dipahami dari maqom/Keadaan dan alur pembicaraan (Siyaqul kalam).
seperti :
a.
Do'a, (yaitu : tuntutan untuk
meninggalkan suatu pekerjaan dengan cara merendah atau sopan) contoh pada
Firman Allah :
فَلاَ تُشْمِتْ بِيَ
الأَعْدَاءَ = Mohon Janganlah kau membuat gembira
para musuh dengan melihatku (Surat Al-A’rof : 150).
b.
Iltimas (yaitu : Tuntutan
meninggalkan suatu pekerjaan tanpa adanya Isti'la' atau merendahkan diri).
seperti ucapanmu terdapap teman sebayamu :
لاَتَبْرَحْ مِنْ مَكَانِكَ حَتى أرْجِعَ إلَيْكَ = Janganlah kau pindah dari tempatmu,
sampai aku kembali padamu.
c.
Tamanni, contoh :
يَا لَيْلُ طُلْ يَا نَوْمُ زُلْ يَا صُبْحُ قِفْ لاَ تَطْلُعْ
Wahai Malam, panjangkan waktumu, wahai tidur hilanglah,
wahai Waktu subuh berhentilah, janganlah kau nampak.
d.
Tahdid (Mengancam), Seperti
ucapanmu kepada pelayanmu :
لاَ تُطِعْ أَمْرِيْ = Jangan kau patuhi
perintahku !, (Maka akan kau rasakan akibatnya).
Istifham
(Bertanya)
Adalah
: Menuntut suatu informasi atau pengetahuan atas terjadinya sesuatu dengan alat
tertentu.
Alat untuk bertanya :
الهمزة، هَلْ، مَا، مَنْ ، مَتى، أَيَّانَ ، كَيْفَ، أَيْنَ ، أَنى، كَمْ،
أيّ
Hamzah
(أ)
Hamzah berfungsi untuk
menuntut Tashowwur atau Tasdhiq.
Tashowwur adalah : mengetahui mufrod
(sesuatu selain terjadinya penisbatan atau tidak)
Seperti Ucapanmu :
أَعَلِيٌّ مُسَافِرٌ أَمْ خَالِدٌ = Apakah Ali itu
Orang yang pergi ataukah Kholid ?.
dengan
berkeyakinan bahwa bepergian itu dilakukan oleh
salah satu dari keduanya, tetapi engkau menuntut kejelasannya, maka dari
itu dijawab dengan menentukan salah satunya, semisal dijawab : “Ali”.
Tasdhiq yaitu mengetahui bahwa
penisbatan antara dua perkara itu terjadi sesuai dengan fakta atau tidak.
Contoh :
أَسَافَرَ عَلِيٌّ = Apakah Ali telah pergi?.
engkau bertanya tentang
terjadinya pekerjaan"bepergian" atau tidak ? maka dijawab dengan : ya
atau tidak.
Sesuatu
yang ditanyakan dalam Tashowwur itu Lafadz yang bersanding dengan hamzah dan
adanya kata pembanding yang disebutkan setelah Am. Kata Am
disini disebut : Am Muttasil. maka kamu akan mengucapkan ketika
bertanya tentang Musnad ilaih : "
أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا
أَمْ يُوْسُفُ ؟
= Apakah kamu telah mengerjakan ini ataukah
Yusuf?.
dan bertanya tentang Musnad
:
أَ رَاغِبٌ أَنْتَ عَنِ الأمْرِ أَمْ رَاغِبٌ فِيْهِ
=
Apakah Kamu membenci perkara ini ataukah kamu menyukainya?.
dan bertanya tentang Maf'ul
bih :
أَ إِيَّايَ تَقْصِدُ
أَمْ خَالِدًا ؟
= Apakah aku yang engkau
tuju ataukah kholid ?.
dan bertanya tentang Hal :
أَ رَاكِبًا جِئتَ أَمْ مَاشِيًا ؟
=Apakah
dengan berkendaraan engkau datang ataukah dengan berjalan kaki?.
dan bertanya tentang Dhorof
:
أَ يَوْمَ الخَمِيْسِ قَدِمْتَ أَمْ يَوْمَ الجُمْعَةِ ؟
=Apakah
pada hari kamis engkau datang ataukah pada hari jum'at?.
dan begitu seterusnya.
dan
terkadang tidak disebutkan kata pembandingnya. contoh :
أَ أَنْتَ فَعَلْتَ
كَذَا ؟ = Apakah Kamu telah
melakukan ini?.
أَ رَاغِبٌ أَنْتَ عَنِ
الأمْرِ ؟ = Apakah Kamu benci
perkara ini?.
أَ إِيَّايَ تَقْصِدُ
؟ = Apakah aku yang engkau tuju?.
أَ رَاكِبًا جِئتَ ؟ = Apakah dengan berkendaraan kau datang?.
أَ يَوْمَ الخَمِيْسِ
قَدِمْتَ ؟= Apakah pada hari kamis engkau datang?.
Sedangkan
Sesuatu yang ditanyakan dalam Tashdiq adalah Nisbat (keadaannya dalam aspek
terjadinya sesuatu atau tidak) serta tidak adanya Lafadz pembanding. maka
apabila Am terletak setelah Jumlah yang menunjukkan suatu nisbat,
maka am itu dikira-kirakan sebagai Am Munqoti'
(terputus) dan bermakna seperti Bal (bahkan).
هَلْ
berfungsi untuk menuntut
Tasdhiq saja.
Contoh :
هَلْ جَاءَ صَدِيْقُكَ ؟ = Apakah temanmu telah datang?.
jawabnya adalah ya
atau tidak.
maka dari itu tidak perlu
menyebutkan Lafadz pembanding. maka tidak boleh diucapkan :
هَلْ جَاءَ صَدِيْقُكَ
أَمْ عَدُوُّكَ ؟ =
Apakah temanmu telah datang ataukah musuhmu?.
هَلْ itu disebut Bashithoh,
jika yang ditanyakan mengenai wujudnya sesuatu pada dzatnya. contoh :
هَلْ العَنْقَاءُ مَوْجُوْدَةٌ
؟ = Apakah burung Anqo'
itu ada?.
dan
disebut Murokkabah, jika yang ditanyakan mengenai wujudnya
sesuatu pada sesuatu yang lain. Contoh :
هَلْ تَبِيْضُ العَنْقَاءُ
وَتُفْرِخُ ؟ = Apakah burung Anqo'itu
bertelur dan menetas ?
مَا
berfungsi untuk menuntut
penjelasan suatu nama.
Contoh :
مَا العَسْجَدُ ؟ = Apa ‘asjad itu?. (Maka dijawab : itu adalah emas)
مَا اللُّجَيْنُ ؟ = Apa Lujain itu?.
(Maka dijawab : itu adalah perak)
atau berfungsi untuk
menanyakan tentang hakikat suatu nama benda. Contoh :
مَا الإنْسَانُ ؟ =
Apa hakikat Manusia itu? (dengan
menanyakan hakikat perorangan pada manusia, maka dijawab : bahwa perorangan
manusia tidak bisa bertambah pada hakikatnya kecuali adanya hal-hal yang baru) .
atau
berfungsi untuk menanyakan tentang keadaan(sifat) perkara yang disebutkan
beserta ma. seperti ucapanmu kepada orang yang mendatangimu :
مَا أَنْتَ ؟ = Apa
keperluanmu? (maka dijawab :”Aku berziaroh atau aku utusan dari Kholid”.
مَنْ
berfungsi untuk menuntut
kejelasan tentang orang-orang yang berakal.
Contoh :
مَنْ فَتَحَ مِصْرَ ؟ = Siapa Orang
yang menahklukan Mesir? (maka dijawab : Amr bin Ash pada zaman pemerintahan
Kholifah Umar bin Khotob).
مَتَى
berfungsi
untuk menuntut kejelasan tentang waktu yang telah lewat atau yang akan datang
(atau yang terjadi sekarang).
Contoh :
مَتى جِئتَ = Kapan Engkau datang ? (maka dijawab : Waktu sahur)
َمَتى تَذهَبُ ؟ = Kapan kamu akan pergi?(maka dijawab : sekarang atau besok).
أَيَّانَ
berfungsi
khusus untuk menuntut kejelasan masa yang akan datang. dan Lafadz أَيَّانَ digunakan pada tujuan Tahwil
(memandang besar suatu perkara).
Seperti Firman Allah :
يَسْألُ أَيَّانَ يَوْمُ القِيَامَةِ ؟ = Ia bertanya
: kapankah Hari kiamat itu ?.
كَيْفَ
berfungsi untuk menuntut
kejelasan tentang suatu keadaan.
Contoh :
كَيْفَ أَنْتَ ؟ = Bagaimana keadaanmu?.
أَيْنَ
berfungsi untuk menuntut
kejelasan tentang suatu tempat.
Contoh :
أَيْنَ تَذْهَبُ ؟ = ke mana engkau akan pergi?.
أَنى
berfungsi seperti Kaifa
contoh :
أنى يُحْيِ هذه اللهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ؟ = Bagaimana Allah
menghidupakan negeri ini setelah matinya
(Ahli Qoryah) ?. (Surat Al-Baqoroh :
259).
berfungsi seperti Min
Aina contoh (dalam Surat Ali Imron : 37) =
يَا مريم أَنى لَكِ هَذَا ؟ = Hai Maryam, Dari
manakah makanan ini?.
berfungsi seperti Mata contoh
:
أنى تَكُونُ زِيَادَةُ النَّيْلِ؟ = Kapan
bertambahnya sungai Nil?.
كَمْ
berfungsi
untuk menuntut kejelasan tentang suatu hitungan yang samar.
Contoh :
كَمْ لَبِثتمْ ؟ = Berapa lama kalian berdiam diri?.
(Surat Al-kahfi :19)
أَيّ
berfungsi
untuk menuntut perbedaan salah satu dari dua perkara yang berkumpul dalam satu
perkara yang mencakup keduanya.
Contoh :
أَي الفَرِيْقَيْنِ خَيْرٌ مَقَامًا ؟ = Manakah Dua
kelompok (Kafir dan Mu’min) yang lebih baik tempat tinggalnya ?. (Surat
Maryam : 73)
Berfungsi
juga untuk menanyakan tentang waktu, tempat, keadaan, hitungan orang yang
berakal, dll dengan memandang pada lafadz yang disandarkan.
Dan terkadang Lafadz-lafadz Istifham itu keluar dari arti
aslinya menjadi arti yang lain, yang bisa dipahami dari alur pembicaraan
(Siyaqul kalam). seperti :
a.
Taswiyah (menyamakan),
contoh :
سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأنْذَرْتَهُمْ أم لَمْ تُنْذِرْءهُمْ = sama saja
apakah kamu memperingatkan mereka atau
tidak ? (Surat Al-Baqoroh :6) .
b.
Nafi (Meniadakan). seperti:
هَلْ جَزَاءُ الإحسَانِ إلا الإحْسَانُ = Tiadalah Balasan untuk berbuat kebaikan
kecuali dengan berbuat kebaikan (Surat Ar-Rohman : 60).
c.
Ingkar (Mengingkari), contoh
:
أَغَيْرَ اللهِ تَدْعُوْنَ
؟
Apakah pada selain Allah
kalian menyembah ? (Surat Al-An’am :40)
أَلَيْسَ اللهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ ؟
Bukankah Allah itu mencukupi Hamba-Nya ? (Surat Az-Zumar :36)
d.
Amar (Perintah), contoh :
فَهَلْ أَنتم مُنْتَهُوْنَ
؟ = maka
Berhentilah !. (surat Al-Maidah : 91)
أَأَسْلَمْتمْ؟ =
maukah masuk islam ? !. (Surat Ali Imron
: 20)
e.
Nahi (Larangan), Contoh :
أَتَخْشَوْنهمْ فَاللهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ ؟
=
Apakah kalian takut pada mereka? Padahal Allah itu lebih berhak kalian takuti.
(Surat At-taubah : 13)
f.
Tasywiq (Memotifasi), contoh
:
هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ ؟
=
Apakah Aku tunjukkan pada perdagangan yang menyelamatkan kalian dari siksa yang
pedih ? (Surat Ash-Shof : 10).
g.
Ta'dhim (Mengagungkan),
contoh :
مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ
عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ؟ = Siapakah yang bisa memberi syafa’at disisi
Allah tanpa Idzin-Nya ? (Surat
Al-Baqoroh : 255)
h.
Tahkir (Menghina), contoh :
أَ هَذَا الذيْ مَدَحْتَهُ
كَثِيرًا ؟ = Apakah hanya
pada orang ini engkau sering memujinya ?.
Tamanni
(Berharap)
Adalah
: Menuntut sesuatu yang disukai yang tidak bisa diharapkan terwujudnya karena
merupakan hal yang mustahil atau sulit terjadinya.
Contoh
ucapan Penyair :
أَلاَ لَيْتَ الشَّبَابَ يَعُوْدُ يَوْمًا فَاُخْبِرُهُ بِمَا فَعَلَ المَشِيْبُ
Ingatlah, seandainya pada suatu hari masa muda itu
kembali, maka akan aku ceritakan padanya atas sesuatu yang telah dilakukan oleh
masa tua.
Dan seperti ucapan orang
miskin :
لَيْتَ لِيْ أَلْفَ
دِيْنَارٍ
Seandainya aku mempunyai uang seribu dinar !
Dan jika Perkara tersebut
bisa diharapkan terwujudnya, maka mengandai-andai perkara tersebut disebut :
Tarojji.
Contoh :
لَعَلَّ اللهُ يُحْدِثُ
بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
Semoga Allah menjadikan setelahnya perkara lain (yang
menyenangkan).
Tamanni itu memiliki 4 alat
:
Yang satu merupakan Kata
Ashli yaitu :
- لَيْتَ
Sedangkan yang tiga adalah
Kata tidak Ashli yaitu :
- هَلْ , Contoh :
فَهَلْ لَنَا مِنْ شُفَعَاءَ فَيَشْفَعُوْا لَنَا
Adakah bagi kami orang-orang yang menolong, sehingga
menolong kami. (S. Al-A’rof : 52).
- لَوْ , Contoh :
فَلَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَكُوْنَ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ
Seandainya bagi kami bisa kembali ke dunia, maka kami
akan beriman. (Surat Al-Baqoroh : 167).
- لَعَلَّ , Contoh ucapan penyair (Abbas bin Ahnaf) :
أَسْرِبَ القَطَا مَنْ
يُعِيْرُ جَنَاحَهُ - لَعَلِّيْ إِلَى مَنْ قَدْ هَوَيْتُ أَطِيْرُ
Wahai Segerombol burung Qotho’, Siapakah yang mau
meminjamkan sayapnya?, Seandainya aku bisa terbang menuju orang yang aku cintai
Karena
menggunakan adat ini dalam Tamanni, maka fi’il mudhori’ yang jatuh setelahnya
itu dinashobkan sebagai jawabnya.
Nida’
(kata Seru)
Adalah
: Menuntut menghadapnya mukhotob, dengan menggunakan huruf yang mengganti
kedudukan arti “aku memanggil”
Adat yang digunakan ada 8
yaitu :
الهمزة، أيْ، آ، آيْ
، أيَا، وَا
Hamzah
(أ) dan أيْ untuk panggilan jarak dekat,
sedangkan yang lainnya untuk panggilan jarak jauh. Dan terkadang Panggilan
jarak jauh diposisikan untuk panggilan jarak dekat, maka memanggil dengan
Hamzah (أ) dan أيْ untuk mengisarohkan bahwa karena
sangat menginginkan kehadiran mukhotob dihati Mutakallim, maka seolah-olah
mukhotob seperti orang yang hadir bersamanya, seperti ucapan Penyair
أَسُكَّانَ نَعْمَانَ الأَرَاكِ تَيَقَّنُوْا بِأَنَّكُمْ فِيْ رَبْعٍ قَلْبِيْ سُكَّانُ
Wahai Penduduk Na’man Arok (Lembah antara makkah dan
Thoif), percayalah kalian bahwa kalian itu berada pada tempat hatiku.
BAB II
DZIKR (PENYEBUTAN KATA) DAN HADZFU (PEMBUANGAN KATA)
Ketika
diharapkan memberi faidah kepada Pendengar tentang hukum yang terkandung pada
suatu lafadz, maka Lafadz manapun yang menunjukkan Arti, maka secara hukum asal
adalah dengan menyebutkan lafadz itu.
dan
lafadz manapun yang sudah diketahui dalam kalam, karena adanya petunjuk dari
kalam lain pada lafadz tersebut maka secara hukum asal adalah membuang
lafadz itu.
Apabila
bertentangan antara dua hukum asal diatas, maka tidak diganti dari tuntutan
salah satunya pada tuntuan yang lain kecuali karena faktor penyebab.
Faktor Penyebab Penyebutan
Lafadz :
1.
Menambah kemantapan
(menjadikan pengakuan bagi mukhotob) dan penjelasan pada pemahaman pendengar,
Contoh :
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى
مِنْ رَبِّهِمْ وَ أُولئِكَ هُمُ المُفْلِحُوْنَ
Mereka
adalah orang yang mendapat petunjuk dari Tuhan mereka dan Mereka adalah orang
yang bahagia.
Penjelasan :
Pada
ayat diatas disebutkan Isim Isyaroh yang kedua karena adanya tujuan tersebut
dengan memberi faidah tentang keistimewaan mereka sebagai masing-masing dari
keberuntungan diakhirot, dan mendapat petunjuk didunia, Seandainya tidak
disebutkan maka akan menimbulkan persepsi bahwa keistimewaan mereka itu secara
kompleks.
2.
Tasjil (memberi catatan
hukum/ laporan) pada pendengar hingga tidak dimungkinkan adanya pengingkaran.
seperti ketika hakim berkata kapada Saksi : "Apakah Zaid ini mengakui
bahwa ia mempunyai kewajiban begini ?" lalu saksi menjawab :
نَعَمْ ، زَيْدٌ هذا أقَرَّ بأَنَّ عَلَيْهِ كَذَا.
Ya,
Zaid ini telah mengakui bahwa ia mempunyai kewajiban begini.
Faktor Penyebab Pembuangan
Lafadz :
1.
Menyamarkan suatu perkara
pada selain mukhootob, Contoh :
أَقْبَلَ = Dia telah datang (dengan menghendaki Ali
misalnya).
Kalau
seumpama disebutkan :
أَقْبَلَ عَلِيّ ,
maka orang yang duduk disekitarnya (selain Mukhotob) akan mencari sehingga
jelas tidak ada tujuan menyamarkan.
2.
Sempitnya kesempatan,
disebabkan adakalanya karena merasa susah atau bosan, Contoh :
قَالَ لِيْ كَيْفَ أَنْتَ
قُلْتُ عَلِيْلُ سَهْرٌ دَائِمٌ وَحُزْنٌ
طَوِيْلُ
Dia berkata padaku : "Bagaimana kabarmu ? lalu aku
menjawab : "Sakit, selalu tidak tidur malam, dan susah terus"
membuang Musnad Ilaih yaitu
: أَنَا (saya), karena merasa susah.
Dan adakalanya karena takut
kehilangan kesempatan, seperti ucapan seorang pemburu ketika melihat Kijang :
غَزَالٌ = Kijang ! (ini Kijang).
Membuang Musnad Ilaih yaitu
: هَذَا (ini), karena khawatir kehilangan buruan).
3.
Menjadikan Umum serta meringkas,
contoh :
وَ اللهُ يَدْعُو إِلى دَارِ السَّلامِ
Dan
Allah mengajak menuju tempat keselamatan (pada semua Hamba-Nya).
Membuang
Maf'ul Bih yaitu : جَميع عباده (Semua hamba-Nya), karena dengan
Pembuangan tersebut itu menunjukkan keumuman.
4.
Memposisikan Fi'il Muta'adi
sebagai Fi'il Lazim karena tidak adanya hubungan tujuan dengan Ma'mul,
Contoh
:
هَلْ يَسْتَوِيْ الذِيْنَ
يَعْلَمُون وَ الذِيْنَ لاَ يَعْلَمُون اي الدين
“apakah
sama orang yang mengetahui dan tidak mengetahui (agama)”
Membuang
Maf'ul Bih yaitu : الدين (Agama), lalu pembuangan itu memposisikan
fiilnya sebagai Fi'il lazim dengan tujuan murni menetapkan fi’il pada fa’ilnya
tanpa memperhatikan keumuman atau kekhususan.
Dan
dikategorikan sebagai pembuangan, dengan menyandarkan fi'il pada na'ibul fa'il,
maka
dikatakan : Fa'il dibuang dengan alasan karena takut pada Fa'il (pelaku) Contoh
:
قُتِلَ قَتِيْلٌ = Korban itu telah dibunuh.
atau ada kekhawatiran buruk
pada Fa'il (pelaku) nya, Contoh :
شُتِمَ الأمِيْرُ = Pemimpin itu telah dihina.
atau karena sudah mengetahui Fa'il (pelaku)
nya Contoh :
وَخُلِقَ الإنْسَانُ
ضَعِيْفًا =
Manusia itu dicipatakan dalam keadaan lemah.
atau karena belum mengetahui
Fa'il (pelaku) nya, Contoh :
سُرِقَ المَتَاعُ = harta itu telah dicuri.
Atau untuk menjaga sajak
contoh :
منْ طَابَتْ سَرِيْرَتُهُ
حُمِدَتْ سِيْرَتُهُ = barang siapa yang baik hatinya,
maka akan dipuji perilakunya.
Atau menghormati pelaku,
jika pekerjaannya itu hina, contoh :
تَكَلَّمَ بِمَا لاَ
يَلِيْقُ = Ia telah berbicara dengan kata yang tidak
pantas.
Atau menghina pelaku dengan
menjaga lisan dari menyebutkannya, contoh :
قَدْ قِيْلَ مَا قِيْلَ = Telah
diucapkan sesuatu yang telah diucapkan.
BAB III
TAQDIM (MENDAHULUKAN LAFADZ) DAN
TA'KHIR (MENGAKHIRKAN LAFADZ)
Seperti telah diketahui, bahwasanya tidaklah mungkin
mengucapkan kalam dengan sekali ucapan, tetapi haruslah mendahulukan sebagian
juz dan mengakhirkan sebagian juz yang lain.
dan
Sebagian juz itu tidaklah dikatakan lebih tepat untuk didahulukan daripada yang
lain, yang disebabkan adanya kesamaan
pada semua lafadz dengan memandang dari sisi tingkatan I'tibar.
Maka
wajib mendahulukan Lafadz karena adanya Faktor penyebab taqdim. diantaranya
adalah :
1.
Menimbulkan rasa ingin tahu
pendengar pada Lafadz yang diakhirkan, jika Lafadz yang didahulukan menunjukkan
sesuatu yang langka. Contoh pada :
بَانَ أمْرُ الإلَهِ
وَاخْتَلَفَ النَّا سُ فَدَاعٍ إلَى ضَلاَلٍ
وَ هَادِيْ
والذِيْ حَارَتْ البَرِيَّةُ
فِيْهِ حَيَوَانٌ مُسْتَحْدَثٌ مِنْ جَمَادٍ
Perkara Tuhan telah jelas, sedangkan manusia itu berbeda
pendapat. Maka ada yang mengajak pada kesesatan dan ada orang yang mendapat
petunjuk.
“Suatu
makhluk yang menjadikan Manusia itu bingung (berbeda pendapat apakah ia
dibangkitkan pada hari kiamat atau tidak?) itu termasuk hewan yang diciptakan
dari sperma”
2.
Mempercepat kabar bahagia
atau kesusahan.
Contoh :
العَفْوُ عَنْكَ صَدَرَ بِهِ الأَمْرُ
= Pengampunan darimu itu berujung
pada perkara yang baik.
Dengan
ini Pendengar akan cepat memahami bahwa ucapan itu khobar yang menyenangkan.
القِصَاصُ حَكَمَ بِهِ القَاضِيْ = Hukum
Ekskusi itu telah diputuskan oleh Bapak Hakim.
Dengan ini Pendengar akan
cepat memahami bahwa ucapan itu khobar yang menyusahkan.
3.
Lafad yang didahulukan
merupakan perkara yang menimbulkan pengingkaran atau rasa heran.
Contoh :
أَبَعْدَ طُوْلِ التَجْرِبَةِ تَنْخَدِعُ بِهَذِهِ الزَّخَارِفِ
Apakah
setelah lamanya melakukan percobaan, engkau merasa tertipu dengan perhiasan
dunia ini.?
4.
Mencetuskan Umumus Salbi
(عموم السلب) atau Salbil Umum (سلب العموم).
Umumus
Salbi,
adalah mejadikan secara umum dalam meniadakan hukum pada masing-masing bagian
lafadz yang menjadi sasaran hukum.
itu
terjadi dengan mendahulukan Adat Umum (lafadz yang menunjukkan makna Umum) dari
pada Adat Nafi (lafadz yang menunjukkan peniadaan).
Seperti Sabda Nabi SAW
ketika menjawab pertanyaan Dzul Yadain " apakah Anda mengqoshor Sholat
ataukah Anda lupa, Hai Rosulullah" lalu Beliau SaW menjawab :
كُلُّ ذلك لَمْ يَكُنْ
Semuanya
itu (Lupa dan Qoshor) itu tidak ada.
Artinya
: Secara keseluruhan baik qoshor maupun Lupa (secara bersamaan) itu tidak
terjadi.
Umumus Salbi itu terjadi
dengan tiga syarat :
- Lafadz yang pertama bersamaan dengan adat umum.
- Lafadz yang kedua bersamaan dengan adat nafi.
- Lafadz yang pertama itu jika diakhirkan maka akan menjadi fail.
Salbil
Umum,
adalah meniadakan hukum umum (keseluruhan) dari beberapa bagian yang masih
global yang tidak diperinci dan tidak ditentukan apakah itu keseluruhan atau
sebagian, tetapi tetap mencakup pada dua perkara.
itu terjadi dengan
mendahulukan Adat Nafi dari pada Adat Umum.
Contoh :
لَمْ يَكُنْ كُلُّ ذلك
Semuanya
itu (Lupa dan Qoshor) tidak terjadi.
Keterangan
: bisa dipersepsikan dengan tetapnya sebagian dan ternafikan sebagian yang
lain. atau bisa dipersepsikan dengan
meniadakan kesemua bagian .
5.
Menspesifikkan (takhsis),
Contoh :
Contoh :
مَا أَنَا قُلْتُ = Aku tidak berkata.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ = Hanya kepada Engkau (Allah) kami menyembah.
Untuk
Taqdim dan Ta'khir, tidak disebutkan Faktor-faktor khusus karena jika salah
satu dari dua rukun jumlah itu didahulukan maka yang satunya pasti menjadi
akhir. karena keduanya itu saling melengkapi.
BAB IV
QOSHOR
Qoshor adalah : Mengkhususkan
suatu perkara dengan perkara yang lain dengan menggunakan metode / cara
tertentu.
Qoshor terbagi menjadi 2
bagian : Qoshor Haqiqi dan Qoshor Idhofy.
Qoshor
hakiki
adalah
: Qoshor yang cara pengkhususannya dengan memandang pada fakta dan hakikatnya,
tidak memandang pada keterkaitan dengan sesuatu yang lain. Contoh :
لاَ كَاتِبَ فِيْ المَدِيْنَة ِ إلا عَلِيٌّ
=
tidak ada Seorang Penulisspun di Madinah kecuali Ali.
Jika
memang faktanya Di Madinah hanyalah Ali saja yang menjadi seorang penulis.
Qoshor
Idhofy
adalah
: Qoshor yang cara pengkhususannya dengan memandang pada keterkaitan (hubungan)
dengan sesuatu yang lain . Contoh :
مَا عَلِيّ إلا قَائِمٌ = tidalah ali kecuali orang yang berdiri.
artinya
Ali itu Orang yang berdiri bukan duduk. Serta tidak ada tujuan meniadakan semua
sifat yang dimiliki Ali selain berdiri, seperti membaca, menulis dll. tetapi tujuannya hanyalah meniadakan sifat
duduk saja.
Dari
masing-masing qoshor Hakiki maupun Idhofi dengan memandang pada fakta dan
hakikatnya maka terbagi menjadi 2 macam yaitu : Qoshor Sifat ala Maushuf
dan Qoshor maushuf ala Sifat.
Qoshor
Sifat Ala Maushuf
Qoshor
Sifat ala Maushuf jika dinisbatkan pada Qoshor hakiki adalah :
menghukumi bahwa Sifat itu hanya dimiliki oleh maushuf dan tidak menjalar pada
Semua maushuf yang lain.
Contoh :
لاَ فَارِسَ إلا عَلِيّ = Tidak ada Penunggang kuda kecuali Ali.
Jika
memang secara faktanya Ahli penunggang kuda hanya dimiliki Ali saja.
Qoshor
Sifat ala Maushuf jika dinisbatkan pada Qoshor Idhofy adalah :
menghukumi bahwa Sifat itu hanya dimiliki oleh maushuf dan tidak menjalar pada maushuf lain ditentukan
baik satu orang atau lebih, walupun kenyataannya dimiliki oleh maushuf lain
yang tidak ditentukan.
Contoh :
Seperti Mukhotob meyakini
bahwa Ahli Penunggang kuda di Tuban adalah Ali, Ahmad, Karim, dan Abdulloh.
Lalu Mutakallim mengatakan :
لاَ فَارِسَ إلا عَلِيّ = Tidak ada Ahli Penunggang kuda kecuali Ali.
Sifat tersebut dikhususkan
hanya kepada Ali, dan menafikan Ahmad, karim dan Abdulloh. Walaupun dalam
kenyataanya Ahli Penunggang kuda juga dimiliki oleh orang lain Misalnya Zaid.
Qoshor
Maushuf Ala Shifat
Qoshor
Maushuf ala Sifat
jika
dinisbatkan pada Qoshor Hakiqi adalah : menghukumi bahwa Maushuf itu hanya
Memiliki satu sifat.
Contoh :
مَا زَيْدٌ إلا كَاتِبٌ = Tiadalah Zaid kecuali Seorang Penulis .
Hal ini Jika dikehendaki
bahwa Zaid tidak memiliki Sifat yang lain selain penulis.
Jika
tidak begitu maka hal semacam ini mustahil terjadi karena mutakalim kesulitan
menemukan beberapa sifat, sehingga memungkinkan ia menetapkan satu sifat, dan
meniadakan sifat lain secara keseluruhan.
Qoshor
Maushuf ala Shifat jika
dinisbatkan pada Qoshor Idhofi adalah : menghukumi bahwa Maushuf hanya
itu memiliki sifat itu, dan tidak memiliki sifat lain atau beberapa sifat yang
ditentukan.
Contoh
:
وَمَا مُحَمَّدٌ إلا رَسُوْلٌ =Tiadalah Nabi Muhammad kecuali Seorang Rosul.
Maushuf
dikhususkan pada satu sifat, dan menafikan sifat lain yang disangka oleh
mukhotob
Hal
ini Ketika Orang-orang meyakini bahwa Nabi Muhammad memiliki 2 sifat yaitu :
Sebagai Rosul dan Tidak mungkin wafat. Lalu Diqoshor dengan ucapan Bahwa Beliau adalah hanya Seorang Rosul. walaupun kenyataannya Sifat Kerosulan juga
dimiliki oleh selainnya seperti Nabi Nuh AS.
Dan
sekiranya dengan pemahaman adanya pengqosoran tersebut itu menunjukkan
peniadaan sifat lain (tidak mungkin wafat), maka berarti Kematian itu berhak
bagi Beliau.
Macam-Macam
Qoshor Idhofy
dengan
memandang Keadaan Mukhotob, maka Qoshor Idhofy terbagi menjadi tiga yaitu :
1.
Qoshor
Ifrod
Adalah : Qoshor yang
diucapkan kepada Mukhotob yang menyangka bahwa satu Maushuf memiliki beberapa
sifat atau Satu sifat dimiliki oleh beberapa Maushuf.
Contoh
Maushuf Ala Sifat
: ketika mukhotob menyangka bahwa Ahmad memiliki keahlian Penulis dan Penyair,
lalu mutakalim mengucapkan :
مَا زَيدٌ إلا شَاعِرٌ
= Tiadalah Zaid kecuali Seorang Penyair.
Contoh
Sifat Ala Maushuf :
ketika mukhotob menyangka bahwa yang bepergian adalah Ahmad , Amin, dan Zaid.
Lalu mutakalim mengucapkan :
مَا مُسَافِرٌ إلاّ
عَلِيّ = Tiada Orang yang bepergian kecuali Ali.
2.
Qoshor
Qolab
Adalah : Qoshor yang
diucapkan kepada Mukhotob yang menyangka kebalikan dari hukum yang ditetapkan.
Contoh
Maushuf ala Sifat
: ketika mukhotob menyangka bahwa Penyair itu adalah Ahmad bukan Zaid,lalu mutakalim mengucapkan :
مَا زَيدٌ إلا شَاعِرٌ
= Tiada Zaid kecuali Seorang Penyair
Contoh
Sifat ala Maushuf : ketika mukhotob menyangka bahwa Zaid itu
Bodoh bukan Orang Alim., lalu mutakalim mengucapkan :
مَا عَالِمٌ إلا زَيدٌ = Tiada
Orang Alim kecuali Zaid.
3.
Qoshor
Ta'yin
Adalah
: Qoshor yang diucapkan kepada Mukhotob yang menyangka salah satu perkara yang
tidak ditentukan dari dua perkara atau lebih.
Contoh
Maushuf ala Sifat
: ketika mukhotob merasa ragu dan menyangka bahwa Bumi itu memiliki dua sifat
yaitu Bergerak dan diam, tanpa menentukan salah satunya. Lalu Mutakalim mengucapkan
الأرْضُ مُتَحَرِّكَةٌ
لاَ سَاكِنَةٌ = Bumi itu bergerak bukan diam.
Contoh
Maushuf ala Sifat
: ketika Mukhotob merasa ragu bahwa Penyair itu adalah Zaid ataukah Kholid,
lalu diucapkan :
مَا شَاعِرٌ إلاّ زَيدٌ
= Tiada Penyair kecuali Zaid.
Dalam Penggunaan Qoshor itu
memiliki beberapa metode :
1.
Menggunakan adat Nafi dan
Istitsna'. Contoh :
إنْ هذا إلاّ مَلَكٌ
كَرِيْمٌ
= Tiada Orang Ini (Nabi
Yusuf) kecuali Malaikat yang mulia.
2.
Menggunakan lafadz إنّما . Contoh :
إِنَّمَا الفَاهِمُ
عَلِيٌّ = Hanyalah Orang yang faham itu Ali.
3.
Menggunakan huruf Athof : لَكِنْ ، بَلْ ، لاَ
. Contoh :
أَنَا نَاثِرٌ لاَ نَاظِمٌ = Saya itu Ahli kalam Natsar bukan Ahli Nadhom.
4.
Mendahulukan Lafadz yang
asal haknya diakhirkan. Seperti mendahulukan Maf'ul bih :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ = Hanya kepada Engkau (Allah) kami
menyembah.
BAB V
WASHOL DAN FASHOL
Washol
adalah : Mengathofkan Jumlah pada jumlah yang lain. Sedangkan Fashol adalah
Tidak Mengathofkan Jumlah pada jumlah yang lain.
Pembahasan
pada bab ini hanya terbatas pada penggunaan athof dengan wawu, karena Athof
dengan selain wawu itu tidak terjadi keserupaan.
dari masing-masing Washol
dan Fashol itu memiliki beberapa tempat.
Tempat-Tempat
yang harus di Washolkan dengan huruf Athof Wawu.
Wajib menyambung (Washol) pada dua tempat
yaitu :
1.
Apabila ada dua jumlah yang
sama dalam hall Jumlah Khobar atau Jumlah Insya' dan diantara keduanya ada sisi
persamaan yang berkumpul artinya kesesuaian yang sempurna dan tidak ada perkara
yang mencegah dari Athof.
Contoh Kalam Khobar :
إِنَّ الأبْرَارَ لَفِيْ
نَعِيْمٍ وَ إنَّ الفُجَّارَ لَفِيْ جَحِيْمٍ
Sesungguhnya orang yang Suka berbuat kebajikan, niscaya
berada di Surga Na'im dan Orang yang suka berbuat kejelekan niscaya berada di
Neraka Jahim.
Dari
kedua Jumlah tersebut sama-sama berupa kalam Khobar secara lafadz dan makna.
dan sisi persamaannya yang berkumul adalah berlawanannya antara Orang baik dan
orang jelek yang keduanya menjdi Musnad Ilaih dan antara menetapi Surga Na'im
dan Neraka Jahim yang keduanya menjadi Musnad.
Contoh Kalam Insya' :
فَلْيَضْحَكُوْا قَلِيْلاً
وَلْيَبْكُوْا كَثِيرًا
Maka sebaiknya Manusia itu sedikit tertawa dan banyak
menangis.
Dari
kedua Jumlah tersebut sama-sama berupa kalam Insya' secara lafadz dan makna.
dan sisi persamaannya yang berkumul adalah kedua Dhomir jumlah tersebut menjadi
Musnad Ilaih dan antara Sifat menangis dan tertawa.
2.
Jika meninggalkan Athof,
maka akan menimbulkan persepsi salah yang bertentangan dengan tujuannya.
Seperti Ucapanmu :
لاَ وَشَفَاهُ اللهُ = Tidak (Belum Sembuh),
dan Semoga Allah Menyembuhkannya.
sebagai
jawaban kepada orang yang bertanya :"Apalkah Ali Sudah Sembuh dari
sakit?"
maka
jika tidak diathofkan dengan wawu, maka akan menimbulkan persepsi dengan
mendo'akan jelek kepada Ali, padahal tujuannya adalah mendoakan kebaikan.
Sehinga kalau tidak
diathofkan menjadi :
لاَ شَفَاهُ اللهُ = Semoga Allah tidak Menyembuhkannya.
Tempat-Tempat
yang harus dipisah (Fashol).
Wajib memisah (Fashol) pada 5 tempat yaitu :
1.
Apabila diantara dua jumlah
ada sisi persamaan yang sempurna artinya Jumlah Kedua menjadi Badal dari jumlah
pertama .
Contoh :
أَمَدَّكُمْ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
أَمَدّكُمْ بِأَنْعَامٍ وَبَنِيْنَ
Beliau (Allah) telah membantu kalian dengan sesuatu yang
kalian kerjakan, Beliau (Allah) telah membantu kalian dengan Beberapa Hewan
ternak dan Anak Laki-laki. (Surat Asy-Syuaro’ : 132).
Atau Jumlah kedua menjadi
Bayan (Penjelas) pada Jumlah pertama. Contoh:
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ
الشَّيْطَانُ، قَالَ يَاآدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الخُلْدِ
Maka Syaitan telah menggodanya (Nabi Adam), Ia mengatakan
:"Hai Adam ! Apakah mau aku tunjukkan padamu Pohon kekekalan". (Surat
Toha : 120)
Atau Jumlah kedua menjadi
Taukid (Penguat) pada Jumlah pertama. Contoh:
فَمَهِّلِ الكَافِرِيْنَ
أَمْهِلْمُمْ رُوَيْدًا
"maka biarkanlah orang-orang kafir, biarkanlah
mereka sebentar” (Surat Ath-Thoriq : 17).
Pada pembahasan ini,
dikatakan bahwa antara dua jumlah tersebut ada Kamal ittishol
(Kesempurnaan dalam kesinambungan).
2.
Jika diantara dua Jumlah
terdapat Perbedaan yang sempurna dalam ma'na artinya berbeda dalam hal berupa
kalam khobar maupun kalam Insya'.
Seperti Ucapan Penyair :
لاَ تَسْأَلِ المَرْاَ
عَنْ خَلاَئِقِهِ فِيْ وَجْهِهِ شَاهِدٌ مِنَ
الخَبَرِ
Jangan kau Tanya Seseorang tentang perilakunya.
Didalam wajahnya terdapat Bukti adanya berita .
Seperti Ucapan Penyair lain :
وَقَالَ رَائِدُهُمْ أَرْسُوْا نُزَاوِلُهَا فَحَتْفُ كُلِّ امْرِئٍ يَجْرِيْ بِمِقْدَارِ
Pemimpin Mereka mengatakan : Bermukimlah (ditempat ini),
maka kami akan mengupayakan urusan perang. Kematian seseorang itu berjalan
sesuai Takdirnya ".
Atau Diantara kedua jumlah
tidak ada kesesuaian dalam ma'na. Contoh:
عَلِيٌّ كَاتِبٌ ، الحَمَامُ
طَائِرٌ = "Ali itu seorang Penulis.
Burung dara itu terbang"
Pada contoh tersebut tidak ada kesesuaian makna
antara : menulisnya Ali dan terbangnya
burung dara.
Pada pembahasan ini,
dikatakan bahwa antara dua jumlah tersebut ada Kamal Inqitho' ().
3.
Jika diantara Jumlah yang
kedua menjadi sebuah jawaban yang timbul dari jumlah pertama.
Seperti Firman Allah SWT :
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِيْ
، إنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ
Dan Aku tidak membebaskan Nafsuku.
Sesungguhnya Nafsu itu banyak memerintah kepada
kejelekan
( Surat Yusuf : 53) .
Pada pembahasan ini,
dikatakan bahwa antara dua jumlah tersebut ada Syibhu Kamal Inqitho' ().
4.
Jika ada jumlah yang
didahului dua jumlah yang sah untuk diathofkan pada salah satu dari dua jumlah
itu karena adanya kecocokan, dan tidak sah diathofkan pada jumlah yang satunya.
Seperti Ucapan Penyair:
وَتَظُنُّ سَلْمَى أَنَّنِيْ أَبْغِ بِهَا بَدَلاً أُرَاهَا فِيْ الضَّلاَلِ تَهِيْمُ
Dan Salma menyangka bahwa aku mencari penggantinya.
Saya menyangka bahwa Ia sedang bingung dalam kesesatan.
pada
Jumlah أُرَاهَا sah diathofkan pada jumlah :
تَظُنُّ, tetapi ini tercegah untuk diathofkan karena khawatir
menimbulkan kesalah pahaman bahwa lafadz أُرَاهَا diathofkan pada jumlah أَبْغِ بِهَا sehingga diartikan
Jumlah ketiga أُرَاهَا فِيْ الضَّلاَلِ تَهِيْمُ merupakan isi dari Persangkaan Salma .
Kesalahpahaman
yang timbul jika diathofkan
: Dan Salma menyangka bahwa : "
aku mencari penggantinya dan Saya menyangkanya
bahwa Ia sedang bingung dalam kesesatan".
Pada
pembahasan ini, dikatakan bahwa antara dua jumlah tersebut ada Syibhu Kamal
Inqitho' ().
5.
Jika tidak ada tujuan
menyamakan dua jumlah dalam satu hukum karena adanya faktor pencegah.
Seperti Firman Allah :
وَ إِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِيْنِهِمْ ، قَالُوْا إِنَّ مَعَكُمْ إنَّمَا
نَحْنُ مُسْتَهْزِئُوْنَ. اللهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ
Dan ketika Mereka (Orang Munafiq) kembali pada Pemimipin
mereka, mereka mengatakan Sesunggugnya kami orang yang menertawakan. Allah
menertawakan mereka" (Surat Al-Baqoroh :14-15)
pada
Jumlah اللهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ tidak sah
diathofkan pada jumlah : إِنَّ مَعَكُمْ, karena
akan memberikan statement bahwa lafadz اللهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ merupakan isi dari
ucapan mereka.
dan
juga tidak sah diathofkan pada jumlah قَالُوْا karena memberikan pemahaman bahwa Penghinaan
Allah kepada orang Munafiq hanya terbatas ketika mereka kembali pada Pemimipin
mereka saja.
Pada pembahasan ini,
dikatakan bahwa antara dua jumlah tersebut ada Tawashuth baina Kamalaini ().
BAB VI
IJAZ, ITHNAB, DAN MUSAWAH
Sesuatu yang terbesit dalam hati
dari suatu tujuan, maka memungkinkan untuk diungkapkan dengan tiga cara :
1.
Musawah
Adalah
: Menyampaikan tujuan yang dikehendaki dengan suatu ungkapan yang sama, artinya
ungkapan tersebut menurut batas kebiasaan manusia pada umumnya, yang mereka itu
tidak sampai pada tingkatan Sastrawan dan tidak pada tingkatan Orang yang lemah
dalam penyampaian.
Contoh :
وَإذَا رَأَيتَ الذِيْنَ
يَخُوْضُوْنَ فِيْ آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ
Dan
ketika Engkau melihat Orang yang mendalami (S. Al-An’am : 68)
2.
Ijaz
Adalah
: Menyampaikan tujuan yang dikehendaki dengan suatu ungkapan yang kurang, serta
ungkapan itu sudah menepati pada tujuan.
Contoh :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya Pekerjaan itu hanya sah dengan adanya niat.
dan :
قِفَا نَبْكِ مِنْ ذِكْرَى
حَبِيْبٍ وَمَنْزِلِ
"Sungguh Berhentilah ! kami menangis karena ingat
sang kekasih dan rumahnya"
Apabila
tidak mencapai pada Tujuan, maka dikatakan sebagai Ihlal. seperti
ucapan Penyair :
وَالعَيْشُ خَيْرٌ فِيْ ظِلاَ لِ النُّوْكِ مِمَّنْ عَاشَ كَدَّا
"Kehidupan didalam naungan kebodohan itu lebih baik
dari pada
kehidupan susah "
yang dikehendaki Penyair
adalah :
أنّ العَيْشَ الرغدَ
فِيْ ظِلاَلِ النُّوْكِ خَيْرٌ مِنَ العَيْثِ الشاق فِيْ ضِلاَلِ العَقْلِ
"Kehidupan yang Sejahtera didalam
naungan kebodohan itu lebih baik dari pada kehidupan susah dalam naungan akal
"
Bait diatas dikatakan tidak
mencapai tujuan yang dikehendaki, karena Kata (الرغد) "Sejahtera" pada Bagian pertama bait dan kata (فِيْ ضِلاَلِ العَقْلِ)
"dalam naungan Akal" pada bagian kedua bait tidak bisa diketahui dari
kalam.
3.
Ithnab.
Adalah : Menyampaikan tujuan
yang dikehendaki dengan suatu ungkapan yang panjang, serta adanya faidah.
Contoh :
رَبِّ إِنِّي وَهَنَ
العَظْمُ مِنِّيْ وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا
Wahai Tuhanku, sesungguhnya Aku telah Lemah tulangku, dan
telah penuh ubanku.
artinya : Saya sudah tua.
Apabila
dalam penambahan kalimat tersebut, tidak
terdapat faidah, serta Ziyadah itu tidak menjadi kebutuhan dalam tujuan, maka
dikatakan sebagai Tathwil.
Seperti
ucapan Ady bin Zaid Al-Ubbady mengatakan kepada Nu'man bin Mundir sambil
mengingatkan Musibah yang terjadi pada Judzaimah Al-Abrosy dan Zaba':
وَقَدَّدَتْ الأدِيْمَ لِرَاهِيْشِهِ وَألفَى قَوْلَهَا كَذِبًا وَمَيْنًا
Dan Dia (Zaba')
telah memotong kulit pada urat nadinya (Judzaimah), dan Dia (Judzaimah)
mendapatkan Ucapannya (zaba') itu Dusta
dan Bohong
lafadz
كَذِبًا dan َمَيْنًا memiliki arti yang sama,
maka menggunakan salahsatunya sudah cukup. dan tambahan kata tersebut juga
tidak dibutuhkan karena tujuannya sudah
sah dengan menggunakan salah satunya . maka adanya penambahan lafadz tersebut
dikatakan sebagai Tathwil yang tanpa faidah.
Apabila
dalam penambahan kalimat tersebut, tidak
terdapat faidah, tetapi Ziyadah itu menjadi ketentuan, maka dikatakan sebagai Hasywu.
Seperti ucapan Zuhair bin
Abi Salma yang ia ucapkan pada Perdamaian yang terjadi antara Qois dan Dzibyan
:
وَأَعْلَمُ عِلْمَ اليَوْمِ وَالأمْسِ قَبْلَهُ وَلَكِنَّنِيْ عَنْ عِلْمِ مَا فِيْ غَدٍ عَمِيْ
Dan Saya mengetahui seperti pengetahuan hari ini dan
kemarin, sebelum hari ini,
dan Tetapi saya tidak tahu akan pengetahuan dihari
besok"
lafadz
قَبْلَهُ menunjukkan arti yang sama dengan =الأمْسِ ( kemarin), dan tambahan
itu nyata sebagai tambahan karena tidak sah mengathofkannya pada lafadz اليَوْمِ .
Faktor penyebab adanya Ijaz
adalah :
1.
Mempermudah hafalan.
2.
Mempercepat pemahaman.
3.
Terbatasnya tempat.
4.
Menyamarkan
5.
merasa bosan mengucapkan.
Faktor penyebab Ithnab
adalah :
1.
Memantapkan tujuan atau
makna.
2.
Menjelaskan perkara yang
dikehendaki.
3.
Menguatkan.
4.
Menolak salah persepsi.
KLASIFIKASI
IJAZ
Ijaz
itu adakalanya dengan Ibarot yang ringkas tapi mengandung arti yang luas, dan
ini merupakan Sasaran Ahli Sastra (Balaghoh) dan dengan inilah tingkatan
kemampuan mereka menjadi terpaut.
Ijaz ini disebut : Ijaz
Qoshor.
Contoh :
وَلَكُمْ فِيْ القِصَاصِ
حيَاةٌ
"Dan bagi kalian dalam Qishos ada Kehidupan"
(S. Al-Baqoroh :179).
dan
adakalanya membuang satu kalimat atau satu jumlah atau lebih serta adanya
qorinah yang menunjukkan lafadz yang terbuang.
Ijaz ini disebut : Ijaz
Hadzfu.
Contoh membuang satu kalimah
la (لاَ):
فَقُلْتُ يَمِيْنَ اللهِ أَبْرَحُ قَاعِدًا وَلَوْ قَطَّعُوْ رَأْسِيْ لَدَيْكِ وَأَوْصَالِيْ
Maka saya mengatakan : "Demi Allah, Saya akan
senantiasa duduk, walaupun mereka memotong-motong kepalaku dan sendi-sendiku
dihadapanmu"
Contoh membuang satu Jumlah
:
وَإِنْ يُكَذِّبُوْكَ
فَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ أي فتأسّ واصبر
Dan ketika mereka mendustakanmu, maka sungguh Para Rosul
sebelum kamu juga didustakan (Maka ta'atlah dan sabarlah)"
Contoh membuang lebih dari
satu jumlah.
فَأَرْسِلُوْنِ . يُوْسُفُ
أيُّهَا الصِّدِّيقُ"
Maka Utuslah aku (kepadanya). Yusuf, hai orang yang amat
dipercaya" (S. Yusuf : 45 – 46)
Pada ayat tersebut membuang
Jumlah :
أرْسِلُوْنِيْ إلَى
يُوْسُفَ لأسْتَعْبِرَهُ الرُّؤْيَا فَفَعَلُوْا فَأتَاهُ وَقَالَ لَهُ يُوْسُفُ
Utuslah aku kepada Yusuf, supaya aku meminta ta’bir mimpi
itu. Lalu mereka mengerjakannya, lalu pelayan itu mendatanginya dan berkata :
“Hai Yusuf”
KLASIFIKASI
ITHNAB
Ith nab itu bisa terjadi
dengan beberapa perkara yaitu :
1.
Menyebutkan Lafadz khusus
setelah lafadz umum.
Contoh :
إجْتَهِدُوْا فِيْ دُرُوْسِكُمْ
وَاللُّغَةِ العَرَبِيَّةِ.
Bersungguh-sungguhlah
pada pelajaran kalian dan bahasa arab.
Faidahnya : Mengingatkan
atas keutamaan lafadz khusus itu, seolah-olah karena keutamaannya ia seperti
jenis yang berbeda pada lafadz sebelumnya.
2.
Menyebutkan lafadz Umum
setelah lafadz khusus.
Contoh :
رَبِّ اغْفِرْلِيْ وَلِوَالِدَيَّ
وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُوْمِنًا وَلِلْمُوْمِنِيْنَ وَالمُوْمِنَاتِ
Wahai
tuhanku, ampunilah aku, kedua orang tuaku, orang yang masuk rumahku dengan
beriman, dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. (S. Nuh : 28)
3.
Menjelaskan setelah
menyamarkan.
Contoh :
أ. أَمَدَّكُمْ بِمَا تَعْمَلُوْنَ أَمَدّكُمْ
بِأَنْعَامٍ وَبَنِيْنَ
Beliau (Allah) telah membantu kalian dengan sesuatu yang
kalian kerjakan, Beliau (Allah) telah membantu kalian dengan Beberapa Hewan
ternak dan Anak Laki-laki. (Surat Asy-Syuaro’ : 132).
4.
Mengulangi lafadz karena
adanya tujuan, seperti panjangnya pemisah.
Contoh Ucapan Penyair :
وَ إِنَّ امْرَأً دَامَتْ مَوَاثِقُ عَهْدِهِ عَلَى مِثْلِ هَذَا إِنَّهُ لَكَرِيْمٌ
Sesungguhnya seseorang yang jaminan perjanjiannya itu
tetap seperti ini, maka sesungguhnya ia orang yang mulia”
Pada
bait tersebut lafadz إِنَّ diulang diawal dan diakhir bait, supaya kalam tidak
kelihatan terputus.
5.
I'tirodh (yaitu :
Menyisipkan lafadz antara bagian-bagian satu jumlah atau antara dua jumlah yang
masih berkaitan ma’na, dikarenakan
adanya sebuah tujuan).
Contoh Ucapan Penyair (A’uf
bin Mahlam Asy-Syaibany yang mengadukan kelemahannya):
إِنَّ الثَّمَانِيْنَ وَبُلِّغْتَهَا
قَدْ أَحْوَجَتْ سَمْعِيْ إِلَى تُرْجُمَانِ
Sesungguhnya 80 tahun usiaku, dan engkau telah berusia
segitu pendengaranku membutuhkan orang yang menjelaskan”.
Lafadz وَبُلِّغْتَهَا dikatakan Jumlah I’tirodhiyyah.
6.
Tadzyil (Mengiringi suatu
jumlah dengan jumlah yang lain yang mengandung pada ma’nanya dengan tujuan
menguatkannya.
Tadzyil
itu adakalanya berlaku seperti periahasa, karena berbedanya makna dan tidak
membutuhkan pada kalam sebelumnya.
Contoh Firman Allah :
قُلْ جَاءَ الحَقُّ
وَزَهَقَ البَاطِلُ ، إنَّ البَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا
Katakanlah (Hai Muhammad) telah datang perkara hak
(Islam), dan telah hancur perkara bathil (kekufuran), dan sesungguhnya
kebathilan itu pasti akan binasa (S. An-Nahl : 57).
adakalanya
tidak berlaku seperti periahasa, karena membutuhkan pada kalam sebelumnya.
Contoh Firman Allah :
ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ
بِمَا كَفَرُوْا وَهَلْ نُجَازِيْ إلاَّ الكَفُوْرَ
Itu (banjir bandang) kami balas mereka atas sesuatu yang
telah mereka kufuri. Dan kami tidak membalas (siksa) kecuali pada kekufuran.
(Surat
As-Saba’ : 17)
7.
Ihtiros yaitu : mendatangkan
pada kalam yang memberi persepsi berbeda dari tujuan, dengan kalam lain yang
menolak keslah pahaman itu.
Contoh Ucapan Penyair
(Torfah bin Abd) :
فَسَقَى دِيَارَكَ غَيْرَ مُفْسِدِهَا صَوْبُ الرَّبِيْعِ وَدِيْمَةٌ تَهْمِيْ
Hujan pada musim semi menyirami rumahmu tanpa merusakkan
dan Hujan terus menerus itu membanjiri.
Jika tidak disebutkan lafadz
غَيْرَ مُفْسِدِهَا maka secara muthlaq akan dipahami lebih umum atau mendo’akan
kejelekan dengan robohnya rumah, lalu didatangkanlah lafadz tersebut untuk
menolak pehaman yang salah.
ILMU BAYAN
Definisi
Ilmu
Bayan adalah : Ilmu yang membahas tentang Tasybih (penyerupaan), Majaz,
dan kinayah (konotasi).
TASYBIH
Adalah : Menyerupakan suatu perkara dengan perkara yang
lain dalam satu sifat dengan menggunakan alat
penyerupaan, karena adanya suatu tujuan.
Perkara
yang pertama (Kata yang diserupakan) disebut Musyabbah, sedangkan
perkara yang kedua (Kata yang digunakan untuk menyerupakan) disebut Musyabbah
bih, Sifat disebut Wajah Syabah (Sisi Persamaan), dan
Alat penyerupaan itu berupa huruf Kaf dan lain-lain.
Contoh :
العِلمُ كَالنورِ فِيْ
الهِدَايَةِ= "Ilmu itu seperti Cahaya
dalam memberi petunjuk"
العلمُ =
Musyabbah النورِ = Musyabbah Bih,
فِيْ الهِدَايَةِ = Wajah Syabah كاف =
Adat Tasybih
Dalam
Tasybih (Penyerupaan) itu berhubungan dengan tiga pembahasan yaitu :
- Rukun tasybih.
- Pembagian tasybih.
- Tujuan dari Tasybih.
Pembahasan pertama
RUKUN TASYBIH
Rukun Tasybih ada 4 yaitu :
1.
Musyabbah (Lafadz yang diserupakan
dengan perkara lain)
2.
Musyabbah
bih (Lafadz yang digunakan untuk menyerupakan)
keduanya disebut dua sisi
tasybih,
3.
Wajah
syabah (Sisi
Persamaan).
4.
Adat
Tasybih.
Keterangan
:
Wajah
Syabah
adalah : Sifat tertentu yang digunakan untuk menyamakan antara Musyabbah dan
Musyabbah bih. Seperti Hidayah (Memberi petunjuk) merupakan sifat yang terdapat
dalam ilmu dan cahaya.
Adat
Tasybih
adalah : Lafadz yang menunjukkan arti penyerupaan seperti lafadz كَاف (Seperti), كأنّ (Seolah-olah), dan lafadz lain yang searti dengan
keduanya.
Lafadz كاف terletak menyandingi
Musyabbah bih, berbeda dengan كأنّ , yang
menyandingi musyabbah. Seperti Ucapan Penyair :
كَأَنَّ الثرَايَا رَاحَةٌ تَشْبُرُ الدُّجَا لِتَنْظُرَ طَالَ اللَّيْلُ أَمْ قَدْ تَعَرَّضَا
Seolah-olah bintang Tsuroya (Kumpulan bintang pada buruj
Tsur) itu Angin malam yang mengira-ngirakan gelapnya malam, supaya engkau
melihat apakah malam itu masih lama atau sudah tampak.
Lafadz
كأنّ itu berfaidah
Tasybih, jika khobarnya berupa Isim
Jamid, Contoh :
كَأنّ خَالِدًا أَسَدٌ = Kholid itu seperti Harimau.
dan
Berfaidah Syak (ragu-ragu) jika khobarnya berupa Lafadz Musytaq. contoh
:
كَأنكَ فَاهِمٌ = Seolah-olah kamu
itu faham.
Dan terkadang disebutkan
Fi'il yang mempunyai arti Tasybih, seperti Firman Allah pada surat Ad-Dahr :
19
وَإذَا رَأيْتَهُمْ
حَسِبْتَهُمْ لُؤْلُؤًا مَنْثُوْرًا
dan Ketika kamu melihat mereka (Bidadari di syurga), maka
engkau akan mengira mereka Mutiara yang tersebar.
dan
Ketika Adat Tasybih dan Wajah Syabah itu dibuang, maka disebut : Tasybih
Baligh, Contoh pada Firman Allah surat An-Naba’ : 10
وَجَعَلْنَا اللّيْلَ لِبَاسًا أي كاللباس في الستر
"Dan Kami (Allah) telah menjadikan
malam sebagai selimut (Seperti selimut dalam menutupi)"
PEMBAHASAN KEDUA
PEMBAGIAN TASYBIH
Dengan
memandang pengambilan Wajah Syabah, maka Tasybih terbagi menjadi dua
macam yaitu : Tasybih Tamtsil dan Ghoiru Tamtsil.
A.
Tasybih
Tamtsil
Adalah
: Tasybih yang wajah syabahnya diambil dari lafadz yang banyak.
Seperti
: menyerupakan Bintang Tsuroya (kumpulan beberapa bintang pada Buruj Tsur)
dengan Sedompol buah Anggur yang berbunga, dengan wajah syabahnya : sama dalam keadaannya yang tampak ketika
berkumpulnya benda putih yang bundar, yang kecil ukurannya).
B.
Tasybih
Ghoiru Tamtsil
Adalah
: Tasybih yang wajah syabahnya tidak diambil dari lafadz yang banyak.
Seperti : menyerupakan
Sebuah bintang dengan Uang dirham ( dengan wajah syabahnya : sama dalam
bentuk bundarnya)
dan Dengan memandang wujud dan tidaknya
Wajah Syabah, tasybih terbagi
menjadi dua yaitu : Tasybih Mufassol dan Mujmal.
A.
Tasybih
Mufashol
Adalah
: Tasybih yang wajah syabahnya disebutkan.
Seperti Ucapan Penyair :
وَثَغْرُهُ فِيْ صَفَاءٍ وَأَدْمُعِيْ كَاللألِيْ
" Gigi serinya dan Air mataku bagaikan Mutiara
dalam hal sama jernihnya"
Kata "Gigi seri"
dan "Air mata" diserupakan dengan "Mutiara"
dengan sisi persamaan : "Sama-sama jernihnya"
B.
Tasybih
Mujmal
Adalah
: Tasybih yang wajah syabahnya tidak disebutkan.
Seperti :
النحوُ فِيْ الكَلاَمِ كَالمِلْحِ فِيْ الطَّعَامِ
"Ilmu Nahwu pada Kalam itu seperti
Garam pada makanan"
Kata
" Ilmu Nahwu pada Kalam" diserupakan dengan kata "garam"
dengan sisi persamaan : "Sama-sama merupakan perkara yang pokok untuk
menjadikan kesempurnaan".
Dengan
memandang Adat Tasybih, maka Tasybih terbagi menjadi dua yaitu Mua'kkad
dan Mursal.
A.
Tasybih
Mu'akkad
Adalah : Tasybih yang Adat
tasybihnya dibuang. Seperti :
هُوَ بَحْرٌ فِيْ الجودِ = Dia itu Lautan
dalam kedermawanannya.
B.
Tasybih
Mursal
Adalah : Tasybih yang Adat
tasybihnya disebutkan. Seperti :
هُوَ كَالبَحْرِ كَرَمًا = Dia itu bagai
Lautan dalam kedermawanannya.
dan termasuk Tasybih
Mu'akkad adalah Tasybih yang Musyabbah
bihnya disandarkan (Didhofahkan) pada Musyabbah. Contoh :
وَالرِّيْحُ تَبْعَثُ بِالغُصُوْنِ وَقَدْ
جَرَى ذَهَبُ الأَصِيْلُ عَلَى لُجَيْنِ
المَاءِ ِ
Angin itu menggerakkan cabang pepohonan, dan tampak
emasnya waktu sore pada peraknya air.
ذَهَبُ الأَصِيْلُ = Waktu sore yang diserupakan dengan emas, dengan wajah syabah :
sama warna kuningnya.
لُجَيْنِ المَاءِ ِ = Air yang diserupakan dengan perak dengan wajah syabah : sama
dalam jernihnya.
PEMBAHASAN KETIGA
TUJUAN TASYBIH
Tujuan dari Tasybih itu
adakalanya :
1.
Menjelaskan kemungkinan
wujudnya Musyabbah. Seperti Ucapan Abu Thoyyib Al-Mutanabby :
فإنْ تَفُقِ الأنَامَ وَأنْتَ مِنْهُمْ فَإنّ المِسْكَ بَعْضُ دَمِ الغَزَالِ
Ketika kamu mengungguli kemuyaan semua Makhluk,
padahal kamu dari sebagian mereka maka Minyak misik itu
sebagian dari darah Kijang
Ketika
Penyair mengklaim bahwa Orang yang dipuji itu berbeda dari asalnya sebab adanya
beberapa keistimewaan yang menjadikannya sebagai hakikat yang berbeda, lalu
penyair membuat Argumen/hujjah dengan menyerupakannya dengan Minyak misik yang
asalnya darah kijang untuk menolak adanya pengingkaran atas wujudnya musyabbah
tersebut karena merupakan hal yang langka.
Wajah
syabahnya
adalah : Sama-sama keluar dari jenis asalnya.
2.
Menjelaskan keadaan
Musyabbah. Contoh :
كَأنك شَمْسٌ وَالمُلُوْكُ كَوَاكِبُ إذَا طَلَعَتْ لَمْ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ
Seolah-olah Engkau adalah Matahari, Dan Para Raja adalah
bintangnya, Ketika Matahari telah muncul, maka satu bintangpun tiada terlihat.
Penyair
menyerupakan Mukhotob seperti Matahari, karena menjelaskan keadaan mukhotob
yang terlihat. Wajah syabahnya adalah : Sama-sama keadaanya terlihat.
dan
menyerupakan Para raja seperti bintang karena menjelaskan keadaanya yang tidak
terlihat saat berada disisi Mukhotob.
Wajah
syabahnya
adalah : Sama-sama keadannya tidak terlihat ketika berada disisinya.
3.
Menjelaskan Jumlah keadaan
Musyabbah. Contoh :
فِيْهَا اثْنَتَانِ وَأَرْبَعُوْنَ حَلُوْبَةً سُوْدًا كَخَافِيَةِ الغُرَابِ الأسْحَمِ
Dalam Rombongan itu ada 42 ekor unta perah yang hitam,
Ia bagaikan Bulu sayap burung gagak yang hitam.
Penyair
menyerupakan 42 unta yang hitam seperti Bulu sayap Burung gagak karena
menjelaskan kadar warna hitamnya, ketika pendengar hanya mengetahui kadar
keadaan musyabbah bih (sayap burung gagak)
Wajah
syabahnya
adalah : Sama-sama terdapat warna hitam.
4.
Menetapkan Keadaan
Musyabbah. Contoh :
إن القُلُوبَ إذَا تَنَافَرَ وُدُّهَا مِثلُ الزُّجَاجَةِ كَسْرُهَا لا َيُجْبَرُ
Sesungguhnya Hati itu jika telah hilang rasa cintanya,
Maka bagai kaca yang saat pecah tiada bisa disambung
lagi.
Penyair
menyerupakan Hilangnya cinta di hati seperti pecahnya kaca dengan tujuan
mengukuhkan sebab sulitnya rasa cinta
itu kembali seperti semula.
Wajah
syabahnya
adalah : Sama-sama sulit kembali pada keadaan semula.
5.
Menghiasi Musyabbah. Contoh :
سَودَاءُ واضِحَةُ الجَبِيْـ ـنِ كَمُقْلَةِ الظَّبْيِ الغَرِيْرِ
Wanita yang hitam yang terlihat dahinya,
bagai biji mata biawak yang indah.
Penyair
menyerupakan Hitamnya wanita seperti biji mata biawak dengan tujuan
memujinya, sebab warna biji mata
merupakan keindahan.
Wajah
syabahnya
adalah : Sama-sama memiliki keindahan.
6.
Menghina Musyabbah. Contoh :
وإذا أشَارَ مُحَدِّثا
فَكَأنهُ قِرْدٌ يُقَهْقِهُ أَوْ عَجُوْزٌ
تَلْطِمُ
Ketika Ia berisyarat sambil berbicara, maka ia seperti
Kera yang
tertawa terbahak-bahak atau Nenek-nenek yang menampar
pipinya.
Wajah
Syabahnya
adalah : Sama-sama memiliki perbuatan jelek.
Dan
terkadang tujuan itu kembali pada Musyabbah bih jika antara musyabbah dan
Musyabbah bih di balik, contoh :
وَبَدَا الصَّبَاحُ
كَأنّ غُرَّتَهُ وَجْهُ الخَلِيْفَةِ حِيْنَ
يُمْتَدَحُ
Dan telah tampak waktu pagi, Seolah-olah Cahayanya
bagaikan wajah Kholifah (Al-Makmun bin Harun Ar-Rosyid) saat Ia dipuji.
Wajah
Syabahnya
adalah : Sama-sama terangnya.
Asalnya
dari Lafadz غُرَّتَهُ sebagai Musyabbah bih dan
lafadz وَجْهُ الخَلِيْفَةِ
sebagai Musyabbah , karena secara asal Cahaya Waktu pagi itu lebih terang dari
padawajah Kholifah, lalu dibalik seolah-olah wajah kholifah lebih terang dari
pada cahaya waktu pagi.
Tasybih semacam ini disebut
: Tasybih Maqlub.
MAJAZ
Majaz
adalah : Lafadz yang digunakan pada selain makna aslinya, karena adanya
keterkaitan makna disertai Indikator yang mencegah dari pemahaman arti aslinya.
Seperti :
Lafadz
الدُّرَرِ diartikan sebagai :
"Beberapa kalimah Fashihah" dalam ucapanmu :
فُلانٌ يَتَكَلَّمُ بِالدُّرَرِ = Dia
sedang berbicara dengan Kata-kata fasih .
lafadz itu digunakan pada
selain arti aslinya, karena Arti aslinya adalah Beberapa Mutiara, lalu dirubah
menjadi arti " Beberapa kalimah Fashihah" sebab diantara arti
keduanya masih ada kaitan dalam hal keindahan.
dan Perkara yang mencegah
dalam mengartikan makna aslinya adalah Qorinah Lafadziyah : يَتَكَلَّمُ (Berbicara).
dan Lafadz أصابعُ diartikan sebagai :
"Beberapa ujung jari" dalam Firman Allah SWT :
يَجْعَلُوْنَ أصَابعَهُمْ
فِيْ آذانِهِمْ = Mereka menjadikan Ujung jari mereka pada
telinga mereka.
lafadz
itu digunakan pada selain arti aslinya, karena Arti aslinya adalah Beberapa
Jari tangan, lalu dirubah menjadi arti " Beberapa Ujung jari tangan"
sebab diantara arti keduanya masih ada kaitan bahwa Ujung jari merupakan bagian
dari jari. Kemudian Kull (keseluruhan jari) digunakan untuk arti Juz
(Sebagian jari).
dan
Qorinah yang mencegah dalam mengartikan makna aslinya adalah tidak
memungkinkannya memasukkan keseluruhan jari pada telinga.
Dalam Majaz, apabila kaitan antara ma'na majazi dan ma'na
asli ada keserupaan, seperti pada contoh pertama, maka disebut : Majaz
isti'aroh. Jika tidak ada keserupaan, seperti pada contoh kedua maka
disebut Majaz mursal.
Majaz Isti'aroh
Adalah
: Majaz yang keterkaitan makna Aslinya dengan makna yang digunakan, itu ada
keserupaan.
Seperti Firman Allah SWT :
كِتَابٌ أنْزَلْنَاهُ إلَيْكَ لِتخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى
النُّوْرِ
"Ini
adalah Kitab yang telah Kami turunkan kepadamu supaya engkau mengeluarkan
manusia dari kegelapan (Kesesatan) menuju Cahaya (Hidayah) .( S. Ibrahim : 1)
Arti Asli Lafadz الظُّلُمَاتِdan النُّوْرِ adalah Gelap dan Terang.
Arti
Majaz Lafadz الظُّلُمَاتِdan النُّوْرِ adalah الضلال (Kesesatan) dan الهُدَى (petunjuk
).
Lafadz الظُّلُمَاتِdan النُّوْرِ pada ayat tersebut digunakan
pada selain arti aslinya (makna Majaz).
dan
kaitan antara makna keduanya adalah adanya
keserupaan antara "Arti Kesesatan dan kegelapan" dengan wajah
syabah : "sama-sama tidak mengetahui sesuatu", atau
"Hidayah dan Cahaya" dengan wajah syabah: "sama-sama
mengetahui sesuatu".
dan Qorinah yang mencegah
untuk mengartikan pada makna aslinya adalah Lafadz : كِتَابٌ أنْزَلْنَاهُ إلَيْكَ لِتخْرِجَ النَّاسَ .
Ijro'
Isti'aroh pada Lafadz الظلمات adalah : Lafadz الضلالة diserupakan dengan lafadz الظلمات dengan
wajah syabah : sama-sama tidak mendapat petunjuk pada keduanya.
Ijro'
Isti'aroh pada Lafadz النور adalah : Lafadz الهدَى diserupakan dengan lafadz
النور dengan wajah syabah : sama-sama mendapat petunjuk pada
keduanya.
Asal
dari majaz isti'aroh adalah : Tasybih yang dibuang salah satu dari Musyabbah
atau Musyabbah bih, wajah syabahnya, dan adat tasybihnya.
Musyabbah
disebut : Musta'ar Lah, dan Musyabbah bih disebut : Musta'ar Minhu.
Pada Contoh diatas, dapat
disimpulkan :
Musta'ar
lah (Musyabbah) adalah : Lafadz الضلال dan الهدى
.
Musta'ar Minhu (musyabbah
bih) adalah : Makna asli Lafadz الظلام dan النور .
sedangkan lafadz الظلمات dan
النور disebut : Musta'ar (Lafadz yang digunakan
untuk Majaz Isti'aroh).
Pembagian
Majaz Isti'aroh
Majaz Isti'aroh dengan memandang penyebutan
Musyabbah atau Musyabbah bih, terbagi menjadi dua macam yaitu :
a.
Isti'aroh
Musorrohah.
Adalah
: Majaz yang dijelaskan dengan menyebut lafadz Musyabbah bih saja. Seperti Ucapan Penyair :
فأمطَرَتْ لُؤْلُؤًا
مِنْ نَرْجِسٍ وَسَقَتْ وَرْدًا وَعَضَّتْ
عَلَى العُنَّابِ بِالبَرَدْ
Dia (Seorang wanita) telah meneteskan Mutiara dari Bunga
narsis, dan membasahi bunga mawar, dan menggigit buah anggur dgn Hujan es.
Maksudnya
adalah : Dia (Seorang wanita) telah meneteskan Air mata bak Mutiara dari
matanya bak Bunga narsis, dan menyirami pipinya laksana bunga mawar, dan
menggigit ujung jarinya laksana buah anggur dengan giginya laksana Hujan es.
Penyair menggunakan majaz
isti'aroh pada Kata-kata tersebut :
Musyabbah
|
Musyabbah Bih
|
Wajah Syabah
|
|||
Air Mata
|
الدموع
|
Mutiara
|
اللؤلؤ
|
sama jernihnya
|
في الصفاء
|
Mata
|
العيون
|
Bunga Narsis
|
النرجس
|
sama terkumpulnya warna hitam dan putih
|
في أجتماع السواد
والبياض
|
Pipi
|
الخدود
|
Bunga Mawar
|
الورد
|
sama merahnya
|
في الحمرة
|
Ujung jari
|
الأنامل
|
Buah Anggur
|
العناب
|
sama bentuknya
|
في الشكل
|
Gigi
|
الأسنان
|
Hujan Es
|
البرد
|
sama putih bersihnya
|
في بياض كل مع النصاعة
|
Majaz
diatas dengan menyebutkan Musyabbah bihnya, maka disebut majaz Isti'aroh
Musorrohah.
b.
Isti'aroh
Makniyyah.
Adalah
: Majaz yang Musyabbah bihnya dibuang
dan ditunjukkan dengan sesuatu dari perkara Lazimnya (Perkara yang
menetapinya).
Seperti Firman Allah :
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ
الذلِّ مِنَ الرَّحْمَة
Dan Rendahkan sayap burung pada Kedua orangtuamu dengan
kasih sayang. (Surat Al-Isro’ : 24)
Allah
membuat majaz isti'aroh Lafadz الطائر (Burung)
untuk lafadz الذلِّ (tunduk) kemudian membuang
Lafadz الطائر (Burung)
dan menunjukkan lafadz yang dibuang dengan sesuatu lazimnya yaitu Lafadz :
الجناح
(Sayap).
Ijro'nya adalah :
Kata
"الذل : tunduk" (Sebagai Musyabah) diserupakan
dengan kata "
الطائر :
Burung" (Sebagai Musyabah bih), kemudian menggunakan arti
lafadz Musyabbah bih (Burung) untuk arti lafadz Musyabbah (الذل).
lalu kata Burung itu dibuang, dan Kata "Burung" yang
terbuang ditunjukkan dengan sesuatu yang menetap padanya yaitu Sayap,
dengan cara isti’aroh makniyyah.
Adapun
Penetapan lafadz الجناح pada lafadz الذلِّ. , ini oleh Ulama' Ahli Balaghoh Salaf dan Al-Khotib dikatakan
sebagai Isti'aroh Tahyiliyyah.
Perbandingan
Contoh lain :
Seperti Ucapan Al-Hajjaj
pada salah satu khutbahnya :
إنِّيْ لأَرَى رُؤُوسًا
قَدْ أَيْنَعَتْ
Sesungguhnya aku benar-benar melihat buah (arti asli :
kepala)
yang sudah matang.
Ijro'nya adalah :
Kata
"رؤوسا: kepala " (Sebagai Musyabah) diserupakan
dengan kata "ثمرات : buah" (Sebagai Musyabah bih),
asalnya :
إنِّيْ لأَرَى رُؤُوسًا كالثّمراتِ قَدْ أَيْنَعَتْ
kemudian
menggunakan arti lafadz Musyabbah bih (yaitu buah) untuk arti lafadz Musyabbah
(رُؤُوسًا).
lalu kata الثّمراتِ itu dibuang, dan ditunjukkan
dengan sesuatu yang menetap padanya yaitu matang, dengan cara
isti’aroh makniyyah.
Majaz
Isti'aroh dengan memandang lafadz yang digunakan sebagai majaz (Al-Musta’ar)
, terbagi menjadi 2 macam yaitu :
1.
Isti'aroh
Ashliyyah
Adalah
Majaz yang lafadz Musta'arnya berupa selain Isim Mustaq , baik berupa isim a'in
(dzat) atau Isim ma'na.
Contoh
Isim A'in (Dzat)
: Seperti menggunakan Lafadz الظلام untuk arti الضلال (kesesatan) dan Lafadz النور untuk arti الهدى
(petunjuk).
Contoh
Isim ma'na
:
هَذَا قَتلٌ = Ini adalah pukulan keras.
Ijro'nya : Lafadz قَتلٌ diserupakan dengan ضَرْبٌ شَدِيْدٌ (pukulan keras) dengan
wajah syabah : sama-sama sangat menyakitkan.
Kemudian
arti Musyabbah bih (pukulan keras) digunakan untuk Lafadz قَتلٌ , karena lafadz قَتلٌ merupakan isim Jamid
untuk suatu pekerjaan yang menghilangkan
nyawa.
2.
Isti'aroh
Taba'iyyah
Adalah
Majaz yang Musta'arnya berupa Kalimah Fi'il, Huruf dan Isim yang Mustaq.
Contoh kalimah Fi'il,
Seperti :
رَكِبَ فُلانٌ كَتِفَيْ غَرِيْمِهِ = Fulan
menaiki dua Pundak orang yang dihutangi.
Maksudnya : Fulan sungguh
menetapkan tanggungan kepada orang yang dihutangi.
Dikatakan sebagai isti’aroh
taba’iyyah karena Must’arnya berupa fi’il madhi yaitu : رَكِبَ.
Ijro'nya :
Menurut
Madzhab Salaf :
Lafadz اللزوم
(Penetapan)
diserupakan dengan الركوب (naik) dengan
wajah syabah : sama-sama menguasai dan memaksa.
Kemudian
Lafadz Musyabbah bih (menaiki) dijadikan majaz istiaroh dengan arti Musyabbah اللزوم (pemaksaan) lalu dari masdar
الركوب yang bermakna اللزوم dimustaqkan menjadi kalimah fi’il رَكِبَ
bermakna لزم.
Menurut
Madzhab Al-Ishom:
Lafadz اللزوم
(Penetapan)
diserupakan dengan الركوب (naik) dengan
wajah syabah : sama-sama menguasai dan memaksa.
Kemudian
Lafadz Musyabbah bih (menaiki) dijadikan majaz istiaroh dengan arti Musyabbah اللزوم (pemaksaan) lalu
diberlakukan tasybih dari kedua masdar tersebut yang berarti peristiwa muthlaq
tanpa dibatasi dengan zaman menjadi kalimah fi’il yang dibatasi dengan zaman
lampau, lalu lafadz رَكِبَ digunakan dengan makna لزم.
Contoh Kalimah Huruf pada
Firman Allah dalam Surat Al-Baqoroh : 5 =
أولَئك عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ = Mereka
(Orang-Orang yang beriman) itu tetap atas hidayah dari Tuhan mereka.
Maksudnya : Mereka itu
menetapi dari mendapatkan hidayah yang sempurna.
Lafadz
على berfaidah
Isti'la', maka Ijro'nya : Muthlaqnya Hubungan antara Orang yang mendapat
petunjuk dan Sebuah petunjuk diserupakan
dengan Muthlaqnya hubungan antara Lafadz عَلَى yang
berfaidah Isti'la' dan lafadz yang diIsti'lai dengan wajah syabah : sama-sama adanya
ketetapan. lalu diberlakukan penyerupaan dari arti keseluruhan (Kull)
untuk arti sebagian(Juz) karena عَلَى
memiliki arti yang banyak.
Kemudian Lafadz على dari
juz Musyabbah bih digunakan untuk arti
juz Musyabbah.
Dan Contoh Kalimah Isim
seperti Ucapan Penyair :
وَلَئِنْ نَطَقْتُ بِشُكْرِ بِرِّكَ مُفْصِحًا فَلِسَانُ حَالِيْ بِالشِّكَايَةِ أَنْطَقُ
Jika
aku berkata sambil menjelaskan dengan mensyukuri kebaikanmu, maka Lisan
keadaanku lebih mengucapkan (menunjukkan) dengan keluhan.
Maksudnya :
Ijro'nya : Lafadz الدلالة الواضحة (petunjuk
yang jelas) diserupakan dengan lafadz النطق (Ucapan) dengan wajah syabah
: sama-sama menjelaskan tujuan dan diterima dalam hati. lalu lafadz النطق (Ucapan)
digunakan untuk arti Lafadz الدلالة الواضحة (petunjuk
yang jelas). Lalu dari masdar النطق yang bermakna الدلالة الواضحة itu
dimustaqkan menjadi isim tafdhil yang berupa : أَنْطَقُ
bermakna أدلّ.
Majaz
Isti'aroh dengan memandang lafadz yang berkaitan dengandua sisi tasybih,
terbagi menjadi 3 macam
1.
Isti'aroh
Murosyahah.
Adalah : Majaz yang
disebutkan Mulaim (lafadz yang berkaitan) dengan Musyabbah bih.
Contoh
: أولَئِكَ الذِيْنَ اشْتَرَوُا الضَّلاَلَةَ
بِالهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ
Dan
Mereka adalah orang yang mengganti kesesatan dengan petunjuk. maka perdagangan
mereka tidak akan mendapat keuntungan
(surat Al-baqoroh : 16).
Lafadz الإشتراء digunakan untuk arti الإستبدال (mengganti)
Ijro'nya : Mengganti perkara hak (hidayah)
dengan perkara Bathil (kesesatan) dan lebih memilih kesesatan, itu
diserupakan dengan Lafadz الإشتراء yaitu membeli /mengganti
harta dengan harta lain. dengan wajah syabah : meninggalkan perkara yang
dibenci (tidak dibutuhkan) dan mengganti perkara yang disenangi.
Lalu
Lafadz الإشتراء digunakan untuk arti musyyabah (Mengganti
perkara). Qorinahnya adalah mustahilnnya diartikan membeli kesesatan dengan
petunjuk.
Dan menyebutkan lafadz الربح (keuntungan) dan lafadz التجارة
(berdagang) yang merupakan lafadz yang
menyesuaikan dengan kata الإشتراء (membeli) disebut sebagai Tarsyih
.
2.
Isti'aroh
Mujarodah.
Adalah
: Majaz yang disebutkan lafadz yang berekaitan dengan Musyabbah.
Contoh
: فَأذَاقَها اللهُ لِبَاسَ
الجُوْعِ والخَوْفِ
"maka
Allah mencicipkan mereka dengan pakaian kelaparan dan ketakutan".(S.
An-Nahl :112)
Lafadz
اللباس digunakan untuk arti sesuatu yang meliputi manusia ketika lapar
dan takut dari bahaya.
Ijro'nya : Kata " sesuatu yang meliputi manusia ketika
lapar dan takut dari bahaya" itu diserupakan dengan kata :
"Pakaian" dengan wajah syabah
: sama-sama tercakup dalam sesuatu. Kata pakaian terdapat pada Orang
yang memakai, sedangkan Lapar dan takut terdapat pada orang yang merasakannya.
Menyebut
Lafadz الإذاقة disebut Tajrid pada Istiaroh Tasyrihiyyah.
karena yang dikehendaki adalah : الإصابة (menimpakan).
Lafadz
الإذاقة merupakan lafadz yang
menyesuaikan dengan Musyabbah yaitu : kelaparan dan pucat.
3.
Isti'aroh
Muthlaqoh.
Adalah
: Majaz yang tidak disebutkan Mula'im (lafadz yang berkaitan) pada salah satu
dari musyabbah atau Musyabbah bih.
Contoh
: يَنْقُضُوْنَ عَهْدَ
اللهِ
"Mereka
(orang-orang kafir) telah membatalkan janji Allah ".
(S.
Ar-Ro'du:25)
Ijro'nya : Kata " (إبطال العهد ) Membatalkan Janji " itu
diserupakan dengan kata : "(فك طاقات الحبل ) merusak
Ikatan tali " dengan wajah
syabah : sama-sama tidak memberi manfaat. Lalu kata yang menunjukkan
Arti Musyabbah bih (merusak Ikatan tali) yaitu: (النقض ) digunakan untuk Arti Musyabbah
yaitu : membatalkan janji.
Catatan : Tidak bisa
dikategorikan sebagai Tarsyih dan Tajrid kecuali
setelah sempurnanya Majaz isti'aroh dengan adanya Qorinah.
MAJAZ MURSAL
Majas
Mursal
adalah : Majaz yang hubungan ma'nanya tidak ada keserupaan.
Alaqoh dalam Majaz mursal
ada 8 perkara yaitu :
1.
Sababiyah (Sebab).
Contoh
: عَظُمَتْ يَدُ فُلانٍ عِنْدِيْ
"Tangan
Si Fulan besar Disisiku ".(Ni'mat yang sebab mendapatkannya dengan tangan)
Mengucapkan kata Tangan
dengan arti Ni'mat dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan
penyebab dengan menghendaki arti
akibatnya {إطلاق السبب على أرادة
المسبب}
2.
Musabbabiyyah (akibat)
Contoh
: أَمْطَرَتْ السَّمَاءُ
نَبَاتًا
"Langit
itu memberi curah hujan" (hujan yang mengakibatkan timbulnya tanaman)
Mengucapkan
kata نَبَاتًا (Tanaman) dengan
arti Hujan dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan Akibat
dengan menghendaki arti penyebabnya {إطلاق
المسبب على أرادة السبب}
3.
Juz'iyyah (Sebagian)
Contoh
: أرْسَلْتُ العُيُوْنَ
لِتَطَّلِعَ عَلَى أحْوَالِ العَدُوِّ
"Saya
mengutus Intel, supaya mengawasi gerak-gerik musuh"
Mengucapkan
kata العُيُوْنَ (beberapa mata)
dengan arti Intel (mata-mata) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan
sebagian dengan menghendaki arti keseluruhan{إطلاق
الجزء على أرادة الكلّ}
Karena Mata merupakan
bagian dari Seseorang.
4.
Kulliyah (Keseluruhan)
Contoh
: وَيَجْعَلُوْنَ أَصَابِعَهُمْ
فِيْ آذانِهِمْ
"Mereka
menjadikan jari-jari mereka (ujung jari) pada telinganya "
Mengucapkan
kata الأصابع (Jari tangan)
dengan arti الأنامل (Ujung jari) dikatakan sebagai Majaz
Mursal dari Mengucapkan keseluruhan dengan menghendaki artisebgian {إطلاق الكل على أرادة الجزء}
Karena Ujung jari merupakan
bagian dari Jari.
5.
Memandang Asalnya (pada masa
sebelumnya).
Contoh
: وَآتُوا اليَتَامَى
أموالهُمْ أي البَالِغِيْن
"Dan
berikanlah kepada Anak- anak yatim (Orang Baligh) atas beberapa hartanya"
Mengucapkan kata اليتامى (Anak-anak yatim)
dengan arti البالغين (Orang Baligh) dikatakan sebagai Majaz
Mursal dari Mengucapkan Sifat sebelumnya dengan menghendaki arti Sifat yang
sedang terjadi {إطلاق إطلاق ما كان
على أرادة ما يكون}
6.
Memandang sesuatu yang akan
terjadi.
Contoh
: إنِّيْ أرانِيْ أعصر
خمرا أي عِنبًا
"Saya
meyakini bahwa saya sedang memeras arak
(anggur)."
Mengucapkan
kata خمر (arak) dengan
arti عنب (Anggur) dikatakan
sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan bentuk yang akan terjadi dengan
menghendaki arti bentuk sebelumnya
{إطلاق ما يكون على أرادة ما كان}
7.
Mahalliyah (tempat)
Contoh
: قَرَّرَ المَجْلِسُ
ذالك أي أهْلُهُ
"Majlis
(Ahli Majlis) itu telah menetapkan keputusan"
Mengucapkan
kata المجلس (Majlis) dengan
arti اهل المجلس (Ahli Majlis) dikatakan
sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan tempat dengan menghendaki arti Orang
yang menempati
{إطلاق المكان على أرادة الحالّ فيه}
8.
Perkara yang menempati /
Keadaan (Halliyah).
Contoh
: فَفِي رَحْمَةِ اللهِ
هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْن أي جنته
"Dan
dalam Rohmat Allah (Syurga-Nya), mereka kekal didalamnya"
Mengucapkan kata رَحْمَةِ اللهِ (Rohmat Allah)
dengan arti جنته
(Surga Allah) dikatakan sebagai Majaz Mursal dari Mengucapkan
Perkara yang menempati dengan menghendaki arti Tempat.
{إطلاق الحالّ على أرادة المحلّ}
MAJAZ MUROKKAB
Majaz
Murokkab
adalah
Lafadz yang tersusun, yang digunakan bukan pada arti aslinya, dengan disebabkan
adanya hubungan makna dengan tidak adanya penyerupaan.
Seperti
Jumlah Khobariyyah digunakan sebagai jumlah Insya' dalam ucapan Penyair :
Contoh
: هَوَايَا مَعَ الرَّكْبِ
اليَمَانِيْنَ مُصْعِدُ جَنِيْبٌ وَجُثْمَانِيْ
بِمَكَّةَ مُوْثَقُ
"Kekasihku
beserta Rombongan Orang yaman itu menjauh. Dan Ragaku di Makkah itu terikat
".
Tujuan
pada bait ini bukanlah menceritakan, tetapi memperlihatkan kesusahan dan
kesengsaraan.
Contoh lain dengan tujuan
memperlihatkan kelemahan:
رَبِّ إنِّيْ لاَ أسْتَطِيْعُ
اصْتِبَارًا فَاعْفُ عَنِّيْ يَا مَنْ يَقِيْلُ
العَثَارَ
"Wahai
Tuhanku, aku tidak mampu bersabar, maka ampunilah aku wahai Dzat yang
mengampuni kesalahan".
Contoh lain dengan tujuan
memperlihatkan kebahagiaan :
كُتِبَ إسْمِيْ بَيْنَ النَّاجِحِيْنَ
"Namaku
telah tertulis diantara orang-orang sukses".
Begitu juga Jumlah Isya’
yang digunakan untuk makna jumlah khobar, Contoh Sabda Nabi SAW :
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ
فَلْيَتَبَوَّأْ مَعْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa yang mendustakan
aku, maka hendaklah ia menempati tempatnya dari neraka”.
Karena فَلْيَتَبَوَّأْ yang dkehendaki adalah lafadz يَتَبَوَّأُ
Apabila
Hubungan maknanya ada keserupaan, maka dikatakan sebagai Majaz Isti'aroh
Tamtsiliyyah.
Seperti yang diucapkan
kepada orang yang ragu-ragu terhadap suatu perkara.
Contoh
: إِنِّيْ أَرَاكَ تُقَدِّمُ
رِجْلاً وَتـُؤَخِّرُ أُخْرَى
"Saya
melihatmu mendahulukan kaki yang satu sekali
dan mengakhirkan kaki yang lain sekali".
Ijro'nya : Ilustrasi keraguan terhadap suatu perkara itu
diserupakan dengan orang yang berdiri, lalu ingin pergi. pada satu kesempatan
Ia ingin pergi dengan mendahulukan kaki yang satu. dan pada kesempatan lain ia
mengakhirkan kaki yang lain.
Lalu menggunakan lafadz
Musyabbah bih (تُقَدِّمُ رِجْلاً وَتـُؤَخِّرُ أُخْرَى) untuk
arti musyabbah (Keraguan).
MAJAZ AQLI
Majaz
Aqli
Adalah : Mengisnadkan Lafadz
Fi'il atau yang bermakna fi'il pada selain Lafadz yang menjadi Ma'mulnya
menurut keinginan Mutakalim secara Dhohir karena adanya hubungan makna.
Seperti ucapan penyair :
أَشَابَ الصَّغِيْرَ
وَأَفْنَى الكَبِيْـ ـرَ كَرُّ الغَدَاةِ
وَمَرُّ العَشِيِّ
"Berjalannya
siang dan malam telah membuat Anak kecil menjadi tua, dan Orang tua menjadi mati".
Mengisnadkan kata Tua
(beruban) dan Mati pada Kata "Berjalannya siang dan malam"
merupakan Isnad pada selain Ma'mulnya. Karena
Dzat yang menjadikan tua (beruban) dan Dzat yang menjadikan mati secara
hakikatnya adalah Allah SWT.
Dan
termasuk Majaz Aqli yaitu
a.
Mengisnadkan Lafadz Mabni
Ma'lum kepada maf'ulnya.
Contoh : عِيْشَةٌ رَاضِيَةٌ
"Kehidupan
yang diridhoi".
kata "
رَاضِيَةٌ"
yang merupakan Lafadz mabni ma'lum, di isnadkan pada Dhomir yang kembali pada
lafadz " عِيْشَةٌ" dikatakan Majaz Aqli karena Asalnya : عِيْشَةٌ رَاضٍ صَاحِبُهَا
إيَّهَا (Kehidupan yang Pemiliknya meridhoinya).
b.
Mengisnadkan Lafadz Mabni
Majhul kepada Failnya.
Contoh :
سَيْلٌ مُفْعَمٌ = "Banjir yang
diluapkan".
kata
"مُفْعَمٌ" yang merupakan Lafadz mabni Majhul, di isnadkan pada
Dhomir yang kembali pada lafadz "سَيْلٌ" dikatakan Majaz Aqli karena Asalnya : سَيْلٌ مُفْعِمٌ الوَادِيَ
(Banjir yang memenuhi
lembah).
c.
Mengisnadkan kepada Masdhar.
Contoh :
جَدَّ جِدُّهُ = "Kesemangatannya
itu sunguh-sungguh".
kata "جَدَّ " di
isnadkan pada Masdhar (maf'ul Muthlaq ) dikatakan Majaz Aqli karena Asalnya : جَدَّ شَخْصٌ جِدًّا
(Orang itu sunguh
bersemangat).
d.
Mengisnadkan kepada Isim
Zaman.
Contoh :
نَهَارُهُ صَائِمٌ = "Waktu
siangnya itu berpuasa".
kata
"صَائِمٌ " di
isnadkan pada Isim Zaman dikatakan Majaz Aqli karena Asalnya : هُوَ صَائِمٌ نَهَارَهُ (Dia berpuasa di
siang harinya.)
e.
Mengisnadkan kepada Isim
Makan.
Contoh :
نَهْرٌ جَارٍ = "Sungai itu
mengalir".
kata
"جَارٍ " di isnadkan pada Isim makan dikatakan Majaz Aqli karena
Asalnya : مَاءُ النَّهْرِ جَارٍ (Air bengawan itu mengalir.)
f.
Mengisnadkan kepada Sebab.
Contoh :
بَنَى الأمِيْرُ المَدِيْنَةَ = "Gubernur itu
membangun Kota".
kata "
بَنَى "
diisnadkan pada Sebab,dikatakan Majaz Aqli karena Asalnya: بَنَى العُمالُ بسَببِ أمر الأمِيْرِ المَدِيْنَةَ
(Para pegawai membangun
kota sebab perintah Gubernur.)
Dari
keterangan tersebut, Bisa disimpulkan bahwa Majaz Lughowi terjadi pada Lafadz
yang digunakan pada selain arti aslinya, sedangkan Majaz Aqli terjadi dengan
adanya mengisnadkan pada selain ma'mul aslinya.
KINAYAH
Kinayah
adalah
: Lafadz yang dikehendaki kelaziman makna aslinya, serta bisa diartikan dengan
makna yang lain.
Contoh :
طَوِيْلُ النَّجَادِ = "Panjang
Sarung pedangnya"
maksudnya adalah Dia itu
Panjang postur tubuhnya.
Yang
dikehendaki dari lafadz طَوِيْلُ النَّجَادِ adalah
bisa diartikan dengan Makna hakiki (Panjang Sarung pedangnya) dan Makna
Lain (Panjang postur tubuhnya), karena tidak adanya Qorinah yang
mencegah untuk mengartikan pada makna Hakiki, berbeda dengan Majaz. karena pada
Majaz itu tidak boleh diartikan dengan Makna asli beserta Makna majaz, karena
tujuan yang diharapkan adalah makna Majaz saja dengan adanya Qorinah yang
mencegah mengartikan pada makna Asli.
Dan inilah perbedaan antara
Kinayah dan Majaz.
Kinayah, dengan memandang
Makni alaih ( Lafadz yang digunakan sebagai kinayah) terbagi menjadi 3
macam :
1.
Kinayah yang Makni alaihnya
berupa isim sifat.
Contoh :
Seperti Ucapan Khonsya'
(memuji saudaranya yang bernama Sokhr):
طَوِيْلُ النَّجَادِ رَفِيْعُ العِمَادِ كَثِيْرُ الرَّمَادِ إذَا مَا شَتَى
"Dia(Saudara
Laki-lakinya) itu Panjang sarung pedangnya, Luhur tiangnya, Banyak debunya
ketika Ia bersedekah"
Ia menghendaki bahwa
Saudaranya itu postur tubuhnya Tinggi, Seorang Tuan, Yang Dermawan.
Tinggi sarung pedangnya
diartikan sebagai : "Tinggi postur tubuhnya"
Luhur Tiangnya diartikan
sebagai : "Seorang Tuan (Sayyid)"
dari
keduanya digunakan sebagai kinayah yang dekat dengan makna aslinya.
Banyak debunya diartikan
sebagai : "Dermawan"
Kata
ini digunakan sebagai kinayah yang Jauh dari makna aslinya, karena : Banyak
debunya berarti Banyak masaknya, Banyak masaknya berarti banyak makanannya,
banyak makanannya berarti banyak Orang yang memakannya, banyak Orang yang
memakannya berarti Banyak tamunya, Banyak tamunya berarti banyak sedekahnya
(Dermawan).
2.
Kinayah yang Makni alaihnya
berupa Nisbat.
Contoh :
المَجْدُ بَيْنَ ثَوْبَيْهِ والكَرَمُ تَحْتَ رِدَائِهِ
"Kemulyaan
itu diantara Dua bajunya, Kedermawanan itu dibawah selendangnya"
Pada
contoh tersebut, Tetapnya kemulyaan dan kederwanan seseorang itu dijadikan
kinayah dengan kata-kata diatas karena Wujudnya dua sifat tersebut tidak
telepas dari Orang yang disifati, dan
tidak ada Orang yang disifati kecuali Orang yang memiliki dua pakaian dan
selendang itu.
Maka
dari itu Contoh diatas memberikan faidah Nisbat tetapnya sifat kemulyaan dan
kedermawanan pada Orang yang disifati sebagaimana Tetapnya Dua pakaian dan
selendang pada Pemiliknya.
3.
Kinayah yang Makni alaihnya
tidak berupa Sifat dan Nisbat.
Contoh : Seperti Ucapan
Penyair :
الضَّارِبِيْنَ بِكُلِّ اَبْيَضَ مُخْدِمٌ وَالطَّاعِنِيْنَ مَجَامِعَ الأَضْغَانِ
"(Saya
memuji) Orang-orang yang memukul dengan setiap pedang putih mengkilat yangTajam
, dan Orang-orang yang menusuk dengan tombaknya di Beberapa tempat kumpulnya
sifat kebencian".
Penyair
membuat kinayah dengan kata " Tempat berkumpulnya sifat kebencian" yang berarti Hati.
Seolah-olah ia mengatakan :
"dan Orang-orang yang menusuk hati lawan" karena menghilangkan nyawa
dengan cepat.
Kata
" Hati" itu bukan merupakan sifat dan Nisbat, tetapi Kata yang
disifati.
Pada
Kinayah, Jika Antara makna Asli dengan Makna Kinayah itu Penghubungnya Banyak,
maka Disebut Talwikh.
Seperti Contoh diatas : Banyak
debunya berarti Banyak masaknya, Banyak masaknya berarti banyak makanannya,
banyak makanannya berarti banyak Orang yang memakannya, banyak Orang yang
memakannya berarti Banyak tamunya, Banyak tamunya berarti banyak sedekahnya
(Dermawan).
Jika Antara makna Asli
dengan Makna Kinayah itu Penghubungnya Sedikit dan Masih samar, maka Disebut Ar-Romzu.
Contoh :
هُو سَمِيْنٌ رِخْوٌ = "Dia itu
orang yang gendut yang Lembek"
Maksudnya adalah Dia itu
Orang yang Bodoh dan Idiot.
Arti
kinayah ini penguhubungnya yaitu : Gemuk dan lembek berarti Lebar Tengkuknya
(Jithok: Jawa), dan Lebar tengkuknya berarti Bodoh dan Idiot.
Jika
Antara makna Asli dengan Makna Kinayah itu Penghubungnya Sedikit atau memang
tidak ada dan Jelas, maka Disebut Ima' dan Isyaroh.
Contoh Penghubungnya sedikit
dan jelas :
أوَ مَا رَأَيْتَ المَجْدَ
أَلْقَى رَحْلَهُ فِيْ آلِ طَلْحَةَ ثُمَّ
لَمْ يَـتحَوَّلِ
"Apakah
Engkau tidak melihat kemulyaan yang menempati rumahnya pada keluarga Tholhah,
lalu kemulyaan itu tidak berpindah (dari mereka)"
Penjelasan :
Pada
bait tersebut dibuat kinayah tentang keberadaan mereka itu mulia, dengan satu
penghubung serta jelas.
Karena
bertempatnya kemuliaan ditumahnya serta tidak berpindah itu merupakan makna
majazi, dengan menyerupakan “kemuliaan” dengan “seorang laki-laki yang mulia
yang memiliki tempat yang ia khususkan bagi seseorang yang ia kehendaki” dengan
wajah syabah sama –sama adanya rasa senang bertemu.
Lalu
Lafadz musyabbah bih digunakan untuk musyabbah, lalu musyabbah bih dibuah dan
ditunjukkan sesuatu kelazimannya yaitu menempati rumah, dengan menjadikan majaz
Tahyiliyah.
Penghubung
makna kinayahnya adalah : Kemulyaan yang diserupakan dengan seseorang yang
memiliki rumah merupakan sifat yang sudah pasti adanya orang yang disifati dan
tempat, dan perantara inilah dikatakan jelas.
Contoh yang tidak adanya
Penghubungnya tapi jelas :
عَرِيْضُ القَفَا = "Lebar tengkuknya (Jithok : Jawa)"
Kinayah
untuk arti Bodoh, karena lebar tengkuknya sudah jelas menunjukkan arti bodoh
menurut adat.
Disini ada jenis dari
kinayah yang dituju pemahamannya pada
runtutan kalam (siyaqul Kalam), yang disebut : Ta'ridh, yaitu :
mengarahkan kalam pada satu sisi makna.
Seperti Ucapanmu terhadap
Orang membuat dhoror pada Manusia.
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ يَنْفَعُهُمْ
"Sebaik-baiknya
manusia adalah Orang yang memberikan kemanfaatan Terhadap Mereka."
ILMU BADI'
Ilmu
Badi'
adalah
: ilmu untuk mengetahui metode memperindah kalam yang sesuai dengan tuntutan
keadaan.
Aspek
ini, jika terarah pada membuat indahnya makna disebut dengan : Muhassinat
Al-Ma'nawiyyah.
Jika
terarah pada membuat indahnya Lafadz disebut dengan : Muhassinat
Al-Lafdziyah.
Muhassinat Al-Ma'nawiyyah.
1.
Tauriyyah; yaitu menyebutkan lafadz
yang mempunyai arti dua yaitu Makna Dekat yang langsung dipaham dari kalam
(karena seringnya digunakan) dan Ma'na Jauh, sebagai Arti yang diharapkan,
dengan adanya faidah sebab ada Qorinah yang masih samar.
Seperti pada Firman Allah :
وَهُوَ الَّذِيْ يَتَوَفَّاكُمْ
بِالَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ
"Dan
Allah Dzat yang mengambil ruh kalian dimalam hari (ketika tidur) dan mengetahui
dosa yang kalian kerjakan di siang hari ."
(S. Al-An’am :60)
Dengan
menghendaki pada Lafadz جَرَحْتُمْ dengan makna jauhnya adalah : mengerjakan
dosa. dan makna dekatnya adalah : melukai , tetapi makna ini tidak
dikehendaki, karena adanya Qorinah Firman Allah pada akhir ayat yang berbunyi :
ثُمَّ يُنَبِّئُكمْ
بما كنتم تعلمون.
Dan seperti ucapan Penyair :
يَا سَيِّدًا حَازَ لُطْفًا لَهُ البَرَايَا عَبِيْدُ
أَنْتَ الحُسَيْنُ وَلَكِنْ جَفَاكَ فِيْنَا يَزِيْدُ
Wahai
Tuan yang memperoleh Kasih sayang, yang semua Makhluq tunduk padanya. Engkau
adalah Sayid Husain (bin Ali bin Abi Tholib), tetapi kesengsaraanmu pada kami
bertambah"
Arti
qorib lafadz يَزِيْدُ adalah : Nama orang,(yazid bin Muawiyah bin Abu sufyan) karena dengan
menyebut Nama Husain itu menetapkan bahwa Yazid sebagai Nama, tetapi Makna ini
tidak dikehendaki.
Arti
Ba'id yang dikehendaki Penyair dari lafadz يَزِيْدُ adalah : Fi'il Mudhori' dari
lafadz " زَادَ "
yang bermakna : “bertambah”
2.
At-Thibaq; ialah Mengumpulkan antara
dua arti yang berlawanan.
At-Thibaq ada 2 yaitu :
At-Thibaq Ijab dan At-Thibaq salby.
At-Thibaq Ijab adalah : Dua
lafadz yang berlawanan yang tidak berbeda dalam hal ijab dan salab.
Contoh pada Firman Allah:
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا
وَهُمْ رُقُوْدٌ
Dan
engkau menyangka bahwa mereka itu terjaga, padahal mereka itu tidur.(Surat
Al-Kahfi : 18)
Lafadz
رُقُوْدٌ (tidur) dikatakan Tibaqul Ijab, karena يقْظَة (terjaga) itu mengetahui dengan panca indra, sedangkan tidur
sebaliknya. dan diantara keduanya saling
berlawanan.
At-Thibaq
Salab adalah : Dua lafadz yang berlawanan yang berbeda dalam hal ijab dan
salab, seperti mengumpulkan dua kalimah fi’il dari satu masdhar, lafadz yang
satu dibuat musbat (tanpa nafi), sedangkan yang kedua dibuat manfi (dengan
nafi).
Contoh pada Foirman Allah :
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ، يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًا مِنَ الحَيَاةِ الدُّنْيَا
Tetapi
kebanyakan manusia itu tidak mengetahui (sesuatu yang disediakan bagi mereka
diakhirot), mereka mengetahui perkara yang jelas dari kehidupan dunia.(Surat
Ar-Rum : 6-7)
Mengumpulkan
Lafadz يَعْلَمُوْنَ (mengetahui) dan Lafadz لا يَعْلَمُوْنَ (tidak mengetahui) dikatakan Tibaqul Salbi,
karena lafadz لا يَعْلَمُوْنَ (tidak mengetahui) itu manfi,
sedangkan Lafadz يَعْلَمُوْنَ (mengetahui) itu mutsbat.
3.
Muqobalah; yaitu : Mendatangkan
dengan dua makna atau lebih lalu mendatangkan dengan kata yang berlawanan ma'na
tersebut secara urut.
Contoh pada Firman Allah :
فَلْيَضْحَكُوْا قَلِيْلاً
وَليَبْكُوْا كَثِيْرًا
Maka
sebaiknya mereka sebaiknya tertawa dengan sedikit dan menangis dengan banyak
(Surat Al-Baqoroh : 83).
Pada
ayat tersebut, Lafadz الضحك (tertawa) berlawanan dengan kata البكاء (menangis) dan Lafadz القليل
(sedikit) berlawanan dengan kata الكثير
(banyak).
4.
Menjaga
Perbandingan yaitu Mengumpulakan suatu perkara, dan lafadz
yang sesuai dengannya bukan kata yang berlawanan.
Contoh :
وَالطّلُّ فِيْ سِلْكِ الغُصُوْنِ كَلُؤْلُؤ رَطْبٌ يُصَافِحُهُ النَّسِيْمُ فَيَسْقُطُ
وَالطَّيْرُ يَقْرَأُ وَالغَدِيْرُ صَحِيْفَةٌ وَالرِّيْحُ تَكْتًبُ وَالغَمَامُ يُنَقِّطُ
hujan
gerimis pada cabang pepohonan itu bagai Mutiara yang basah yang ditiup oleh
semilirnya angin lalu jatuh ke tanah.
Burung sedang membaca
(berkicau), dan Genangan air itu bagai kertas, dan angin sedang menulis , dan Mendung membuat titik.
Pada Bait pertama terkumpul
lafadz النسيم، الغصون، الطلّ ,
kesemuanya merupakan lafadz yang saling berhubungan.
Begitu juga Pada Bait kedua
terkumpul lafadz الطير، الغدير، الريح، الغمام,
kesemuanya juga merupakan lafadz yang saling berhubungan.
dan juga lafadz القراءة، الصحيفة، الكتابة،
النقط, kesemuanya juga merupakan lafadz yang saling berhubungan.
5.
Istikhdam, yaitu : Menyebut lafadz
dengan suatu ma'na dan mengembalikan dhomirnya dengan ma'na yang lain, atau
mengembalikan dua Dhomir dengan yang dikehendaki dhomir kedua selain yang
diharapkan pada Dhomir yang pertama.
Contoh Pertama:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barang siapa diantara kalian menemui bukan (hilal
Romadhon) maka haruslah berpuasa (pada bulan itu).
Lafadz
الشهر memiliki dua arti yaitu arti hakiki (Bulan) dan arti Majaz
(hilal). Pada ayat tersebut Lafadz الشهر
diartikan dengan makna majazi (hilal), lalu dhomir pada فَلْيَصُمْهُ itu di kembalikan pada Lafadz الشهر yang
diartikan dengan makna hakiki (bulan).
Contoh kedua :
فَسَقَى الغَضَا وَالسَّاكِنِيْهِ وَإِنْ هُمُوْ شَبُّوْهُ بَيْنَ جَوَانِحِيْ وَضُلُوْعِيْ
Maka
Allah menyirami Pohon Godho dan orang-orang yang menempatinya (Tempat yang
ditumbuhi pohon Godho), walaupun mereka menyalakannya (Api) diantara tulang
dadaku (hati) dan tulang punggungku.
Lafadz
الغضا memiliki 2 arti yaitu arti hakiki (Sejenis Pohon) dan arti
Majaz Mursal (tempat) dan arti majaz isti'aroh (Api).
Pada syair tersebut Lafadz الغضا diartikan dengan makna hakiki (pohon), lalu dhomir pada الساكنيه itu di kembalikan pada Lafadz الغضا yang
diartikan dengan makna majaz mursal (tempat) dan dhomir pada شبّوه itu di kembalikan pada Lafadz الغضا yang
diartikan dengan makna majaz Istia'roh (Api) .
6.
Al-Jam'u; yaitu : Mengumpulkan dua
lafadz atau lebih pada satu hukum. Seperti Ucapan Penyair :
إِنَّ الشَّبَابَ وَالفَرَاغَ وَالجِدهْ مَفْسَدَةٌ لِلْمَرْءِ أَيَّ مَفْسَدَةْ
Sesungguhnya
sifat muda, pengangguran, merasa cukup itu penyebab berbagai kerusakan pada
seseorang.
Penyair mengumpulkan
sifat-sifat tersebut dalam satu hukum.
7.
Tafriq; yaitu : Memisahkan antara
dua perkara yang sama dari satu jenis. Contoh pada ucapan Penyair (wathwath):
مَا نوالُ الغَمَامِ
وَقْتَ رَبِيْعٍ كَنَوَالِ الأمِيْرِ يَوْمَ
سَخَاءٍ
Tiada pemberian hujan pada musim semi itu seperti
pemberian Pemerintah pada waktu makmur.
Penyair
membedakan antara dua bentuk pemberian, padahal pemberian itu merupakan satu
jenis yang sama.
8.
Taqsim; (mengklasifikasikan)
Pada Taqsim itu adakalanya
Menyempurnakan klasifikasi suatu perkara
Seperti ucapan Zuhair bin
Abi Salma yang ia ucapkan pada Perdamaian yang terjadi antara Qois dan Dzibyan
:
وَأَعْلَمُ عِلْمَ اليَوْمِ وَالأمْسِ قَبْلَهُ وَلَكِنَّنِيْ عَنْ عِلْمِ مَا فِيْ غَدٍ عَمِيْ
“Dan Saya mengetahui pengetahuan hari ini dan kemarin,
sebelum hari ini, dan Tetapi saya tidak tahu akan pengetahuan dihari
besok"
Pada syair ini terkandung
bahwa ilmu itu terbagi menjadi Ilmu hari ini, ilmu hari kemarin dan ilmu hari
yang akan datang.
Inilah yang dikatakan Taqsim
yang menyempurnakan pembagiannya.
dan adakalanya menyebutkan
dua perkara atau lebih dan kembali pada masing-masing perkara itu dengan
menjelaskan.
Seperti ucapan Al-Multamis
Jarir bin Abdul Masih :
وَلاَ يُقِيْمُ عَلَى ضَيْمٍ يُرَادُ بِهِ إِلاَّ الأَذَلاَّنِ عَيْرُ الحَيِّ وَالوَتَدُ
هَذَا عَلَى الخَسْفِ مَرْبُوْطٌ بِرُمَّتِهِ وَذَا يُشَجُّ فَلاَ يَرْثِيْ لَهُ أَحَدُ
Tidak akan bermukim pada kedholiman yang diarah padanya
kecuali Dua Makhluk yang Hina yaitu Keledai perumahan dan pasak.
Ini (keledai perumahan) diikat dengan talinya serta hina,
dan yang ini (pasak) ditancapkan, lalu tiada satu orangpun yang menyayanginya.
Penyair
menuturkan kata “keledai dan pasak” lalu kembali dengan menyatakan sesuatu yang
berhubungan pada kata yang pertama yaitu : “diikat serta hina” lalu pada kata
yang kedua yaitu “ditancapkan”.
dan
adakalanya menyebutkan keadaan sesuatu dengan menyandarkan kata yang sesuai pada
masing-masing perkara tersebut.
Seperti Abu Toyyib
Al-Mutanabbi :
سأطْلُبُ حَقِّيْ بِالقَنَا وَمَشَايِخِ كَأَنَّهُمُ مِنْ طُوْلِ مَا إلتَثَمُوا مُرْدُ
ثِقَالٌ إذَا لَقَوْا خِفَافٌ إِذَا دُعُوْا كَثِيْرٌ إِذَا شَدُّوْا قَلِيْلٌ إذَا عُدُّوْا
Saya
akan mencari hakku dengan tombak dan para lelaki dewasa., karena lamanya
memakai cadar (ketika perang) Seolah-olah Mereka itu para Pemuda, yang terlihat
Berat (dihadapan Musuh) ketika berperang, yang cepat tanggap ketika diajak,
yang banyak ketika menyerang, yang sedikit ketika dihitung.
9.
Mungukuhkan
pujian dengan sesuatu yang menyerupai penghinaan.
Hal ini terbagi menjadi 2
macam :
- Mengecualikan Sifat Pujian dari sifat penghinaan yang meniadakan dengan cara mengira-ngirakan masuknya pujian itu pada penghinaan.
Seperti Ucapan Ziyad bin
Muawiyah Adz-Dzabiyani:
وَلاَ عَيْبَ فِيْهِمْ غَيْرَ أنَّ سُيُوفَهُمْ بِهِنَّ فُلُوْلٌ مِنْ قِرَاعِ الكَتَائِبِ
Tiada
cela pada Mereka kecuali retaknya pedang dari menyerang pasukan Musuh.
- Menetapkan Sifat pujian terhadap suatu perkara, dan didatangkan sifat pujian lain setelahnya dengan kata pengecualian yang menyandinginya.
Seperti Ucapan Penyair :
فَتًى كَمُلَتْ أَوصَافُهُ غَيْرَ أَنَّهُ جَوَادٌ فَمَا يُبْقِيْ عَلَى المَالِ بَاقِيًا
Dia
itu Pemuda yang sempurna sifatnya melainkan ia seorang Dermawan, lalu ia tiada
menyisakan sisa dari hartanya.
10.
Bagusnya
alasan;
yaitu : Menggunakan suatu alasan yang bukan sebenarnya, yang terdapat perkara
yang langka untuk sifat.
Seperti Ucapan Al-Khotib Al-Qozuwaini
:
لَوْ لَمْ تَكُنْ نِيَّةُ الجَوْزَاءِ خِذْمَتَهُ لَمَا رَأيْتَ عَلَيْهَا عِقْدَ مُنْتَطَقِ
“Seandainya tidak ada keinginan bintang Jauza' itu
melayaninya, maka engkau tidak akan melihat padanya ikatan yang melingkar”.
11.
Kesesuaian
ladadz serta ma'na;
yaitu Lafadz-lafadz yang sesuai dengan maknanya, maka dipilihlah lafadz yang
Agung dan Ibarot yang sangat keras
logatnya untuk kebanggaan dan keberanian, atau kalimat yang lembut dan halus
untuk bahasa kawula muda, dll.
Seperti Ucapan Penyair yang
menunjukkan Kebanggaan dan keberanian:
إذا مَا غَضِبْنَا غَضْبَةً مُضَرِّيَةً هَتَكْنَا حِجَابَ الشَّمْسِ أَوْ قَطَرَتْ دَمًا
إذَا مَا أَعَرْنَا سَيِّدًا مِنْ قَبِيْلَةٍ ذُرَى مِنْبَرٍ صَـلَّى عَلَيْنَا وَسَــلَّمَا
Ketika
kami marah seperti marahnya Mudhor, maka kami merusak penghalang matahari
(perkara haq) sampai meneteskan warna darah.
Ketika
kami mencela pimpinan suatu qobilah diatas mimbar, maka Ia mendo'akan kami dan
menyebut (nama kami pada qoumnya).
Seperti Ucapan Penyair yang
menunjukkan ucapan kamu pemuda :
لَمْ يَطُلْ لَيْلِيْ وَلَكِنْ لَمْ أَنَمْ وَنَفَى عَنِّيْ الكَرَى طَيْفٌ أَلَمْ
Malamku
tiada panjang, tetapi aku belum tidur, telah hilang rasa ngantukku, bayangan
kekasih telah datang.
12.
Uslubul
Hakim;
yaitu : menyampaikan kepada mukhotob dengan selain kata yang dinantinya atau
menyampaikan kepada orang yang bertanya dengan selain jawaban yang diinginkan
karena mengingatkan bahwa jawaban itu lebih layak pada pertanyaan yang
diharapkan.
- Mempersepsikan pemahaman ucapan menjadi berbeda dengan sesuatu yang diharapkan oleh pengucapnya.
Seperti
Ucapan Qoba'tsaro kepada Hajjaj yang telah mengancamnya dengan ucapan :لأحْمِلَنَّكَ عَلَى
الأَدْهَمِ
Sungguh
aku akan membawamu pada terali besi
lalu
Qoba'tsaro mengatakan (dengan mengartikan kata Adham dengan arti Kuda hitam)
:
مِثلُ الأمِيْرِ يَحْمِلُ عَلَى الأدْهَمِ
وَالأشْهَبِ
itu
Seperti Pemimpin yang naik kuda hitam dan kuda putih.
Lalu
Hajjaj menjawab : أَرَدْتُ الحَدِيْدَ
Saya
menghendaki (dengan kata adham) sebagai terali besi.
Lalu Qoba'tsaro berkata (dengan
mengartikan kata Hadid dengan arti Pandai):
لأنْ يَكُوْنَ حَدِيْدًا
خَيْرٌ مِنْ أنْ يَكُوْنَ بَلِيْدًا
Kuda yang pandai itu lebih baik dari pada kuda yang
bodoh.
Hajjaj
menghendaki dengan kata "adham" sebagai terali besi, dan kata
"Hadid" sebagai Tempat yang khusus. sedangkan Qoba'tsaro
menggambarkan pemahaman keduanya sebagai "Kuda hitam yang tidak bodoh"
Tujuan
hal ini adalah menyalahkan Hajjaj, bahwa yang lebih layak itu janji membawanya
dengan kuda hitam yang tidak bodoh, bukan ancaman untuk membawanya ke terali
besi.
- Memposisikan suatu pertanyaan dengan pertanyaan lain yang sesuai dengan kondisi masalah.
Seperti Firman Allah :
يسْألُوْنَكَ عَنِ الأهِلَّةِ
قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالحَجِّ.
Mereka
bertanya padamu, maka katakanlah : "itu adalah Waktu bagi manusia dan haji
.
Sebagian
Shohabat (Mu'adz bin Jabal dan Robi'ah bin Ghonam) kepada Nabi :
"Bagaimana keadaan hilal yang tampak sebentar lalu bertambah hingga
menjadi purnama, lalu berkurang hingga kembali seperti semula ?".
Maka
jawabannya didatangkan dengan hikmah yang ditimbulkan dari perbedaan ukuran
hilal, pada Firman Allah tersebut, karena hal itu lebih penting bagi orang yang
bertanya.
Maka
pertanyaan mereka tentang sebab terjadinya perbedaan ukuran hilal itu
diposisikan seperti pertanyaan tentang hikmah dari perbedaan itu.
Muhassinat Al-Lafdhiyyah.
1.
Jinas; yaitu keserupaan dua
lafadz dalam ucapan bukan pada makna.
Jinas itu ada yang Tamm
(sempurna) dan Ghoiru Tamm (tidak sempurna).
Jinas
Tamm; yaitu : Lafadz yang hurufnya sama dalam keadaannya (ha’iat), jenis,
hitungan dan urutannya.
Contoh :
لَمْ نَلْقَ غَيْرَكَ إنْسَانًا يُلاذُ بِهِ فَلا بَرِحْتَ لِعَيْنِ الدَّهْرِ إِنْسَانًا.
Kami
belum pernah bertemu manusia yang bisa dibuat perlindungan selain engkau, maka
engkau senantiasa pada masa ini sebagai biji mata.
Contoh lain :
فَدَارِهِمْ مَا دُمْتَ فِيْ دَارِهِمْ وَأرْضِهِمْ مَا دُمْتَ فِيْ أرضِهِمْ.
Maka
kelilingilah mereka, selama engkau tetap dirumahnya. dan senangkanlah mereka
selama engkau tetap berada di tanahnya.
Jinas
Ghoiru Tamm;
yaitu Lafadz yang hurufnya berbeda pada salah satu dari keadaan, jenis,
hitungan dan urutan.
Contoh :
يَمُدُّوْنَ مِنْ أيْدٍ عَوَاصِ عَوَاصِمٍ تَصُولُ بأسْيَافٍ قَوَاضٍ قَوَاصِبِ.
Mereka
sedang menjulurkan (lengan mereka) dari tangan orang yang memukul dengan
tongkat, yang selalu menjaga (dari kerusakan) yang menyerang dengan pedang yang
mematikan, yang memotong.
2.
Saja'; yaitu : adanya kesamaan
pada huruf terakhir antara dua kalimat Natsar yang terpisah.
Contoh :
الإنْسَانُ بآدابِهِ
لاَ بِزِيِّهِ وَثِيَابِهِ.
Manusia
mulya itu dengan perilakunya, bukan perhiasannya dan pakiannya.
Contoh :
يَطْبَعُ الأسْجَاعَ
بِجَوَاهِرِ لَفْظِهِ وَيَقْرَعُ الأسْمَاعَ بِزَوَاجِرِ وَعْظِهِ.
Orang
menghiasi Beberapa sajak dengan keindahan lafadznya, dan mempengaruhi
pendengaran dengan Larangan-larangan nasehatnya.
3.
Iqtibas; yaitu : Suatu kalam yang
mengandung sesuatu dari Al-Qur;an dan Hadits bukan merupakn Lafadz salah
satunya.
Seperti ucapan Penyair :
ـمِ وَأنْكِرْ بِكُلِّ مَا يُسْتَطَاعُ
|
لاَ تَكُنْ ظَالِمًا وَلاَ تَرْضَ بِالظُلْـ
|
مِنْ حَـمِيْمٍ وَلاَ شَفِيْعٍ يُطَاعُ
|
يَوْمَ يَأْتِيْ الحِسَابُ مَا لِظَــلُومٍ
|
Janganlah
kamu menjadi orang dholim, dan janganlah rela dengan kedholiman, dan ingkarilah
sesuai dengan kemampuan.
Pada
hari datangnya Hisab bagi orang yang sangat Dholim itu tiada seorang sahabat,
dan orang yang menolongnya yang diikuti.
Syair tersebut diambil dari
Ayat Al-qur’an Surat Al-Mu’min : 18 :
مَا لِلظَالِمِيْنَ
مِنْ حَمِيْمٍ وَلاَ شَفِيْعٍ يُطَاعُ
Seperti ucapan Penyair :
لاَ تُعَادِ النَّاسَ فِيْ أوْطَانِهِمْ قَلَّمَا يُرْعَى غَرِيْبُ الوَطَنِ
وَإذَا مَا شِئْتَ عَيْشًا بَيْنَهُمْ خَالِقِ النَّاسَ بِخُلْقٍ حَسَنٍ.
Janganlah
kamu musuhi manusia di Negaranya, Sedikit sekali para pendatang itu dilindungi.
Jika
engkau ingin berinteraksi dengan mereka, maka berperilakulah kepada manusia
dengan Akhlaq yang baik.
Syair
tersebut diambil dari Sabda Nabi kepada Abu dzarr Al-Ghifary :
إتق الله حيثما كنتَ
وأتبعِ السَّيئة الحسنةَ تمحُها وخَالِقِ النَّاسَ بِخُلقٍ حَسَنٍ.
Dan tidak berpengaruh dengan
adanya perubahan yang sedikit pada lafadaz yang diambil karena wazan Syi'ir
atatau yang lain.
Seperti ucapan Penyair :
قَدْ كَانَ مَا خِفْتُ أنْ يَكُونَا إنَّا إلى اللهِ رَاجِعُونَا
Sungguh
telah terjadi kematian yang aku khawatirkan, Sesungguhnya kami itu kembali
kepada Allah.
Syair
tersebut diambil dari Firman Allah Surat Al-Baqoroh : 156 :
وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ
الذِيْنَ إِذَا أصَابِتْهُمْ مُصِيْبَةٌ قَالُوْا إنَّا للهِ وَإنَّا إلَيْهِ رَاجِعُوْنَ.
PENUTUP
4.
Indahnya
permulaan kalam;
yaitu : Seorang Mutakallim menjadikan awal pembicaraannya dengan indah
lafadznya, baik bentuk kalimat atau susunannya, dan benar maknanya.
Apabila
permulaan kalam itu mengandung isyarat pada tujuannya, maka dikatakan sebagai
Baroatul Istihlal.
Seperti Ucapan abu toyyib
ketika memberi ucapan atas hilangnya penyakit :
المَجْدُ عُوْفِيَ إذْ عُوفِيْتَ وَالكَرَمُ وَزَالَ عَنْكَ إِلَى أَعْدَائِكَ السَّقَمُ
Keluhuran
dan kemuliaan telah terlimpahkan, karena engkau telah sembuh, dan penyakit
telah hilang darimu pad musuh-musuhmu.
Seperti Ucapan penyair lain
yaitu Asyja’ as-salma ketika memberi ucapan atas pembangunan gedung :
قَصْرٌ عَلَيْهِ تَحِيَّةٌ وَسَلاَمُ خَلَعَتْ عَلَيْهِ جَمَالَهَا الأَيَّامُ
Sebuah
gedung yang terdapat kehormatan dan salam,Waktu telah meletakkan keindahannya
padanya.
5.
Indahnya
penutup kalam;
yaitu : Seorang Mutakallim menjadikan akhir pembicaraannya dengan indah
lafadznya, baik bentuk kalimat atau susunannya, dan benar maknanya.
Apabila akhir kalam itu
mengandung isyarat pada selesainya pembicaraan , maka dikatakan sebagai
Baroatul Maqto’.
Seperti Ucapan Abul Ala’
atau abu toyyib :
بَقِيْتَ بَقَاءَ الدَّهْرِ يَا كَهْفَ أَهْلِهِ وَهَذَا دُعَاءٌ لِلْبَرِيَّةِ شَامِلُ
Engkau
tetap sepanjang masa, wahai Gua tempat berlindung penghuninya, Ini adalah do’a
yang menyeluruh untuk manusia.
DAFTAR
ISI
Fashohatul Kalimah : 2
Fashohatul Kalam
: 5
Fashohatul Mutakallim : 8
Balaghotul Kalam :
8
Balaghotul Mutakallim
: 9
ILMU MA'ANI : 9
KHOBAR DAN INSYA' : 10
Kalam Khobar : 11
Macam-macam Khobar. : 12
Kalam Insya' :
13
Amar (Perintah) : 14
Nahi (Larangan) : 15
Istifham (Bertanya) : 16
Tamanni
(Berharap) : 23
Nida’ (kata Seru) : 24
DZIKR
DAN HADZFU : 25
Faktor
Penyebab Penyebutan Lafadz : 25
Faktor
Penyebab Pembuangan Lafadz : 26
TAQDIM
DAN TA'KHIR : 28
QOSHOR
: 30
WASHOL
DAN FASHOL : 34
Tempat-Tempat yang harus di Washolkan dengan huruf
Athof Wawu. : 34
Tempat-Tempat yang harus dipisah (Fashol) : 35
IJAZ,
ITHNAB, DAN MUSAWAH : 38
Faktor
penyebab adanya Ijaz: 40
Faktor
penyebab Ithnab : 41
KLASIFIKASI IJAZ: 41
KLASIFIKASI ITHNAB : 42
Ilmu
Bayan , TASYBIH : 44
RUKUN
TASYBIH : 45
PEMBAGIAN
TASYBIH : 46
TUJUAN
TASYBIH : 48
Majaz
: 50
|
Majaz Isti'aroh : 51
Pembagian Majaz Isti'aroh : 53
Isti'aroh
Musorrohah : 53
Isti'aroh
Makniyyah : 54
Isti'aroh
Ashliyyah : 55
Isti'aroh
Taba'iyyah : 56
Isti'aroh
Murosyahah : 58
Isti'aroh
Mujarodah : 58
Isti'aroh
Muthlaqoh : 59
Majas
Mursal : 59
Majaz Murokkab : 62
Majaz Aqli : 63
Kinayah : 65
Ilmu Badi :' 68
Muhassinat Al-Ma'nawiyyah : 69
Tauriyyah; : 69
At-Thibaq; 70
Muqobalah; 71
Menjaga
Perbandingan
71
Istikhdam, 71
Al-Jam'u; 72
Tafriq; 73
Taqsim; (mengklasifikasikan) 73
Mungukuhkan
pujian dengan sesuatu yang menyerupai penghinaan.74
Bagusnya
alasan; 75
Kesesuaian
ladadz serta ma'na 75
Uslubul
Hakim; 75
Muhassinat Al-Lafdhiyyah. 77
Jinas;
77
Saja';
dan Iqtibas; 78
PENUTUP 79
Indahnya
permulaan kalam; 79
Indahnya
penutup kalam; 80
|